Mohon tunggu...
Poe Three
Poe Three Mohon Tunggu... Arsitek - citizen of the world

Keep Calm and Write It On..

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Resensi Buku "Homo Deus" oleh Yuval Noah Harari

29 Mei 2020   08:51 Diperbarui: 29 Mei 2020   08:59 5919
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : gramedia.com

Homo Deus -- Masa Depan Umat Manusia | Yuval Noah Harari | 2015 | PT Pustaka Alvabet | Terjemahan Indonesia, 2018 | Cetakan Kelima Juli 2019 |ISBN 978-602-6577-33-7 | Genre Sejarah | Halaman 457

Masa depan Homo sapiens

Setelah membaca Sapiens sulit bagi saya untuk tidak tergelitik membaca buku ini. Namun, jika belum membaca Sapiens pun buku ini tetap relevan ketika dibaca terpisah. Walaupun sedikit di bawah ekspektasi saya, Homo Deus tetap memberikan insight-insight menarik dari seorang dosen sejarah yang mencoba memberikan versinya tentang gambaran masa depan spesies manusia.

Buku ini terbagi menjadi tiga bagian yang tiap pembahasan bagiannya tidak terlalu signifikan berbeda, namun tetap akan saya jadikan urutan dalam resensi ini.

Bagian Satu -- Homo sapiens menaklukan dunia

Manusia mulai menyadari segala sesuatu sebagai sebuah algoritma. Algoritma sendiri merupakan rangkaian kode yang diperlukan untuk mencapai tujuan. Misalnya jika ingin membuat kue, maka algoritmanya memerlukan rangkaian langkah-langkah seperti mencampur bahan, mengaduk, mencetak dan memanggang. Dunia kemudian dianggap sebagai sebuah algoritma yang bisa dikuasai manusia dengan mengembangkan ilmu pengetahuan untuk menaklukannya.

Manusia dengan segala kemajuan ilmu pengetahuannya kemudian menjadi sombong dan mendominasi dunia. Bahkan, seperti yang digambarkan penulis, manusia saat ini merasa lebih adidaya dibanding Tuhan.

Ketika doa dan puja-puji dianggap belum tentu memberikan secara nyata/berwujud/materil apa yang diinginkan manusia, ilmu pengetahuan dan teknologi menjanjikan suatu kepastian hasil, terlepas dampaknya terhadap dunia (dan kaum manusia itu sendiri).

Penulis juga menjabarkan pengembangan senjata biologis dan senjata data yang dikembangkan untuk mengontrol dunia. Konspirasi atau bukan, Harari menjabarkan logika 'persenjataan' ini secara masuk akal.

Bagian Dua -- Homo sapiens memberi makna bagi dunia

Humanisme atau manusia menyembah manusia lain, menjadi pokok pembahasan dalam bagian ini. Dunia sebenarnya tidak memiliki makna, manusia lah yang memberikan makna sehingga kita ada di dunia yang kita kenal saat ini.

Satu analogi ketika Harari menyamakan Firaun dengan Elvis Presley. Bagaimana manusia dulu memuja Firaun bagai Tuhan, melakukan apa yang disuruh olehnya, bahkan memujanya ketika dia sudah wafat. Pemujaan berlebihan manusia terhadap manusia lain memberikan makna tertentu bagi si pemuja, bahkan aktivitas hidup dan pilihan-pilihan manusia itu ditentukan oleh 'Tuhan"nya.

Ternyata ribuan tahun setelah Firaun, manusia masih melakukan hal yang kurang lebih sama dengan pemujaan terhadap (misalnya) bintang pop, idola atau tokoh politik kesayangan. Teknologi dan media sosial saat ini bahkan memungkinkan manusia untuk mengikuti gerak-gerik idolanya tiap saat, dan kecenderungan pemujaan dan pemaknaan terhadap idola mereka pun meningkat seiring aktivitas 'pemujaan' tersebut.

Pada bagian kedua dari buku ini, saya beberapa kali merasa tidak nyaman ketika Harari membahas tentang agama. Bagaimana agama itu hanyalah sebuah fiksi yang dipercayai orang banyak, sehingga menjadi penuntun hidup, walaupun manfaat agama (menurutnya) tidak dapat dirasakan secara riil. Berbeda dengan pertumbuhan ekonomi, kapitalisme, dan materialisme yang dianggap bisa menyelesaikan masalah secara nyata (menurut Harari).

Bagaimana antibiotik dapat lebih nyata menyembuhkan manusia jika dibandingkan dengan doa. Analoginya, terus terang, mengganggu untuk saya. Kebijaksanaan diperlukan ketika membaca pernyataan-pernyataan kontroversial dalam buku ini.

Bagian Ketiga -- Homo sapiens kehilangan kendali

Sebenarnya sudah bisa diduga ketika manusia memilih mengedepankan teknologi dan mengesampingkan norma dan etika, maka kekacauan lah yang akan terjadi. Bagian ini memberikan gambaran Harari tentang bagaimana kiranya kekacauan dan hilangnya kendali itu bisa terjadi.

Kedokteran abad ke-20 bertujuan untuk menyembuhkan orang sakit, sedangkan kedokteran abad ke-21 bertujuan untuk memperbarui orang sehat. Anda sebagai orang tua bisa saja memiliki prinsip dan menolak memberikan (misalnya) 'suplemen' untuk membuat anak anda menjadi lebih pintar bahkan jenius, namun apa yang terjadi ketika anak-anak lain menjadi jenius karena diberikan suplemen itu dan anak anda 'tertinggal'? Masihkah anda akan berprinsip yang sama?

Buku ini menjabarkan bahwa gambaran hipotesis situasi tersebut mungkin tidak lama lagi bisa terjadi di dunia kita sekarang. Intinya, manusia berlomba-lomba menjadi yang terbaik, terhebat, teratas, terdepan, bagaimanapun caranya.

Selain 'pembaruan' terhadap manusia, teknologi juga memberikan kemungkinan tak terbatas pada pengembangan Artificial Inteligence (AI). AI digambarkan sebagai pedang bermata dua. Manusia diharapkan untuk tetap bijaksana dalam menghadapi segala sesuatu. Namun, dari hari ke hari hal ini akan terasa makin sulit untuk dilakukan.

Di saat manusia makin terlena karena kemudahan teknologi, robot sedang belajar. Apa yang dipelajari? Tidak lain adalah data yang kita (dengan senang hati) berikan kepada komputer, tablet, smartphone yang secara global terhubung melalui keajaiban internet. Algoritma individu unik yang membuat kita sebagai kita menjadi bebas untuk diakses siapapun, sadar tidak sadar, suka maupun tidak.

Akhir buku ini menjabarkan 'ramalan' Harari bahwa manusia sedang menuju kehancurannya sendiri. Manusia lah yang akan menjadi sumber kehancuran manusia (dan makhluk hidup) lainnya. Tentunya, seperti sifat ramalan, kebenaran ramalan ini ditentukan oleh sikap manusia saat ini.

Saran saya ketika membaca buku ini masih sama dengan saran saya ketika meresensi Sapiens : do not take everything too seriously. Bagaimanapun sebuah cerita juga tergantung dari siapa yang menceritakannya. Homo Deus hanyalah sebuah cerita yang sama seperti cerita lain, memerlukan kebijaksanaan ketika membacanya.

See you at my next review.

Happy reading and let's get inspired!

My Overall Rating for this book : 4/5 stars

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun