Mohon tunggu...
Hasbullah Masudin Yamin DH
Hasbullah Masudin Yamin DH Mohon Tunggu... Lainnya - Calon Presiden RI

Muslim Negarawan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Aku 'Dilarang' Jadi Presiden

23 Desember 2022   14:01 Diperbarui: 23 Desember 2022   14:04 364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto : Hasbullah Masudin Yamin DH/Dok.Pribadi

Aku 'Dilarang' Jadi Presiden

Cita-cita mu jadi apa? jadi Presiden. Kira-kira begitulah salah satu jawaban anak kecil ketika ditanya tentang cita-cita. Saya juga lupa apakah di masa kecilku pernah bercita-cita menjadi Presiden? Yang jelas saat tumbuh dewasa dan mulai memahami dan mengikuti perkembangan politik tanah air rupanya cita-cita jadi presiden adalah sebuah kemungkinan yang kemunginan besar tidak mungkin.

Sekedar cerita ilustrasi fiksi. Saat bermain dengan anak-anak kecil saya mencoba bertanya untuk memastikan apakah cita- cita menjadi Presiden masih dimiliki oleh anak-anak zaman sekarang sebagaimana zaman saya dulu? Ternyata jawabannya hampir tidak berubah, pilihan untuk menjadi Presiden masih menjadi salah satu cita-cita anak zaman sekarang.

Tidak berhenti sampai disitu, saya juga memilah jawaban anak-anak tersebut berdasarkan nama dan asal-usul. Pilah data atas nama anak-anak tersebut berdasarkan asal-usul daerah yakni Jawa dan luar Jawa, berasal dari jawa-pun saya pilah lagi antara anak-anak jawa yang memiliki nama berakhiran huruf O dan bukan O.

Loh,  apa maksud dari ilustrasi di atas?

Ilustrasi tersebut akan menjadi menu utama dalam tulisan ini yakni realitas dan praktik politik Indonesia saat ini yang memaksa saya harus menguburkan mimpi saya menjadi Presiden. Setidaknya ada dua hal yang 'menghambat' mimpi saya, yakni : Presidential Threshold dan 'politik identitas'

Presidential Threshold

Undang-Undang Pemilu telah ditetapkan dan dicatat dalam Lembaran Negara. Pasal yang paling seksi dari UU Pemilu ini adalah pasal yang mengatur tentang ambang batas bagi partai politik atau gabungan partai politik untuk mencalonkan pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden. Karena keseksiannya menimbulkan reaksi dari berbagai pihak. Ya, termasuk saya!! emang apa syarat untuk menjadi Calon Presiden? Ya baca sendiri, searching di google banyak, tinggal baca!

Ada dua alasan mengapa saya terganggu dengan persyaratan sebab telah menguburkan cita-citaku dan banyak anak-anak Indonesia. Alasan pertama bersifat subyektif. Alasan akibat nafsu epatite, nafsu ingin kuasa, ingin hebat dan keinginan keinginan 'hedon' lainnya; alasan kedua bersifat objektif. Yakni alasan ilmiah hasil otak atik otak dalam memahami konsep demokrasi.

Alasan subyektif. Andai Presidential Threshold nol persen maka saya dapat mendirikan partai politik dan sebagai pendiri dan ketua umum Partai akan secara otomatis menjadi Calon Presiden. Jikapun tidak terpilih setidaknya menjalankan setengah dari cita-cita yakni menjadi capres. Bagi saya, dengan memiliki teman hampir seluruh indonesia lebih mudah mendirikan partai politik sendiri dari pada harus 'konvensi' di partai lain apalagi sampai mendapatkan suara minimal 25 persen, sulit! Sebenarnya ada alasan subyektif lain, tapi nanti saya bahas di poin kedua pada hal uang menghambat mimpiku menjadi presiden. Makanya baca sampai tuntas ya?

Alasan Objektif. Di beberapa tulisan saya, di buku, di koran dan diberbagai ruang-ruang diskusi saya selalu mengatakan bahwa bangsa ini harus faham betul tentang konsep 'transisi demokrasi' dalam menyusun mekanisme kerja demokrasi politik elektoral. Kita semua bersaksi bahwa demokrasi kita masih dalam tahap transisi. Namun pada praktiknya kita menciptakan produk-produk hukum yang dapat menggagalkan perjalanan demokrasi. Huntington menyebutnya 'reserve democracy'.

