Mohon tunggu...
Poe Three
Poe Three Mohon Tunggu... Arsitek - citizen of the world

Keep Calm and Write It On..

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Resensi Buku "Goodbye, Things" oleh Fumio Sasaki

10 April 2020   14:15 Diperbarui: 10 April 2020   14:16 1342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Gramedia.com

Fumio Sasaki | goodbye, things -- hidup minimalis ala orang jepang | 2015 |

ISBN : 978-602-03-9840-2 | Cetakan kelima : April 2019 | halaman : 242

Kategori : Self Improvement, non-fiksi

Buku yang sudah cukup lama dibeli ini (sekitar 8 bulan yang lalu di bulan Juni 2019), akhirnya dibuka dan dibaca juga. Kenapa sempet nongkrong begitu lama di  lemari buku sampai akhirnya dibaca?

Mungkin karena dari judulnya saja bikin saya takut.. takut karena minimalis yang identik dengan kerapihan itu berkebalikan banget dengan saya. Takut 'tertampar' dengan hal-hal yang akan dibahas di dalamnya.

Lihat saja gambar covernya, sekilas saya kira itu settingan. Tapi ternyata di beberapa halaman pertama dijelaskan that it is actually the writer's house. Pancingan yang keren, but believe me it gets even better.

Awal buku bercerita tentang masalah yang menimpa si penulis. Persepsi diri akan hidupnya yang terasa gitu-gitu aja, cemas, selalu membandingkan apa yang dia punya dengan orang lain, iri, lelah dan intinya unhappy di umurnya yang 30 something and still single.

Hal ini kemudian diikuti dengan perilaku yang merugikan dirinya sendiri seperti ga produktif di kantor, relationship issues, terlalu banyak alcohol, terlalu banyak membeli barang-barang ga berguna untuk membuktikan eksistensinya di mata orang lain. Untungnya dia sadar bahwa hal itu menjerumuskan, dan akhirnya memutuskan untuk berubah dan berbenah diri for the sake of himself.

Bapak Fumio Sasaki ini kemudian mulai mendalami konsep minimalis yang ternyata bukan hanya konsep, tetapi juga menjadi praktik nyata untuk kehidupan. Apa sih minimalis yang dimaksud? Intinya minimalis itu hidup dengan teliti dan disiplin terhadap wants and needs kita.. bijaksana membedakan keduanya serta focus terhadap apa yang bener-bener penting dalam hidup. Misalnya relationship dengan manusia, dengan Tuhan, dengan Alam, apapun itu yang membuat manusia menjadi manusia dan barang hanya penunjang kebutuhan hidup kita, tidak lebih.

Buku ini berisikan 55 kiat supaya kita bisa mencoba gaya hidup ini. Setelahnya ada 12 kiat tambahan menuju minimalisme.

Salah satu yang paling saya suka adalah kiat tentang membuang barang yang menjadi koleksi kita. Bapak ini bilang kalau rumah kita bukan museum jadi ga perlulah untuk mengkoleksi barang karena barang yang benar-benar penting pasti akan dikoleksi secara serius. Hmm..

Favorite Quotes/Sentences/Insights

Tentang bagaimana sedikit ketidaknyamanan malah bisa membuat kita lebih bahagia, artinya lower expectations atau membiasakan diri hidup susah. Hal ini mirip dengan filosofi Stoisisme yang diceritakan kembali oleh Henry Manampiring (Filosofi Teras) -- jadi ketika kita dapat hal-hal yang mewah dan membahagiakan, kita jadi bisa lebih apresiasi dan lebih hepi. Kalau terbiasa nyaman terus kita cenderung jadi kurang menghargai, sehingga rasa hepi juga jadi berkurang. So far it makes perfect sense.

Tentang Teori Selai, dimana jika terlalu banyak pilihan manusia cenderung jadi bingung dalam memilih yang akhirnya penjualan malah menurun jika dibandingkan dengan produk yang pilihan variannya ga terlalu beragam.

Tentang warna-warna yang menjadi 'kebisingan' visual. Disini dicontohkan bagaimana warna-warna terang dan mencolok itu biasanya menandakan peringatan tertentu. Contohnya tutup botol cairan pembersih yang berwarna pink itu mengindikasikan zat berbahaya yang berada di dalamnya. Menurut dia, seperti botol itu, 'makhluk' beracun memang biasanya menonjol.

Sebaliknya, mata kita tidak akan cepat lelah melihat barang yang nyaman dipandang dengan warna-warna netral, yang mengakibatkan kita juga bisa menggunakannya pada jangka waktu yang lebih lama. Menurut saya ini seru and very Japanese. Di sisi lain, I still think it's about balance, kalau semua warna netral-netral aja tentu kita bakal jadi bosan.

Tentang kebahagiaan yang berbanding lurus dengan waktu yang berkualitas, dan berbanding terbalik dengan jumlah barang yang kita punya. Makin banyak barang makin banyak pikiran, waktu dan uang pokoknya semua sumberdaya penting yang kita buang untuk memelihara barang-barang itu.

Tentang bagaimana minimalis itu juga mengharuskan kita tidak terisolasi, sebaliknya the world is our house. Sewa dibanding beli. Pinjam dibanding punya. Gadai dibanding disimpan. Toko bukan sebagai tempat dimana kita membeli barang, tetapi sebagai gudang yang kita hampiri ketika kita perlu sesuatu.

Tentang teori psikologi positif, yang menyatakan rasa bahagia sesorang itu terdiri dari 50% genetik, 10% lingkungan/faktor luar (termasuk standar hidup sesorang), dan 40% dari sikap dan cara berpikirnya sendiri. Jadi hal-hal yang 'terlihat' sebagai kadar bahagia pada umumnya seperti pekerjaan, pernikahan, keluarga, kekayaan itu hanya berpengaruh sebesar 10% terhadap bahagia/tidaknya seseorang, sedangkan kita lahirpun sudah punya 50% sifat bawaan bahagia. Nah, yang kita perlu lakukan dan bisa kita kendalikan ya hanya di 40% yaitu sikap dan cara berpikir kita sendiri. Bahagia bukan sebagai 'hadiah' karena telah mencapai sesuatu, tapi kita harus senantiasa bersyukur supaya bisa bahagia. Nice..

How it made me feel

Tercerahkan, enlighted, termotivasi.

Di Jepang tempat si penulis tinggal semuanya lebih stabil, bahkan peringatan gempa aja dipastikan semua yang ada di Jepang terinformasi dan teredukasi. Saya juga belum pernah tuh baca Jepang kekurangan stok sesuatu, kecuali mungkin stok laju pertumbuhan penduduknya. 

Kalau disini apa iya bisa ya kita tidak nyetok apapun seperti saran di buku? Saat resensi ini ditulis wabah korona (COVID- 19) lagi merebak di Indonesia terutama Jakarta tempat saya tinggal. Harga-harga naik, orang-orang mulai risau dan beli ini-itu. Barang yang paling signifikan jadi langka dan mahal adalah masker dan antiseptic yang harganya melonjak dari 25-35ribu per box jadi 300-400ribu per box untuk masker. Di tengah kekhawatiran ini banyak oportunis yang ga segan-segan ambil untung banyak, and mostly they get away with it. Yang pasti, rakyat kecil yang paling terdampak. Jadi saya pikir di tempat yang segalanya lebih tak menentu ini kita tetap harus lebih prepare.

Nah nilai minimalis bisa berperan untuk menjernihkan persepsi kita ketika bencana datang. Setidaknya secara mental kita sudah terbiasa hidup sederhana, dan biasa irit yah. Jadi, kita punya cadangan sumberdaya (uang terutama) untuk selalu siap dan mampu, dengan secukupnya, beli barang yang tepat di saat kita perlu.

Setelah baca buku ini, saya makin termotivasi untuk bikin catatan intisari yang saya tangkap. Setelahnya, I seriously thinking about giving away all my books, right after I wrote summary of them and put them on cloud. Ini salah satu praktek minimalisme yang coba saya lakukan, karena ada harapan pribadi bisa sharing ilmu, bahkan sekecil apapun dan untuk satu orang sekalipun.

Happy reading and lets get inspired!

My Overall Rating : 4.5/5 stars

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun