Bukankah dunia perlahan membaik dari masa mengerikan di mana virus bermahkota baru muncul dan melahap banyak nyawa? Namun tampaknya Indonesia belum sembuh penuh—justru kini masyarakat harus lebih waspada karena serangan kedua dari mutasi terbarunya sedang merajalela. Tentunya, tanpa harus dijelaskan, semua bidang kehidupan mendapat dampak serupa dari peristiwa ini: penurunan kualitas—atau bahkan kuantitas. Pendidikan adalah salah satunya.
Bagi orang dewasa yang belum memiliki keturunan, masalah di bidang pendidikan yang timbul semenjak pandemi mungkin terlihat cukup bias, meskipun di media sosial—yang penggunanya didominasi oleh anak muda dan remaja—banyak sekali konten yang mengangkat tema ini sebagai curahan hati mereka. Namun untuk para orangtua atau setidaknya orang dewasa yang memiliki keluarga yang masih sekolah, permasalahan ini seperti gajah di depan mata, yang amat besar dan memenuhi ruang. Sebab, kini siswa membawa urusan sekolahnya ke rumah sehingga mau-tak-mau anggota keluarga yang ada di sekitarnya juga melihat hingga mengalami kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi dalam pembelajaran di masa pandemi Covid-19.
Beban kognitif dan mental siswa semakin bertambah. Tidak hanya memikirkan muatan konten dalam materi yang sulit diikuti, sekarang siswa juga harus memikirkan tugas yang mendadak menumpuk lebih dari biasanya, perangkat yang tidak mempuni, jaringan internet yang tidak stabil, kuota yang habis, pertimbangan meminta uang untuk membeli kuota karena mereka juga melihat pemasukan orang tua yang menurun drastis, hingga konflik dalam keluarga yang mungkin terjadi lebih rutin dan terlihat di depan mata semenjak wabah penyakit serupa flu—dengan gejala yang jauh lebih berat serta kemungkinan kematian yang jauh lebih tinggi—mengejutkan dunia. Semakin tersadar kita; Covid-19 yang menjalar cepat dari satu manusia ke manusia lainnya, tidak hanya membuat sakit kepala orang dewasa. Para tunas bangsa mengalaminya juga.
Dalam wawancara yang penulis lakukan bersama dua guru yang juga wali kelas di salah satu sekolah dasar di Kabupaten Bandung, terdapat banyak sekali kendala dalam pembelajaran yang dialami oleh siswa dan guru. Salah satunya adalah siswa kurang responsif dalam kegiatan belajar-mengajar. Ketika ditelusuri, permasalahan ini umumnya memang berakar pada fakta bahwa tidak semua siswa memiliki ponsel sendiri. Sebagian besar menggunakan ponsel orang tua, sehingga ketika orang tua mereka pergi bekerja, informasi mengenai pembelajaran yang mencakup materi serta tugas tidak tersampaikan pada siswa. Hal ini berujung kepada tidak terkerjakannya tugas dan terlambatnya tugas dikumpulkan. Bahkan terkadang orang tua terpaksa mengerjakan tugas anaknya karena mereka baru pulang tengah malam dan siswa sudah tertidur. Salah satu guru mengatakan pintu rumahnya pernah diketuk pukul 23.00 WIB oleh orang tua siswa yang hendak mengumpulkan tugas LKS cetak yang memang biasanya dipakai dalam pembelajaran di SD tersebut.
Selain karena orang tua yang bekerja, kurangnya respon dalam menanggapi guru atau terlambat maupun tidak mengumpulkan tugas adalah karena terdapat banyak siswa yang tidak memiliki LKS. Terkadang guru mengirimkan bagian-bagian LKS yang dibutuhkan siswa dalam bentuk foto, akan tetapi sepertinya cara tersebut kurang efektif. Akhirnya guru pun sering merekomendasikan siswanya untuk bekerja bersama dalam kelompok kecil di antara siswa yang rumahnya dekat. Tentunya ini cara terakhir yang dapat dilakukan agar siswa mengerjakan tugas LKS, karena guru tidak bisa melayani permintaan foto dan menjawab pertanyaan siswa atau orang tua siswa selama dua puluh empat jam.
Di sisi lain, permasalahan yang terasa sangat nyata adalah kurangnya pemahaman siswa terhadap materi, karena guru tidak selalu memberikan media pembelajaran. Alasannya tidak lain karena media yang biasa dicari (berupa video) tidak semuanya tersedia di internet. Terkadang guru pun membuat sendiri media pembelajaran, akan tetapi kemampuan pemula, tidak mempuninya perangkat, serta sulitnya membagi waktu antara jam sekolah dengan jam di luar sekolah—yang dalam masa pandemi ini menjadi berantakan—adalah penyebab utama kurangnya penggunaan media pembelajaran. Permasalahan yang satu ini bermuara pada banyaknya siswa yang mengerjakan tugas dengan didominasi bantuan orang tua atau keluarganya, bahkan dimudahkan dengan mesin pencari. Perilaku tersebut jika dibiarkan akan menjadi kebiasaan, menumbuhkan rasa malas, kurangnya kemampuan literasi, dan tidak bisa mandiri dalam menyelesaikan pekerjaannya.
Buntut panjang permasalahan tersebut terjadi setelah guru memberikan evaluasi. Soal-soal ujian diberikan secara daring. Namun mengejutkan, nilai siswa rata-rata nyaris sempurna. Bisa dimaklumi jika guru merasa sangsi dengan hasil tersebut, mengingat pada proses pembelajaran justru siswa tidak menunjukkan hasil yang memuaskan. Timbullah kecurigaan bahwa mungkin terjadi kecurangan ketika pengisian soal. Guru lain yang penulis tidak wawancara, akan tetapi ikut menanggapi berkata, ketidakmampuan guru ada di dekat siswa untuk mengawasi selama masa pembelajaran dan berlangsungnya evaluasi kognitif adalah kunci terbesar dari permasalahan ini. Meskipun pada beberapa kesempatan guru sering didatangi beberapa orang siswa dan/atau orang tua siswa sekaligus, serta berkenan menjelaskan ulang materi maupun tugas, tetap saja rasanya kurang efektif, dibuktikan dengan sering ditemukannya jawaban LKS siswa yang tidak sesuai harapan. Hasil evaluasi jadi dipandang sebelah mata karena ketidakselarasannya dengan kegiatan pembelajaran.
Berdasarkan pemaparan permasalahan yang ditemukan pada siswa dan guru sehingga berdampak pada terhambatnya pembelajaran daring di masa pandemi Covid-19, penulis berpikir bahwa terdapat banyak peluang memaksimalkan beberapa hal untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dan mengurangi permasalahan yang sudah ada. Berikut adalah beberapa solusi yang dapat dilakukan oleh berbagai pihak dalam mendukung terciptanya kondisi belajar daring yang kondusif, efektif, dan optimal:
1. Meningkatkan komunikasi antara guru, siswa, dan orang tua siswa
Wacana di atas memang tidak mudah untuk dilakukan, akan tetapi bisa jika diperjuangkan. Salah satu alasan mengapa siswa kurang responsif dan malas mengerjakan tugas mungkin karena mereka tidak menangkap materi dan instruksi—selain karena perangkat pembelajarannya dibawa oleh orang tua bekerja. Sementara di sisi guru, penjelasan berulang akan melelahkan serta memancing rasa kesal. Kedua hal tersebut dapat diatasi dengan adanya komunikasi yang jelas di antara seluruh komponen yang ada.
Misalnya di awal semester, perlu diadakan pertemuan (yang jika tidak memungkinkan dilakukan secara tatap muka), dapat diperantarai dengan video conference seperti Zoom dan Google Meet. Â Dalam pertemuan tersebut, diperbolehkan membahas apa saja, bertanya apa saja, mendiskusikan apa saja, bahkan tidak apa-apa jika hanya diisi dengan kalimat motivasi, pengertian, dan lain sebagainya. Â Selain itu, perlu ada kesepakatan yang dibuat bersama, kemudian disampaikan dengan jelas dan langsung untuk menghindari permasalahan-permasalahan yang mungkin akan terjadi selama pembelajaran. Jika kesepakatan tersebut dilanggar, ketiga belah pihak harus menanggung risikonya masing-masing.
Jika satu pertemuan tidak cukup, guru bisa menambah pertemuan dengan mempertimbangkan waktu luang siswa dan/atau orang tua siswa. Â Misalnya, pertemuan tersebut diperbanyak frekuensinya menjadi satu pekan satu kali, untuk menjelaskan rangkuman pembelajaran selama lima sampai enam hari ke depan. Siswa dan/atau orang tua siswa yang tidak mengikuti pertemuan dan masih bingung tentang suatu hal, dapat terlebih dahulu bertanya pada temannya, sebelum bertanya pada guru. Ini adalah win-win solution yang berpotensi untuk berhasil.
2. Membuat dan mencari media pembelajaran yang tepat
Bagi guru, perlu diingat bahwa media pembelajaran yang tepat dapat meningkatkan motivasi dan semangat belajar pada siswa. Media pembelajaran tidak harus sesuatu yang rumit dan mewah, dapat juga dibuat secara sederhana. Â Poin-poin materi dapat dibuat dalam PowerPoint atau bahkan berbentuk dokumen Word biasa, diberi gambar yang lebih berwarna. Gambar membuat materi lebih mudah dipahami karena sifatnya konkret, sementara tulisan bersifat abstrak.
Teori belajar Piaget mengatakan bahwa terdapat empat tahap perkembangan pada individu. Usia sekolah dasar adalah tahap Operasional Konkret. Artinya, anak masih memerlukan sesuatu yang memperantarai konsep yang abstrak menjadi sesuatu yang dapat diinderai, agar sampai kepada pemahamannya. Sementara usia sekolah menengah pertama ke atas, anak berada dalam tahap Operasional Formal, sehingga bisa mulai membayangkan dan memahami sesuatu yang bentuknya tidak berwujud. Namun tidak semua anak memiliki kemampuan tahap Operasional Formal tersebut, yang disebabkan oleh banyak faktor. Jadi lebih baik bagi guru untuk membubuhkan komponen-komponen konkret dalam cara menyampaikan, salah satunya dengan media.
Selain bentuk rangkuman, guru juga bisa memberikan info grafis mengenai fakta yang berhubungan dengan materi yang akan dibelajarkan, yang bisa dicari di internet. Â Misalnya, guru ingin memberikan materi mengenai virus, maka bisa memanfaatkan info grafis-info grafis yang disediakan berbagai sumber mengenai kondisi pandemi saat ini, yang disebabkan oleh virus Sars-CoV-2. Selain untuk menyampaikan pemahaman, info grafis juga dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan literasi siswa, karena interpretasi informasi yang ada pada info grafis merupakan sesuatu yang tidak mudah dimanipulasi hasilnya.
Terdapat banyak aplikasi pembelajaran yang bisa dimanfaatkan secara gratis di ponsel, atau web pembelajaran seperti Rumah Belajar yang disediakan oleh Kemdikbud maupun web-web lainnya. Bagi pembelajaran yang memerlukan keterampilan seperti Penjaskes, Seni Budaya, atau praktikum di mata pelajaran IPA, media dapat berupa rekaman video atau pertemuan secara langsung dengan kelompok kecil, untuk memperagakan simulasi yang dilakukan oleh guru atau salah satu siswa. Jika guru perlu memaparkan secara langsung karena berhubungan dengan bahasa, misalnya, dapat menggunakan rekaman suara atau podcast yang lebih panjang. Video pembelajaran yang memadukan komponen gambar, animasi, dan suara juga bagus untuk menyampaikan materi.
3. Mengikuti dan mengadakan pelatihan atau menonton dan membuat video tutorial mengenai penggunaan aplikasi pendukung pembelajaran
Tidak dapat dielakkan bahwa pada masa ini semua orang dituntut untuk melek teknologi, tak terkecuali guru. Bagi guru yang sudah senior, mungkin rasanya menakutkan untuk mengotak-atik perangkat dengan bebas karena tidak mengerti dan takut keliru menekan sesuatu. Namun bagaimanapun, teknologi adalah salah satu alat paling utama dalam pembelajaran dalam jaringan di masa pandemi, dan mempelajarinya adalah cara ‘bertahan hidup’. Berani belajar sesuatu yang baru meskipun harus melewati proses yang panjang dapat sangat berguna untuk berbagai hal ke depannya.
Sekarang banyak dibuka pelatihan-pelatihan gratis atau berbayar—dengan harga terjangkau—dalam memanfaatkan berbagai aplikasi pendukung pembelajaran, seperti aplikasi pengedit foto, dan video untuk media, aplikasi pengumpul data untuk tugas maupun evaluasi, atau aplikasi video conference untuk pertemuan synchronous (tatap muka).  Tentunya sayang jika kesempatan seperti itu dilewatkan, meskipun alternatif lain bisa dilakukan dengan menonton video tutorial yang terdapat di YouTube. Meski mungkin agak sulit untuk mengikuti, tetapi video tersebut dapat dijeda terlebih dahulu.
Sedikit tips untuk menguasai keterampilan yang tengah dilatihkan atau ditonton, adalah sembari mempraktikkannya secara langsung. Setelah melakukan, bisanya akan ditemukan berbagai kendala yang langsung bisa diperbaiki dengan bertanya pada pelatih sebelum mengganti topik, atau mengulang sedikit video tutorial yang sedang ditonton. Jika hanya menyimak tanpa ada tindakan mengikuti, biasanya instruksi dari pelatih atau video tidak akan menerap di kepala dan hilang begitu saja. Bagi guru yang sudah memiliki kemampuan yang mempuni dalam memanfaatkan aplikasi-aplikasi pendukung pembelajaran, tidak ada salahnya mengadakan pelatihan kecil bagi guru-guru di sekolah atau di daerah sekitarnya. Agar lebih praktis, membuat video tutorial adalah jalan yang dapat ditempuh. Berbagi ilmu tidak pernah berakhir mengecewakan.
4. Mengikuti dan mengadakan webinar (tentang penanggulangan Covid-19 di bidang pendidikan, psikologi, kesehatan, pengasuhan anak, dan lain sebagainya)
Selain pelatihan, di media sosial marak ditemukan poster mengenai webinar bermanfaat tentang keilmuan tertentu, termasuk tentang cara penanggulangan dampak Covid-19 di berbagai bidang. Baik bagi guru, siswa, dan orang tua siswa, webinar-webinar yang ada tersebut dapat diikuti dalam rangka meningkatkan kualitas pembelajaran.
Salah satu tema webinar yang patut dicoba untuk diikuti adalah tema psikologi, karena pada akhirnya, dampak Covid-19 yang menimpa seluruh bidang kehidupan bertitik berat di kondisi psikologi seseorang, baik anak kecil maupun orang dewasa. Kondisi kesehatan jiwa terkadang tidak terlalu terperhatikan karena paradigma masyarakat terhadap kata ‘kejiwaan’ masih dianggap tabu dan terkesan buruk. Tidak semua orang mengenal konsep ini dengan baik sehingga mengabaikannya.
Padahal, kesehatan jiwa atau mental perlu disorot karena dapat bermuara pada kesehatan fisik dan kinerja. Dengan mengikuti webinar bertema psikologi, mungkin dapat menyadarkan serta membantu dalam mengurangi permasalahan-permasalahan psikologi yang hendak maupun sudah datang.
Terkhusus untuk siswa dan orang tua siswa, webinar yang tepat selain tema pendidikan dan psikologi, adalah tema pengasuhan anak. Sekolah pun bisa merancang webinar sendiri dengan menghadirkan pemateri yang sesuai di bidang tersebut. Biasanya program sekolah akan lebih mudah menarik perhatian dan minat siswa serta orang tua siswa.
5. Mengadakan penggalangan dana atau penyediaan untuk keperluan perangkat siswa yang kurang mampu
Solusi terakhir ini terdengar sangat jauh dari gapaian, tapi tidak salah untuk dicoba. Pihak sekolah mungkin bisa melakukan penggalangan dana dengan cara yang bervariasi, seperti berjualan atau melakukan kegiatan sederhana, misalnya pameran karya anak. Sekolah juga bisa bekerja sama dengan alumni yang sudah berpenghasilan dan berekonomi baik, mencari sponsor, atau mengajukan penyediaan perangkat yang mempuni kepada pemerintah daerah. Tersedianya perangkat yang mempuni dapat meningkatkan responsivitas, semangat, dan motivasi pada siswa.
Poin kelima di atas mengakhiri solusi-solusi yang ditawarkan penulis kepada berbagai pihak dalam menanggulangi dampak Covid-19 di bidang pendidikan, yakni permasalahan yang dialami oleh pihak siswa dan orang tua siswa, maupun pihak guru sebagai pendidik. Semoga dapat menjadi inspirasi untuk tetap berjuang melawan batas dalam pembelajaran daring di masa pandemi.
Mari kita berdoa, agar keadaan yang memenjara ini bisa segera berakhir. Jangan lupa untuk mematuhi protokol kesehatan dan tetaplah semangat menjalani hari yang terasa sedikit lebih pekat daripada biasanya. Lekas sembuh Indonesia, juga dunia. Salam. []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H