Mohon tunggu...
Poedjiati Tan
Poedjiati Tan Mohon Tunggu... profesional -

Co-founder NLP Coach Indonesia. yang bergerak dibidang Business Consultant dan pelatihan dengan teknik NLP dan juga soft skill lainnya. Direktur Penerbit EnerJik Kharisma yang menerbitkan buku NLP, pengembang diri dan juga Novel. Psikolog di Bina Grahita Mandiri. Master Psikologi, Master Practitioner NLP, Certificate Advanced coach NLP. Sertifikasi untuk HRD dan penggajian karyawan penulis untuk penelitian psikologi, prilaku manusia, dan juga penulis entrepreneur dan bisnis. Desainer buku Aktif di beberapa organisasi masyarakat dan perempuan. Co founder Konde Institute media alternatif berbasis online. Dosen LB di Universitas Ciputra Surabaya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengenalkan Peran Gender Pada Anak

16 Mei 2017   16:50 Diperbarui: 16 Mei 2017   16:54 3168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika menghadiri reuni mantan atlet Taekwondo setelah 30 tahun tidak bertemu. Kami bercerita tentang masa-masa muda ketika berlatih taekwondo. Saya jadi teringat ketika pertama kali ingin ikut latihan Taekwondo. Orang tua saya tidak melarang saya ikut, bahkan papa saya selalu mengantar jemput saya ke tempat latihan karena usia saya yang masih sembilan tahun. Saya masih ingat kerabat saya yang berkomentar “kok anak perempuan diikutkan beladiri Sih! Apa ngak takutjadi laki nanti?

Memang, waktu itu mengikutkan anak perempuan olah raga bela diri bukan sesuatu yang umum. Orang tua yang mempunyai anak perempuan cenderung mengikutkan anak perempuan latihan menari, balet atau olah raga yang tidak menggunakan kekerasan fisik. Dan anak laki yang terlihat lemah sering oleh orang tuanya diikutkan olahraga beladiri. Anak laki yang ingin ikut ballet biasanya cenderung ditolak oleh orang tuanya. Orang tua sangat berperan dengan pilihan mainan ataupun olahraga apa untuk anaknya.   

Gender pertama kali dilekatkan kepada seseorang ketika dokter yang membantu melahirkan menyebutkan jenis kelamin seorang anak. Ketika dokter mengatakan anak yang lahir adalah perempuan, maka orang tua segera membeli pakaian dan perlengkapan bayi berwarna pink, boneka, mencari nama perempuan sesuai dengan konstruksi sosial yang ada. Dan Menurut Simone De Beauvoir: “One is not born a woman, but rather becomes one

Mulailah anak dibentuk bagaimana menjadi seroang perempuan dan apa saja tugas mereka sebagai perempuan. Apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan perempuan, bagaimana dia bertingkah laku, tertawa, berbicara, berpakaian, bahkan berpikirpun kadang dibatasi. Masa depannya seperti sudah ditentukan oleh orang tuanya atau oleh lingkungan sosialnya. Tubuhnya seakan-akan bukan lagi menjadi miliknya sendiri.

Anak-anak belajar pada usia yang sangat dini apa artinya menjadi laki-laki atau perempuan dalam masyarakat kita. Melalui segudang kegiatan, peluang, dorongan,  anjuran dan larangan, dan berbagai bentuk bimbingan, yang membuat anak mengalami proses sosialisasi peran gender. Sulit bagi seorang anak untuk tumbuh dewasa tanpa mengalami beberapa bentuk bias gender atau stereotip, apakah itu harapan bahwa anak laki-laki lebih kuat dan tangguh daripada anak perempuan atau gagasan bahwa hanya perempuan yang bisa mengasuh anak-anak. Sebagai anak-anak yang tumbuh dan berkembang, stereotip gender mereka diajarkan mulai dari di rumah dan diperkuat oleh unsur-unsur lain di lingkungan mereka dan dengan demikian diabadikan sepanjang masa dan di dalam kehidupan.

Pengaruh Orang Tua

Paparan seorang anak yang paling awal untuk apa artinya menjadi laki-laki atau perempuan berasal dari orang tua. Dari mulai anak-anak mereka masih bayi, orang tua memperlakukan anak mereka secara berbeda, mulai dari pakaian bayi, warna tertentu untuk jenis kelamin tertentu, memberikan mainan sesuai dengan jenis kelamin, dan mengharapkan perilaku yang berbeda dari anak laki-laki dan perempuan. Studi menunjukkan bahwa orang tua memiliki harapan yang berbeda dari putra dan putri dimulai 24 jam setelah lahir.

Orang tua cenderung mendorong anak-anak mereka untuk berpartisipasi dalam kegiatan permainan yang sesuai dengan gender, misal bermain boneka dan terlibat dalam kegiatan rumah tangga untuk anak perempuan dan bermain dengan mobil-mobilan dan terlibat dalam kegiatan olahraga untuk anak laki-laki. Preferensi mainan anak-anak telah ditemukan secara signifikan terkait dengan sex types orang tua, orang tua memberikan mainan dengan membedakan gender dan perilaku bermain sesuai gender stereotip. Kedua orang tua berkontribusi pada stereotip gender anak-anak mereka. Dalam penelitian ditemukan bahwa ayah lebih sering menekankan gender stereotype pada anak daripada ibu.

Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa orang tua memperlakukan anak perempuan dan laki-laki dengan cara yang berbeda. Hubungan antara orangtua dengan anak memiliki efek pada perkembangan anak yang berlangsung hingga dewasa. Sikap orangtua yang hangat dan mendukung menjadi kunci utama dalam perkembangan diri dan self esteem anak. Seringkali, orang tua memberikan pesan halus tentang peran gender dan apa yang boleh dan tidak boleh yang berhubungan dengan peran gender, yang akan diinternalisasi oleh anak dalam perkembanganya.

Manfaat Androgynous

Meskipun mungkin ada beberapa kebaikan untuk mengikuti stereotip peran gender misal, memberikan rasa aman, memfasilitasi pengambilan keputusan, tetapi ada harga yang harus dibayar juga dalam melestarikan stereotip peran gender. Termasuk membatasi peluang untuk anak laki-laki dan perempuan, mengabaikan bakat, dan mengabadikan ketidakadilan dalam masyarakat kita. Orang tua yang mendukung sikap egaliter mengenai peran gender lebih mungkin untuk menumbuhkan sikap ini pada anak-anak mereka. Individu yang androgini ditemukan lebih memiliki self esteem yang tinggi, pencapaian diri yang lebih tinggi dan lebih fleksibel dalam berhubungan dengan orang lain dan memiliki relasi yang lebih baik dengan pasangan.

Anak-anak yang memiliki orang tua dengan nilai-nilai egaliter yang kuat cenderung lebih memiliki pengetahuan tentang obyek nonsex-type dibanding anak lain. Anak-anak yang ibunya bekerja di luar rumah lebih terbuka dalam peran gender  daripada anak yang ibunya tinggal di rumah. Bahkan, anak-anak prasekolah yang ibunya bekerja di luar rumah memiliki pengalaman yang berbeda dalam melihat dunia luar. Mereka memiliki kemampuan untuk membuat pilihan yang tidak terhalang oleh jenis kelamin.

Keluarga yang orang tuanya yang memiliki peran androgini (misal, seorang ibu yang bisa memperbaiki mobil keluarga atau seorang ayah yang bisa memasak kue atau makanan) menunjukan dapat memberikan kehangatan dan dukungan terhadap anaknya.Orang tua yang androgini ditemukan sangat mendorong prestasi anak dan mengembangkan self esteem di putra dan putri mereka. Mereka tidak membedakan antara anak laki-laki dan perempuan, berbagi peran dan berlaku adil sehingga membuat anak lebih mandiri dan menghargai orang lain.

References

  • Basow, S. A. (1992).  Gender stereotypes and roles, 3rd ed. Pacific Grove, CA: Brooks/Cole Publishing Company.
  • Beal, C. (1994).  Boys and girls: The development of gender roles.  New York: McGraw-Hill, Inc.
  • Cowan, G. & Hoffman, C. D. (1986).  Gender stereotyping in young children: Evidence to support a concept-learning  approach.  Sex Roles, 14, 211-224.
  • Eccles, J. S., Jacobs, J. E., & Harold, R. D. (1990).  Gender role stereotypes, expectancy effects, and parents socialization of gender differences.  Journal of Social  Issues, 46, 186-201.
  • Heilbrun, A. B. (1981).  Gender differences in the functional linkage between androgyny, social cognition, and competence.  Journal of Personality and Social Psychology, 41, 1106-1114.
  • Lundy, A. & Rosenberg, J. A. (1987).  Androgyny, masculinity, and self-esteem.  Social Behavior and Personality, 15, 91-95.
  • Paretti, P. O. & Sydney, T. M. (1984).  Parental toy choice stereotyping and its effect on child toy preference  and sex role typing.  Social Behavior and Personality, 12, 213-216.

Pernah dimuat dalam www.konde.co dengan judul Mengenalkan Konstruksi Gender pada Anak  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun