Beberapa hari ini LGBT seperti menjadi trend dan topik yang hangat. Beberapa pejabat negara mengeluarkan pernyataan tentang LGBT yang tidak diikuti dengan pengetahuan akan LGBT dan hanya berdasarkan asumsi dan persepsi. Pernyataan yang mendekreditkan LGBT dan bisa memberikan dampak kebencian dan diskriminasi kepada kelompok LGBT di masyarakat.
Menristek M Nasir yang tidak mengerti persoalan SGRC UI ketika ditanya wartawan langsung memberikan pernyataan tanpa berpikir dampaknya.
Pernyataan : Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi M Nasir menegaskan, kelompok lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) tidak boleh masuk kampus. Menurutnya hal itu tidak sesuai dengan norma-norma yang ada.
"LGBT ini tidak sesuai dengan tataran nilai dan kesusilaan bangsa Indonesia. Saya melarang. Indonesia ini tata nilainya menjaga kesusilaan," kata Nasir ( detikcom 24/1/2015).
Stelah ramai-ramai di protes dan terbitnya sebuat petisi atas pernyataan tersbut, M Nasir mengatakan bahwa yang tidak diperbolehkan itu adalah melakukan hubungan seks dan bermesraan di kampus. Terus terang saya jadi heran kenapa melihat LGBT hanya dari selangkangan dan nge-seks saja tidak dilihat dari sciens-nya sesuai dengan kapasitas dia sebagai menristek. Tidak melihat pentingnya lembaga pendampingan layanan konseling di kampus yang tidak hanya ditujukan untuk LGBT saja.
Buka hanya Menristek aparat negara yang membuat pernyataan yang bisa menimbulkan kebencian dan diskriminasi terhadap LGBT tetapi Mendikbud Anies Baswedan juga melakukan hal yang sama.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Anies Baswedan mengatakan, perilaku menyimpang, seperti lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT), di kalangan remaja harus menjadi perhatian bagi orang tua dan guru. Mereka guru harus menyadari pentingnya nilai-nilai yang dipegang dalam pendidikan, seperti nilai agama, Pancasila, dan budaya.
“Untuk menjaga (LGBT) itu, maka orang tua dan guru harus sadar bahwa nilai itu harus diajarkan, ditumbuhkan, dan dikembangkan sejak usia dini. Bahkan, sebagian pakar menyebutkan sejak dalam kandungan,” ungkap mantan rektor Universitas Paramadina ini kepada Republika.co.id, Ahad (24/1).
Di samping itu, orang tua dan guru harus meningkatkan komunikasi kepada anak secara intensif. Hal ini menjadi salah satu cara untuk menjaga nilai-nilai moral pada anak. Dengan demikian, diharapkan tidak ada lagi perilaku anomali dalam kehidupan sosial, semisal LGBT.
Menurut Anies, komunikasi dan pendekatan ini memang perlu dilakukan sebagai upaya pencegahan. Jika sampai ada potensi penyimpangan, itu bisa terdeteksi dini dan bisa cepat diselesaikan.
Pernyatan Mendikbud ini lebih parah lagi yang mengatakan LGBT sebagai penyimpangan. Setelah itu asistennya mengatakan bahwa Anies Baswedan salah menggunakan kata. Tetapi menurut saya ini jelas bukan salah memilih kata tetapi minimnya pengetahuan tentang LGBT. Saya jadi heran padahal setahu saya Anies Baswedan itu berpendidikan tinggi dan pernah sekolah di luar negeri, yang pastinya jurlna-jurnal hasil penelitian tentang LGBT berterbaran, apa mungkin dia kurang piknik ke perpustakaan.
Mungkin mereka tidak tahu kalau, WHO pada 1990 mencabut homoseksualitas dari daftar gangguan jiwa, yaitu pada nternational Classification of Diseases (ICD) edisi 10. Asosiasi Psikologi Amerika menyatakan bahwa penelitian dan literatur klinis menunjukkan bahwa homoseksualitas adalah variasi normal dan positif dari orientasi seksual manusia. Sejak kali pertama diterbitkan pada 1952, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM) menuai pujian dan juga kritik. Hingga kini, DSM sudah mengalami revisi lima kali. Dalam edisi ke-5 baik homoseksualitas maupun identitas trans* tidak lagi digolongkan sebagai gangguan jiwa. Indonesia juga tidak ketinggalan melalui Pedoman Penanggulangan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) ke II pada tahun 1983 dan III tahun 1993 telah mengeluarkan homoseksualitas dari daftar gangguan jiwa.