24 tahun perjalanan demokrasi pasca reformasi kita masih menamakan demokrasi kita sebagai demokrasi transisi. Entah sampai kapan demokrasi kita melepaskan identitas transisi, sebab belum ditemukan kajian akademik tentang berapa lama sebuah masa dikatakan sebagai masa terlepas dari transisi. Jikapun ada, itupun hanya sekedar 'kisi-kisi' untuk mengukur sebuah negara telah melepaskan diri dari transisi menuju hakikat demokrasi substansional. Secara sederhana masa transisi dapat dipahami sebagai masa penuh dengan otak atik prosedur (demokrasi prosedural)

Di masa demokrasi prosedural inilah, saya katakan perlu kehati-hatian menyusun mekanisme kerja demokrasi. Kran kebebesan tidak boleh dibuka sebesar-besarnya namun juga ditutup seminimal mungkin. Cukup yang sedang-sedang sajalah.

Masa transisi juga adalah masah selektif. Sehingga ruang-ruang seleksi demokrasi berkenaan dengan demokrasi elektoral tidak boleh dibatasi. Ambang batas 20 persen atau 1 persen sekalipun tidak diperbolehkan. Rakyat (pemilih) harus diberikan banyak  pilihan-pilhan terhadap siapa pemimpin yang mereka kehendaki. Di masa transisi demokrasi  haram hukumnya menciptakan mekanisme kerja politik elektoral bersifat politik Versus. Lahirnya angka Presidential Threshold di masa transisi adalah penghianatan transisi itu sendiri. Political versus lahir karena desain aturan hukum yang hanya menghendaki dua pasang Calon Presiden. Politik haed to head hanya akan memabatasi rakyat dalam menentukan pilhan-pilihan politiknya. Cebong-kampret, kadal gurun dan terminologi negatif lain dalam percakapan politik masyarakat adalah akibat dari agenda seting politik yang menghendaki hanya ada dua  pasangan Capres - Cawapres. Dampak lain dari politik versus adalah timbulnya konflik di tengah masyarakat karena tajamnya perbedaan pandangan politik atau pilihan politik . Andai pasangan Capres-Cawapres lebih dari dua  maka kutub konflik dapat dihindari.

'Politik Identitas'

Poltik identitas kini telah menjadi konsumsi publik. Hampir sak ban hari publik disuguhi narasi-narasi politik identitas. Sedikit mundur kebelakang, masive-nya narasi politik identitas berawal dari fenomena politik Pilkada DKI 2017 silam. Pikada DKI Jakarta 2017 ditenggarai terjadi penggunaan identitas agama untuk memenangkan pilkada. Apakah politik identitas agama itu dilarang? Saya akan menjawab pertanyaan ini pada kesempatan lain.

Sebagaimana kita ketahui politikn identitas hari ini dikaitkan dengan agama, sehingga banyak pendapat mengutuk penggunaan politik identitas. Pertanyaannya adalah apakah haram menggunakan politik identitas, bukan kah analisa kekuatan poltik antara Jawa dan lur jawa, timur dan barat merupakan politik identitas?

Karena adanya poltik identitas jawa dan luar jawa inilah, saya sebagai orang Lembata- Nusa tenggara Timur (NTT) seperti terkubur mimpiku menjadi presiden. Ya,  DPT kami hanya 'nol koma nol' sekian persen dari skala nasional maka NTT bukanlah perhitunghan. Bahkan akan lebih ekstrim jika menyandarkan pada raman Jaya Baya berkenaan dengan NOTONEGORO, dimana pemimpin republik ini adalah orang yang memiliki nama dengan berakhiran huruf O. maka jelas, saya bernama Hasbullah Masudin Yamin semakin terkubur mimpiku. Bahkan dengan dalil NOTONEGORO ini, percakapan masyarakat awam dengan menggunakan teori cocoklogi bahwa jika Presiden Indonesia adalah yang namanya tidak berakhiran huruf O maka kemungkinan tidak akan tuntas periodenya dalam mempin. Cocoklogi diukur dari Presiden-presiden Indonesia sebelumnya yang tidak menyelesaikan masa kepemimpinan selama satu periode penuh, sebut saja B.J Habibie, Megawati dan Gusdur.

Perpaduan Presdiential Threshold dan Politik identitas Primordial inilah yang menghambat saya jadi Presiden. Jangankan menjadi Presiden, berharap dalam tidurku dapat bermimpi jadi Presiden-pun seperti sudah 'dilarang'.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun