Mohon tunggu...
Poe Three
Poe Three Mohon Tunggu... Arsitek - citizen of the world

Keep Calm and Write It On..

Selanjutnya

Tutup

Hobby

Resensi Buku Genom oleh Matt Ridley

24 April 2020   15:08 Diperbarui: 24 April 2020   15:29 1035
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto : bukukita.com

Matt Ridley | Genom -- Kisah Spesies Manusia dalam 23 Bab | 2019 | Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama | ISBN : 978-602-03-3976-4 | Cetakan Kelima | Halaman :  441

Tentang Genom

Saya kebetulan bukan orang yang menekuni bidang biologi, kedokteran atau ilmu-ilmu lain yang berhubungan dengan genetika. Jadi, harus saya akui membaca buku setebal 420 halaman (441 jika dihitung daftar pustaka ilmiahnya) ini cukup 'berat' untuk saya, karena hampir tiap halaman diisi dengan istilah-istilah genetika yang terus terang cukup asing bagi saya.

Namun, diluar 'kendala' ini, secara keseluruhan buku ini cukup saya nikmati. Di setiap bab nya penulis menyisipkan fakta-fakta yang yang akan membuat kita berkata : ooh.. (I call it the 'ooh.. factor'). Dan, kalau anda termasuk pembaca yang suka mencari tahu 'kenapa begini kenapa begitu' dari suatu suatu hal, maka buku ini cocok untuk anda.

Genom sendiri seperti kita tahu, dan akan sering diingatkan penulis di buku ini, merupakan apa yang Matt Ridley bilang sebagai buku manual/cara pengoperasian suatu spesies, termasuk manusia.

'Buku' ini tercetak di dua puluh tiga kromosom yang dimiliki manusia, berisikan kode-kode unik genetika yang membedakan, juga menjadikan kita sebagai..kita. Dan tidak akan ada individu manusia lain yang persis seperti kita.

Hal ini terjadi akibat perpaduan acak gen-gen yang kita warisi dari leluhur dan selanjutnya kita wariskan juga ke keturunan kita. Tujuan para ilmuwan genetika yang ada di buku ini untuk senantiasa mencari tahu dan memetakan perpaduan acak itu.

Lebih jauh genetika tidak hanya memetakan, tapi juga dipakai untuk mengembangkan cara 'penyembuhan' dari kemalangan-kemalangan genetika bawaan kita. Ini yang jadi pemicu pesatnya perkembangan ilmu rekayasa genetika dari hari ke hari.

My 'Ooh.. Factor'

Ada kutipan di Bab Kromosom 19 yang paling saya ingat, yaitu "Melakukan uji terhadap seseorang untuk suatu penyakit yang tak dapat diobati bukan tindakan yang bijaksana...uji tersebut bisa berdampak lebih dahsyat lagi".

Deg. Okay..

For the record, saya selesai membaca buku ini di awal bulan April 2020 saat kota yang saya tinggali menjadi episentrum Indonesia terhadap Covid-19. Saat tulisan ini dimuat pun, belum ada 'obat'nya kecuali antibodi (yang ternyata salah satu cara kerjanya juga dipengaruhi gen), dan tingkat mortalitas Indonesia, dari info yang terus-terusan hadir di media, akibat virus ini mencapai 8-12%. Ouch.

Semua orang khawatir. Di saat zona merah makin banyak, orang makin was-was apakah mereka positif dan perlu dites. Amat sangat wajar.

Kutipan di Bab 19 itu menambah perspektif bagi saya menghadapi ujian ini. Hal yang paling bijaksana adalah mengoptimalkan apa yang telah dianjurkan. Praktekkan. Selama kita baik-baik saja, syukurilah dengan cara memberikan prioritas tes bagi mereka yang kondisinya lebih tidak menguntungkan dibanding kita, karena alat tes juga amat terbatas (dan mahal).

Saya paham mungkin banyak yang tidak setuju dengan hal ini. Jika kita lebih banyak melakukan tes penanganan juga bisa optimal. Yes, I agree. Namun, di lain sisi, bayangkan juga kepanikan yang laten timbul, dan daya tampung faskes serta daya dukung tenaga kesehatan kita. I mean let's face it, kita masih jauh dari optimal. Untuk yang sakit saja kita mulai kewalahan.

Dan penangkal dari virus ini pun adanya di dalam diri kita sendiri. Obat medis yang digunakan pun hanya untuk meningkatkan antibodi, yang efeknya juga bisa berbeda-beda pada tiap orang, karena kembali lagi, seperti pesan dari buku ini, gen mempengaruhi.

Jadi mengapa kita tidak bersikap 'seperti kita sakit' dengan cara hidup yang sehat, menjaga dan meningkatkan antibodi secara mandiri. Optimalkan physical distancing. Tidak perlu tahu bahwa kita sakit untuk memilih hidup sehat, kan?

Kehendak Bebas

Akhir dari buku ini menyinggung tentang Kehendak Bebas, yang dikaitkan terlepas dari apapun 'cetakan' atau 'warisan' yang manusia peroleh, suka atau tidak suka, kita tetap memiliki kendali atas diri kita. Jadi hubungannya menurut saya genetika pun, sampai tingkat tertentu, dapat dipengaruhi lingkungan dan keputusan gaya hidup yang kita pilih.

Misalnya orang yang punya 'kecenderungan bawaan' untuk mengidap diabetes bisa jadi tidak akan pernah mengidap penyakit itu seumur hidupnya jika dia hidup dengan sehat. Walaupun diabetes itu sendiri bukan hanya warisan kode genetika, tapi juga warisan cara hidup yang kita peroleh. Disini Kehendak Bebas berperan, intinya kalau sudah tahu punya 'warisan' diabetes, kita tetap bisa memilih gaya hidup yang kita mau. Dibandingkan terlalu dipengaruhi faktor determinan, kehendak bebas ini memberikan kita opsi untuk memilih.

Secara keseluruhan buku ini seru untuk dibaca, a little too scientific for me.. tapi tetap menarik.

See you at my next review.

Happy reading and lets get inspired!

My Overall Rating : 3/5 stars

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun