Mohon tunggu...
Hasbullah Masudin Yamin DH
Hasbullah Masudin Yamin DH Mohon Tunggu... Lainnya - Calon Presiden RI

Muslim Negarawan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Aku 'Dilarang' Jadi Presiden

23 Desember 2022   14:01 Diperbarui: 23 Desember 2022   14:04 364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto : Hasbullah Masudin Yamin DH/Dok.Pribadi

Alasan Objektif. Di beberapa tulisan saya, di buku, di koran dan diberbagai ruang-ruang diskusi saya selalu mengatakan bahwa bangsa ini harus faham betul tentang konsep 'transisi demokrasi' dalam menyusun mekanisme kerja demokrasi politik elektoral. Kita semua bersaksi bahwa demokrasi kita masih dalam tahap transisi. Namun pada praktiknya kita menciptakan produk-produk hukum yang dapat menggagalkan perjalanan demokrasi. Huntington menyebutnya 'reserve democracy'.

24 tahun perjalanan demokrasi pasca reformasi kita masih menamakan demokrasi kita sebagai demokrasi transisi. Entah sampai kapan demokrasi kita melepaskan identitas transisi, sebab belum ditemukan kajian akademik tentang berapa lama sebuah masa dikatakan sebagai masa terlepas dari transisi. Jikapun ada, itupun hanya sekedar 'kisi-kisi' untuk mengukur sebuah negara telah melepaskan diri dari transisi menuju hakikat demokrasi substansional. Secara sederhana masa transisi dapat dipahami sebagai masa penuh dengan otak atik prosedur (demokrasi prosedural)

Di masa demokrasi prosedural inilah, saya katakan perlu kehati-hatian menyusun mekanisme kerja demokrasi. Kran kebebesan tidak boleh dibuka sebesar-besarnya namun juga ditutup seminimal mungkin. Cukup yang sedang-sedang sajalah.

Masa transisi juga adalah masah selektif. Sehingga ruang-ruang seleksi demokrasi berkenaan dengan demokrasi elektoral tidak boleh dibatasi. Ambang batas 20 persen atau 1 persen sekalipun tidak diperbolehkan. Rakyat (pemilih) harus diberikan banyak  pilihan-pilhan terhadap siapa pemimpin yang mereka kehendaki. Di masa transisi demokrasi  haram hukumnya menciptakan mekanisme kerja politik elektoral bersifat politik Versus. Lahirnya angka Presidential Threshold di masa transisi adalah penghianatan transisi itu sendiri. Political versus lahir karena desain aturan hukum yang hanya menghendaki dua pasang Calon Presiden. Politik haed to head hanya akan memabatasi rakyat dalam menentukan pilhan-pilihan politiknya. Cebong-kampret, kadal gurun dan terminologi negatif lain dalam percakapan politik masyarakat adalah akibat dari agenda seting politik yang menghendaki hanya ada dua  pasangan Capres - Cawapres. Dampak lain dari politik versus adalah timbulnya konflik di tengah masyarakat karena tajamnya perbedaan pandangan politik atau pilihan politik . Andai pasangan Capres-Cawapres lebih dari dua  maka kutub konflik dapat dihindari.

'Politik Identitas'

Poltik identitas kini telah menjadi konsumsi publik. Hampir sak ban hari publik disuguhi narasi-narasi politik identitas. Sedikit mundur kebelakang, masive-nya narasi politik identitas berawal dari fenomena politik Pilkada DKI 2017 silam. Pikada DKI Jakarta 2017 ditenggarai terjadi penggunaan identitas agama untuk memenangkan pilkada. Apakah politik identitas agama itu dilarang? Saya akan menjawab pertanyaan ini pada kesempatan lain.

Sebagaimana kita ketahui politikn identitas hari ini dikaitkan dengan agama, sehingga banyak pendapat mengutuk penggunaan politik identitas. Pertanyaannya adalah apakah haram menggunakan politik identitas, bukan kah analisa kekuatan poltik antara Jawa dan lur jawa, timur dan barat merupakan politik identitas?

Karena adanya poltik identitas jawa dan luar jawa inilah, saya sebagai orang Lembata- Nusa tenggara Timur (NTT) seperti terkubur mimpiku menjadi presiden. Ya,  DPT kami hanya 'nol koma nol' sekian persen dari skala nasional maka NTT bukanlah perhitunghan. Bahkan akan lebih ekstrim jika menyandarkan pada raman Jaya Baya berkenaan dengan NOTONEGORO, dimana pemimpin republik ini adalah orang yang memiliki nama dengan berakhiran huruf O. maka jelas, saya bernama Hasbullah Masudin Yamin semakin terkubur mimpiku. Bahkan dengan dalil NOTONEGORO ini, percakapan masyarakat awam dengan menggunakan teori cocoklogi bahwa jika Presiden Indonesia adalah yang namanya tidak berakhiran huruf O maka kemungkinan tidak akan tuntas periodenya dalam mempin. Cocoklogi diukur dari Presiden-presiden Indonesia sebelumnya yang tidak menyelesaikan masa kepemimpinan selama satu periode penuh, sebut saja B.J Habibie, Megawati dan Gusdur.

Perpaduan Presdiential Threshold dan Politik identitas Primordial inilah yang menghambat saya jadi Presiden. Jangankan menjadi Presiden, berharap dalam tidurku dapat bermimpi jadi Presiden-pun seperti sudah 'dilarang'.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun