Mohon tunggu...
Poltak Napitupulu
Poltak Napitupulu Mohon Tunggu... Lainnya - ASN Kemendesa PDTT RI

Perubahan Out Of The Box tanpa melanggar Regulasi dan Etika

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Mendorong Integrasi Undang-undang Pangan dan Undang-undang Desa Menuju Kedaulatan Pangan

16 Agustus 2024   15:47 Diperbarui: 19 Agustus 2024   17:30 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Skema Metode Analisa yang Ideal dalam merumuskan aturan perundangan yang efektif

Pendahuluan

UUD 1945 telah mengamanatkan bahwa Negara wajib menjalankan kedaulatan pangan (hak rakyat atas pangan) dan mengupayakan terpenuhinya kebutuhan pangan bagi seluruh penduduknya. Kewajiban dimaksud mencakup kewajiban menjamin ketersediaan, keterjangkauan, dan pemenuhan konsumsi pangan yang cukup, aman, bermutu, dan bergizi seimbang. Untuk bisa melaksanakan kewajiban tersebut secara efektif, maka Negara wajib menguasai sumber daya alam untuk digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat (UUD 1945 Pasal 33 ayat 3).

Pangan juga memiliki peran strategis karena dapat mempengaruhi kondisi sosial, ekonomi, dan politik Negara. Indonesia harus berdaulat atas pangan, karena saat kelangkaan pangan terjadi maka rakyat bisa bertindak anarkis. Berdaulat atas pangan berarti berdaulat untuk memproduksi pangan secara mandiri dan berdaulat untuk menetapkan sistem pertanian, peternakan, dan perikanan tanpa adanya subordinasi dari kekuatan pasar internasional. Pertanyaannya adalah, apakah Indonesia sudah berhasil mewujudkan kedaulatan pangan untuk memenuhi kecukupan pangan bagi penduduknya?

Pemenuhan konsumsi pangan harus mengutamakan produksi dalam negeri dengan memanfaatkan sumber daya dan kearifan lokal secara optimal. Untuk mewujudkan hal tersebut, tiga hal pokok yang harus diperhatikan adalah (i) ketersediaan pangan yang berbasis pada pemanfaatan sumber daya lokal secara optimal, (ii) keterjangkauan pangan dari aspek fisik dan ekonomi oleh seluruh masyarakat, serta (iii) pemanfaatan pangan atau konsumsi pangan dan gizi untuk hidup sehat, aktif, dan produktif.

Definisi kedaulatan maupun ketahanan pangan juga dijelaskan secara eksplisit pada UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Pada Pasal 1 angka 2, dinyatakan bahwa kedaulatan pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan pangan yang menjamin hak atas pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal. Sedangkan ketahanan pangan dijelaskan pada Pasal 1 angka 4 yaitu kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.

Pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, dalam pasal 3 dikatakan bahwa penyelenggaraan pangan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang memberikan manfaat secara adil, merata dan berkelanjutan berdasarkan kedaulatan pangan, ketahanan pangan dan kemandirian pangan, sehingga dapat dikatakan bahwa kedaulatan adalah bagian dari penyelenggaraan pangan di Indonesia.

Dilihat dari pengertian-pengertian di atas, maka yang dimaksud dengan "Kedaulatan Pangan oleh UU Pangan adalah persoalan berdaulatnya negara dan bangsa dalam membentuk kebijakan pangan, sementara pengertian "Ketahanan Pangan" di undang-undang tersebut mengarah pada persoalan keajegan penyediaan pangan, dan pengertian "Kemandirian Pangan mengarah pada persoalan kemampuan dalam menghasilkan pangan.