Apa yang dikatakan Anies ini bisa menimbulkan homophobia di sekolah dan juga berpotensi bullying terhadap anak-anak. Bayangkan bila ada seorang anak laki-laki yang terlihat feminim akan dipersepsikan sebagai gay dan akan dianggap menyimpang. Apa yang akan terjadi, si anak dipaksa untuk menjadi maskulin, macho dan didik dengan cara yang keras padahal anak itu belum tentu gay.
Kenapa LGBT selalu dikaitkan dengan Moral? Seperti kata Gayle Rubin;Masyarakat menciptakan hirarki seksual yang dilabeli penilaian baik dan buruk, sah dan tidak sah. Masyarakat mengklasifikasi dorongan, tindakan, dan identitas tertentu sebagai normal, terhormat, baik, sehat, dan bermoral; sedang bentuk yang lain diklasifikasi sebagai tidak sehat, abnormal, berdosa, dan immoral.
Sungguh mengecewakan dua menteri yang berkecimpung di dunia pendidikan dan penelitian mengeluarkan pernyataan yang sempit dan dangkal tidak berbasis pada ilmu pengetahuan dan hasil penelitian yang telah ada. Melihat seksualitas dan gender hanya sebatas selangkangan, seks dan moral. Mengingkari bahwa seksualitas manusia itu kompleks. Seksualitas hanya dilihat atau Keharusasn memiliki satu jenis kelamin yang jelas dan bila ada diantaranya (Interseks) maka harus segera dilakukan penyesuaian, Psikiatrisasi kesenangan (mempatologikan semua perilaku seks yang menyimpang dari prinsip seks prokreatif), Pedagogisasi seksualitas anak.
Hal ini tidak ubahnya seperti abad ke 19 di Eropa yang menciptakan kultur victorian. Menurut Foucault: Borjuasi Victorian menggariskan bahwa seks yang normal adalah seks yang dipingit rapi, dirumahtanggakan, dan berfungsi reproduksi, sedang seks yang tidak normal adalah yang dipertontontonkan di depan publik, tidak berada dalam batasan keluarga, tidak memiliki fungsi reproduksi, termasuk di sini adalah orang yang mandul.
Jadi membicarakan soal orientasi seksual dan mendukung LGBT dipublik akan dianggap sebagai sesuatu yang tabu dan tidak sesuai. Itu sebabnya kenapa menristek memberikan sanggahan yang terlihat tidak cerdas secara intelektual.
Apakah ini salah satu cara para penjabat untuk menutupi kegagalannya dalam memajukan pendidikan dan ilmu pengetahuan dengan cara melakukan Hegemoni. Penguasa berusaha untuk menegakkan kepemimpinan moral dan filosofikal terhadap masyarakat mendapatkandukungan dan menutupi kegagalannya. Dengan mengalihkan isu dan mengatakan LGBT tidak bermoral, dan menyimpang.
Pendidikan tinggi tidak menjamin seseroang mengerti tentang gender dan seksualitas. Mereka hanya berkacamata pada binary saja, menutup mata bahwa jenis kelamin tidak hanya laki dan perempuan saja tetapi disana juga ada interseks. Mencampuradukan antara orientasi seksual dengan kegiatan seksual. Ini kenapa pendidikan gender dan seksualitas diperlukan diajarkan di sekolah agar mereka tidak tergagap-gagap dan menyamaratakan atau melihat seksualitas hanya sebagai kegiatan seks semata. Menyamakan LGBT dengan pornografi dan menfanggap sebagai hal yang tabu dan mengingkari keberadaannya. Sampai kapan kita akan menjadi masyarakat yang gagap LGBT dan gagap mengenai persoalan gender dan seksualitas?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H