Thinking, Fast and Slow -- Daniel Kahneman | 2011 | Terjemahan Indonesia, 2013 | Cetakan Kedua, 2019 | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | ISBN : 978-602-06-3718-1 | halaman 566 | Genre : Psychology
Resensi sebelumnya Part 1/2 dapat dilihat pada link https://www.kompasiana.com/poe3/5eda4e38d541df137629ff14/resensi-buku-thinking-fast-and-slow-karya-daniel-kahneman-part-1-2?page=1Â
Setelah pembahasan sebelumnya tentang Sistem Satu dan Sistem Dua, Diri Mengalami dan Diri Mengingat, serta Heuristik dan Bias, resensi kali ini melanjutkan intisari mengenai kecenderungan psikologis manusia lainnya seperti berikut.
Manusia Tidak Mau Rugi
Bahwa pada dasarnya manusia benci dengan kerugian, bahkan ketika artinya dia menjadi terlalu optimis, contohnya ketika berjudi. Lotere, investasi dan permainan saham juga salah satu manifestasi sifat manusia yang tidak mau rugi ini. Manusia cenderung rela mengeluarkan usaha lebih besar untuk mendapat kemungkinan untung yang kecil, karena terlalu optimis, atau sudah kepalang tanggung sampai mencapai apa yang dirasanya sebagai 'bukan kerugian', walaupun kenyataan selisihnya tidak seberapa jika dibandingkan dengan usaha dan sumber daya yang sudah dikeluarkan.
Kahneman menunjukkan bahwa investor yang tidak banyak melakukan pergerakan portofolio mereka di pasar saham malahan tidak banyak merugi jika dibandingkan dengan mereka yang lebih aktif. Masuk akal mengingat dunia saham adalah dunia yang penuh ketidakpastian.
Buku ini juga membahas tentang utilitas, bahwa manusia bergerak dan merasa bukan didasari oleh nilai uang itu sendiri, melainkan efek psikologis yang didapat oleh uang itu. Contohnya, penambahan gaji secara merata sejumlah 5 juta rupiah pada karyawan dengan gaji awal 5 juta rupiah akan lebih besar efek psikologisnya jika dibandingkan dengan karyawan yang memiliki gaji awal 20 juta rupiah.Â
Dan banyak contoh-contoh lainnya yang dijabarkan dengan detail oleh Kahneman, hubungannya dengan cara manusia berpikir dan bertindak mengenai hal-hal yang mereka anggap penting.
Bad is Stronger than Good
Manusia cenderung lebih lengkap mengolah berita buruk dibandingkan dengan berita baik. Menghindari citra buruk dibandingkan mengejar citra baik. Semangkuk ceri yang 'dirusak citranya' oleh keberadaan seekor kecoak berdampak negatif lebih besar jika dibandingkan dengan sebuah ceri dalam semangkok kecoak, yang tidak menimbulkan dampak positif apapun.Â
Efek tanggapan kuat terhadap hal yang buruk ini seringkali mendorong manusia untuk tidak mudah merasa puas akan sesuatu. Dan menurut Kahneman hal ini wajar, otak manusia memang dirancang seperti itu.Â
Ketika manusia kehujanan di tengah hutan dan menemukan gua untuk berteduh dia akan merasa senang. Namun, rasa senang itu tidak akan bertahan lama dan dia akan mencari cara untuk membuat api supaya lebih hangat, atau rasa dingin akan kembali menyerang.
Semua jenis kesenangan/ kebahagiaan/ keceriaan/ keberuntungan /kedamaian cenderung lebih tidak lama bertahan jika dibandingkan dengan rasa kekesalan/ kekecewaan/ ketidakbahagiaan/ kemurungan/ kesialan/ keapesan/ kegalauan/ kerisauan.Â
Kahneman juga mengidentifikasi bahwa dalam bahasa inggris lebih banyak perbendaharaan kata negatif jika dibandingkan dengan kata positif yang digunakan oleh manusia. Dan ini kemungkinan terjadi pada setiap bahasa.
Rumus Kesuksesan
Ketika penulis ditanya tentang rumus favorit, Kahneman menjawab bahwa 'sukses = bakat + keberuntungan' dan 'sukses besar = sedikit lebih banyak bakat + banyak sekali keberuntungan'.Â
Hal ini menarik menurut saya, ketika orang yang nyaris seumur hidup profesionalnya menggeluti sains, yang identik dengan humanisme dan logisme, mengakui bahwa kesuksesan lebih bergantung pada keberuntungan dibandingkan bakat.
Keberuntungan sendiri merupakan hal yang berada diluar kekuasaan atau wewenang manusia, seperti manusia tidak bisa memilih orangtua hingga negara (ekonomi, politik) tempat mereka dilahirkan, yang berdampak terhadap kesempatan mengembangkan bakat. In a way, penulis mengakui adanya greater power yang mempengaruhi manusia.
Hal yang saya suka dari buku ini adalah bagaimana penulis menjabarkan dengan hasil-hasil eksperimennya terkait bagaimana manusia berpikir dan bertindak. Bagaimana ilmu psikologi, yang objeknya adalah manusia, bisa menjadi dasar pertimbangan pada ilmu-ilmu lain yang berurusan dengan manusia, dimana ilmu itu sendiri memang digunakan manusia untuk kepentingannya. Jadi sangat relatable hasil-hasil penelitiannya untuk kita telaah sebagai bagian dari ilmu apapun yang kita minati atau sedang kita geluti.
Saya pribadi berpendapat bahwa mayoritas permasalahan yang kita hadapi sehari-hari adalah permasalahan antarmanusia. Untuk menyelesaikannya, tidak jarang kita memerlukan gambaran psikologi dari lawan bicara kita, mengapa mereka berbicara/bertindak demikian, dan apa yang kita sama-sama tuju serta bagaimana mencari solusinya. Tidak hanya memberikan gambaran tentang bagaimana orang lain berpikir dan bertindak, buku ini juga layak dibaca bagi orang yang ingin lebih memahami dirinya sendiri.Â
See you at my next review.
Happy reading and let's get inspired!
My Overall Rating for this book : 4/5 stars
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H