Konsep kedaulatan pangan sebenarnya lebih penting dan lebih strategis dari konsep swasembada pangan (self sufficiency), dan bahkan dari ketahanan pangan (food security) yang lebih bersifat ke dalam. Ketergantungan yang begitu tinggi terhadap pangan impor adalah salah satu indikasi dari masalah keberdaulatan pangan. Bentuk paling menakutkan dari buruknya keberdaulatan pangan adalah "keterjebakan" pangan impor. Dalam arti, negara hanya menggantungkan sepenuhnya pada pasokan pangan dari negara lain. Keberhasilan pelaksanaan UU Pangan dalam menjamin ketahanan pangan, menjaga kemandirian pangan dan menciptakan peningkatan kedaulatan pangan nasional, akan sangat bergantung pada kinerja pemerintah sebagai lembaga eksekutif, mulai dari tingkat pusat, provinsi hingga daerah. Apabila pemerintah mampu konsisten dalam memperjuangkan aspek keberdaulatan pangan, tentu prasyarat yang harus diselesaikan adalah meningkatkan konsistensi strategi dasar kebijakan sektor pertanian dan pembangunan peningkatan kedaulatan pangan.

Dalam rangka menguji harmonisasi peraturan perundang-undangan kedaulatan pangan dan peraturan pendukung lain yang relevan, maka perlu dilakukan analisis dan evaluasi yang terstruktur pada peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai pembanding.

Deskripsi Masalah

Mendasar pada uraian tersebut diatas, maka terdapat beberapa permasalahan yang dapat diuraikan sebagai berikut:

  • Potensi Disfungsi Peraturan Perundangan

Undang-Undang Pangan terdiri dari 154 pasal dan berlaku seluruhnya. Pada pasal 4 (2) berbunyi "Dalam hal sumber penyediaan Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum mencukupi, Pangan dapat dipenuhi dengan Impor Pangan sesuai dengan kebutuhan". Hal tersebut bertentangan dengan arah kedaulatan pangan sebagaimana diatur dalam Pasal 6, yang mengatakan bahwa "Perencanaan Pangan dilakukan untuk merancang Penyelenggaraan Pangan ke arah Kedaulatan Pangan, Kemandirian Pangan, dan Ketahanan Pangan". Karena tidak mungkin sebuah Negara dikatakan mempunyai Kedaulatan Pangan jika untuk memenuhinya dilaksanakan melalui Impor Pangan.

Sedangkan pada pasal 36 (1) menyatakan: "Impor Pangan hanya dapat dilakukan apabila Produksi Pangan dalam negeri tidak mencukupi dan/atau tidak dapat diproduksi di dalam negeri". Kata "dan/atau tidak dapat diproduksi didalam negeri" ini dapat diartikan bahwa: suatu produk pangan yang tidak dapat diproduksi di dalam negeri saja sudah dapat menjadi alasan diperbolehkannya impor pangan. Karena kata "dan/atau" memiliki makna alternatif dan kumulatif. Sehingga alasan "tidak mencukupi produksi pangan dalam negeri" dan alasan "tidak dapat diproduksi di dalam negeri" dapat berdiri sendiri-sendiri.

Faktanya, enam dari sembilan kebutuhan bahan pokok harus dipenuhi dari negara lain. Dalam 11 tahun terakhir, rakyat Indonesia telah menghabiskan sekitar Rp1,272 triliun untuk belanja beras, susu, bawang, garam, daging, dan gula di pasar internasional. Stok cadangan pangan pemerintah terhadap kebutuhan nasional bulanan mayoritas masih di bawah target. Badan Pangan Nasional (Bapanas) menargetkan stok Cadangan Pangan Pemerintah (CPP) bisa mencapai 5% dari total kebutuhan. Namun sampai Juni 2023, stok CPP untuk beberapa komoditas masih di bawah target, bahkan mencapai 0% dari kebutuhan nasional (SUMBER: Info Singkat Pusat Analisis Keparlemenan Badan Keahlian DPR RI).    

  •  Peraturan Perundangan Tidak Berjalan Efektif

Disfungsi pada peraturan perundangan dimaksud, dapat mengakibatkan:

  • Terjadinya perbedaan penafsiran dalam pelaksanaannya;
  • Timbulnya ketidakpastian hukum;
  • Peraturan perundang-undangan tidak terlaksana secara efektif dan efisien; dan
  • Disfungsi hukum, artinya hukum tidak dapat berfungsi memberikan pedoman berperilaku kepada masyarakat/lembaga/korporasi, pengendalian sosial, penyelesaian sengketa dan sebagai sarana perubahan sosial secara tertib dan teratur.


Rekomendasi

  • Pembaharuan dan Pemutakhiran Regulasi

Agar tidak terjadi perbedaan penafsiran dalam pelaksanaannya, perlu ada ketentuan yang lebih tegas dalam pembatasan kebolehan impor, sebagai pilihan terakhir. Tanpa adanya aturan atau ketentuan tambahan, maka Kedaulatan Pangan, Kemandirian Pangan, dan Ketahanan Pangan hanya akan menjadi slogan semata. Pertimbangan adanya aturan atau ketentuan tambahan terkait dengan kebijakan impor pangan perlu dilakukan mendasar pada pendekatan sistem (melibatkan semua pihak yang berkepentingan) dan bukan pada pendekatan sektoral.

Oleh karenanya bunyi ketentuan ini perlu disempurnakan agar impor pangan tidak marak dan justru merugikan produksi pangan yang berbasis sumber daya lokal. Narasi ambigu dalam pasal-pasal tersebut berpotensi bermasalah jika ditafsirkan dari sudut pandang yang berbeda. Di satu sisi, penyelenggaraan Kedaulatan Pangan, Kemandirian Pangan, dan Ketahanan Pangan merupakan mandat Undang Undang, sedangkan di sisi lain Impor Pangan juga dilakukan tanpa kendali.

Pembaharuan atau revisi terkait dengan pasal tertentu yang mengalami disfungsi dapat dilakukan oleh lembaga/instansi yang berwenang membentuknya. Demikian juga halnya jika memang diperlukan pemutakhiran regulasi karena dianggap sudah tidak relevan atau sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan pada saat ini.

  • Integrasi Peraturan Perundangan

Sebuah peraturan dikatakan efektif jika memenuhi syarat berikut: terdapat dampak positif yang ditimbulkan, output sesuai rencana, mencapai sasaran, dan berkelanjutan (berfungsi dalam waktu yang lama). Oleh karena itu pelibatan lembaga lain dalam proses penyusunan peraturan perundangan yang berdampak secara luas adalah mutlak, karena semua lembaga yang terlibat akan terkoordinir secara bersama sama untuk mewujudkan tujuan yang diharapkan. Sehingga produk peraturan perundangan yang dihasilkan pun akan saling mendukung, terintegrasi dan tidak bersifat sektoral.   

Penyelenggaraan Kedaulatan Pangan melalui peraturan perundang-undangan tentang Pangan tidak dapat berdiri sendiri, tetapi wajib didukung melalui peraturan perundangan lain agar dapat berfungsi oprimal dan berdampak sistemik. Salah satunya adalah terintegrasi dengan Undang Undang Desa dan dukungan aturan operasional dibawahnya (Permendesa Nomor 7 Tahun 2023).

Dalam kaitan dengan Undang Undang Desa, maka penyelenggaraan Kedaulatan Pangan selaras dengan tujuan pembangunan desa, yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan kualitas hidup manusia melalui skala prioritas pembangunan desa dalam pemenuhan kebutuhan dasar manusia (UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Pasal 80 ayat 4).

Sedangkan dalam Permendesa Nomor 7 Tahun 2023 tentang Rincian Prioritas Penggunaan Dana Desa, bidang Kedaulatan Pangan sudah diatur dalam pasal 5 (1c) yaitu: bahwa prioritas pemenuhan kebutuhan dasar dapat dilaksanakan melalui penguatan ketahanan pangan nabati dan hewani. Meskipun sudah diakomodir, tetapi narasi "ketahanan pangan nabati dan hewani" juga perlu dilakukan perbaikan, karena Ketahanan Pangan (food security) lebih mengarah pada persoalan keajegan penyediaan pangan, sedangkan Kedaulatan Pangan merupakan berdaulatnya negara dan bangsa dalam membentuk kebijakan pangan (lebih penting dan strategis). Sehingga "kedaulatan pangan nabati dan hewani" adalah narasi yang lebih sesuai untuk tercantum dalam Permendesa Nomor 7 Tahun 2023.  

Skema Integrasi peraturan perundangan untuk mewujudkan Kedaulatan Pangan
Skema Integrasi peraturan perundangan untuk mewujudkan Kedaulatan Pangan

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun