Tapi semangatnya tidak padam, ketika 'para dewa' sepakbola kami memutuskan untuk 'go global' alias menjajal kompetisi sepakbola disekolah lain, Yogi pun diangkat menjadi Coach mereka - seringkali mereka berhasil. Yogi pun mendapatkan bonus pula untuk bagiannya, tatkala itu ia tidak meminta roti untuk 2 minggu. Aku bertanya, dia jawab. "Alhamdulillah, kan, kenyang gue.". Sayangnya ia tidak dijadikan guru Olahraga, ia tetap menjadi OB. Kasihan, sang unspoken hero; pahlawan yang tidak tertuturkan ceritanya. Kasihan sangat.
Hari demi hari berlalu di PEIS, lapangan lama itu kami tetap gunakan - bulan demi bulan, dibawah tangan Yogi dan para senior, kami berhasil membangun sebuah tim futsal yang kokoh, yang namanya disanjung di antara kami, dan cukup menjadi momok untuk beberapa lawan di beberapa kompetisi futsal di area Jakarta Pusat, Timur, dan Utara. Tapi di area Jakarta Selatan kami masih kalah.
Aku sendiri, memang kurang jago bermain bola. Yah, sejago-jagonya aku, aku hanya pernah membuat gol 8x (tidak termasuk Penalti) selama 8 tahun pembelajaran dari SD sampai SMP ini. Sebagus-bagusnya aku aku selalu ditempatkan sebagai Bek Sayap, Wing Back. Atau sebagai gelandang bertahan, Defensive Midfielder. Orang-orang memang cukup takut ketika akan melewati aku - tackle ku keras, dan aku susah untuk dilewati, bahkan jika orang yang melawanku adalah master dribble.
Lapangan itu tetap tidak berubah, fungsinya juga tidak berubah - dari sinilah betapa aku belajar bahwa sepakbola adalah sebuah bahasa universal yang dapat mempersatukan semua bangsa.
Benar-benar sebuah kenangan sepakbola yang tidak bisa dilupakan dan patut untuk dituturkan. Patut untuk dikenang.
M Arkan, 31032010
Bisa dilihat pula di; podjoknusantara.blogspot.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H