Deg. Okay..
For the record, saya selesai membaca buku ini di awal bulan April 2020 saat kota yang saya tinggali menjadi episentrum Indonesia terhadap Covid-19. Saat tulisan ini dimuat pun, belum ada 'obat'nya kecuali antibodi (yang ternyata salah satu cara kerjanya juga dipengaruhi gen), dan tingkat mortalitas Indonesia, dari info yang terus-terusan hadir di media, akibat virus ini mencapai 8-12%. Ouch.
Semua orang khawatir. Di saat zona merah makin banyak, orang makin was-was apakah mereka positif dan perlu dites. Amat sangat wajar.
Kutipan di Bab 19 itu menambah perspektif bagi saya menghadapi ujian ini. Hal yang paling bijaksana adalah mengoptimalkan apa yang telah dianjurkan. Praktekkan. Selama kita baik-baik saja, syukurilah dengan cara memberikan prioritas tes bagi mereka yang kondisinya lebih tidak menguntungkan dibanding kita, karena alat tes juga amat terbatas (dan mahal).
Saya paham mungkin banyak yang tidak setuju dengan hal ini. Jika kita lebih banyak melakukan tes penanganan juga bisa optimal. Yes, I agree. Namun, di lain sisi, bayangkan juga kepanikan yang laten timbul, dan daya tampung faskes serta daya dukung tenaga kesehatan kita. I mean let's face it, kita masih jauh dari optimal. Untuk yang sakit saja kita mulai kewalahan.
Dan penangkal dari virus ini pun adanya di dalam diri kita sendiri. Obat medis yang digunakan pun hanya untuk meningkatkan antibodi, yang efeknya juga bisa berbeda-beda pada tiap orang, karena kembali lagi, seperti pesan dari buku ini, gen mempengaruhi.
Jadi mengapa kita tidak bersikap 'seperti kita sakit' dengan cara hidup yang sehat, menjaga dan meningkatkan antibodi secara mandiri. Optimalkan physical distancing. Tidak perlu tahu bahwa kita sakit untuk memilih hidup sehat, kan?
Kehendak Bebas
Akhir dari buku ini menyinggung tentang Kehendak Bebas, yang dikaitkan terlepas dari apapun 'cetakan' atau 'warisan' yang manusia peroleh, suka atau tidak suka, kita tetap memiliki kendali atas diri kita. Jadi hubungannya menurut saya genetika pun, sampai tingkat tertentu, dapat dipengaruhi lingkungan dan keputusan gaya hidup yang kita pilih.
Misalnya orang yang punya 'kecenderungan bawaan' untuk mengidap diabetes bisa jadi tidak akan pernah mengidap penyakit itu seumur hidupnya jika dia hidup dengan sehat. Walaupun diabetes itu sendiri bukan hanya warisan kode genetika, tapi juga warisan cara hidup yang kita peroleh. Disini Kehendak Bebas berperan, intinya kalau sudah tahu punya 'warisan' diabetes, kita tetap bisa memilih gaya hidup yang kita mau. Dibandingkan terlalu dipengaruhi faktor determinan, kehendak bebas ini memberikan kita opsi untuk memilih.
Secara keseluruhan buku ini seru untuk dibaca, a little too scientific for me.. tapi tetap menarik.