Mohon tunggu...
Poedjiati Tan
Poedjiati Tan Mohon Tunggu... profesional -

Co-founder NLP Coach Indonesia. yang bergerak dibidang Business Consultant dan pelatihan dengan teknik NLP dan juga soft skill lainnya. Direktur Penerbit EnerJik Kharisma yang menerbitkan buku NLP, pengembang diri dan juga Novel. Psikolog di Bina Grahita Mandiri. Master Psikologi, Master Practitioner NLP, Certificate Advanced coach NLP. Sertifikasi untuk HRD dan penggajian karyawan penulis untuk penelitian psikologi, prilaku manusia, dan juga penulis entrepreneur dan bisnis. Desainer buku Aktif di beberapa organisasi masyarakat dan perempuan. Co founder Konde Institute media alternatif berbasis online. Dosen LB di Universitas Ciputra Surabaya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Masyarakat yang Gagap LGBT

28 Januari 2016   11:23 Diperbarui: 3 Februari 2016   16:23 818
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Mungkin mereka tidak tahu kalau, WHO pada 1990 mencabut homoseksualitas dari daftar gangguan jiwa, yaitu pada nternational Classification of Diseases (ICD) edisi 10. Asosiasi Psikologi Amerika menyatakan bahwa penelitian dan literatur klinis menunjukkan bahwa homoseksualitas adalah variasi normal dan positif dari orientasi seksual manusia. Sejak kali pertama diterbitkan pada 1952, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM) menuai pujian dan juga kritik. Hingga kini, DSM sudah mengalami revisi lima kali. Dalam edisi ke-5 baik homoseksualitas maupun identitas trans* tidak lagi digolongkan sebagai gangguan jiwa. Indonesia juga tidak ketinggalan melalui Pedoman Penanggulangan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) ke II pada tahun 1983 dan III tahun 1993 telah mengeluarkan homoseksualitas dari daftar gangguan jiwa. 

Apa yang dikatakan Anies ini bisa menimbulkan homophobia di sekolah dan juga berpotensi bullying terhadap anak-anak. Bayangkan bila ada seorang anak laki-laki yang terlihat feminim akan dipersepsikan sebagai gay dan akan dianggap menyimpang. Apa yang akan terjadi, si anak dipaksa untuk menjadi maskulin, macho dan didik dengan cara yang keras padahal anak itu belum tentu gay.

Kenapa LGBT selalu dikaitkan dengan Moral? Seperti kata Gayle Rubin;Masyarakat menciptakan hirarki seksual yang dilabeli penilaian baik dan buruk, sah dan tidak sah. Masyarakat mengklasifikasi dorongan, tindakan, dan identitas tertentu sebagai normal, terhormat, baik, sehat, dan bermoral; sedang bentuk yang lain diklasifikasi sebagai tidak sehat, abnormal, berdosa, dan immoral.

Sungguh mengecewakan dua menteri yang berkecimpung di dunia pendidikan dan penelitian mengeluarkan pernyataan yang sempit dan dangkal tidak berbasis pada ilmu pengetahuan dan hasil penelitian yang telah ada. Melihat seksualitas dan gender hanya sebatas selangkangan, seks dan moral. Mengingkari bahwa seksualitas manusia itu kompleks. Seksualitas hanya dilihat atau Keharusasn memiliki satu jenis kelamin yang jelas dan bila ada diantaranya (Interseks) maka harus segera dilakukan penyesuaian, Psikiatrisasi kesenangan (mempatologikan semua perilaku seks yang menyimpang dari prinsip seks prokreatif), Pedagogisasi seksualitas anak.

Hal ini tidak ubahnya seperti abad ke 19 di Eropa yang menciptakan kultur victorian. Menurut Foucault: Borjuasi Victorian menggariskan bahwa seks yang normal adalah seks yang dipingit rapi, dirumahtanggakan, dan berfungsi reproduksi, sedang seks yang tidak normal adalah yang dipertontontonkan di depan publik, tidak berada dalam batasan keluarga, tidak memiliki fungsi reproduksi, termasuk di sini adalah orang yang mandul.

Jadi membicarakan soal orientasi seksual dan mendukung LGBT dipublik akan dianggap sebagai sesuatu yang tabu dan tidak sesuai. Itu sebabnya kenapa menristek memberikan sanggahan yang terlihat tidak cerdas secara intelektual.

Apakah ini salah satu cara para penjabat untuk menutupi kegagalannya dalam memajukan pendidikan dan ilmu pengetahuan dengan cara melakukan Hegemoni. Penguasa berusaha untuk menegakkan kepemimpinan moral dan filosofikal terhadap masyarakat mendapatkandukungan dan menutupi kegagalannya. Dengan mengalihkan isu dan mengatakan LGBT tidak bermoral, dan menyimpang.

Pendidikan tinggi tidak menjamin seseroang mengerti tentang gender dan seksualitas. Mereka hanya berkacamata pada binary saja, menutup mata bahwa jenis kelamin tidak hanya laki dan perempuan saja tetapi disana juga ada interseks. Mencampuradukan antara orientasi seksual dengan kegiatan seksual. Ini kenapa pendidikan gender dan seksualitas diperlukan diajarkan di sekolah agar mereka tidak tergagap-gagap dan menyamaratakan atau melihat seksualitas hanya sebagai kegiatan seks semata. Menyamakan LGBT dengan pornografi dan menfanggap sebagai hal yang tabu dan mengingkari keberadaannya. Sampai kapan kita akan menjadi masyarakat yang gagap LGBT dan gagap mengenai persoalan gender dan seksualitas? 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun