Mohon tunggu...
Fariz Pratama
Fariz Pratama Mohon Tunggu... Administrasi - Real Akun

You Can Call Me Pockes

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hilangnya Budaya "Nyabukki Wit-witan" Penjaga Mata Air

10 Agustus 2020   18:47 Diperbarui: 10 Agustus 2020   19:05 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Leluhur kita sebenarnya telah menurunkan beraneka ragam bentuk kearifan lokal yang digunakan untuk pedoman sikap dan perilaku yang baik dalam berinteraksi dengan alam dan lingkungan. 

Kearifan lokal tersebut telah berhasil mencegah kerusakan fungsi lingkungan, baik tanah yang mencakup lahan, hutan  maupun keberlangsungan air. 

Tradisi yang ada di nusantara adalah nyabuk gunung, susuk wangan dan  merti desa di Jawa Tengah. Akan tetapi, kearifan lokal yang ada saat ini sudah mulai pudar dan dianggap tidak penting, bahkan beberapa kalangan menganggapnya musyrik karena bertentangan dengan agama. 

Akibat hal itu sumberdaya alam yang ada tidak lagi terpelihara dengan baik, lahan dan hutan rusak, serta tidak sedikit mata air yang mati. Padahal air merupakan kebutuhan paling penting bagi makluk hidup. 

Kekurangan maupun tercemarnya air akan membuat manusia, hewan dan tumbuhan akan terganggu pertumbuhan, kesehatan dan produktivitasnya, bahkan pada beberapa kasus menimbulkan kematian.

Salah satu kondisi dimana kearifan lokal sangat dibutuhkan berada pada daerah penyangga yang memiliki sumber mata air. Sumber mata air itu sendiri dapat muncul karena patahan lereng pada tanah maupun melalui celah dari akar tanaman penahan air. Contoh nyata daerah yang memiliki banyak mata air adalah lereng gunung Ungaran lebih khususnya kecamatan Bandungan. 

Alasan kenapa kearifan lokal sangat dibutuhkan di daerah tersebut berkaitan dengan efek yang ditimbulkan pada daerah itu sendiri maupun daerah dibawahnya. Maksud daerah dibawahnya adalah daerah yang lebih rendah dibandingkan wilayah kecamatan Bandungan. 

Wilayah tersebut mencakup kecamatan Bandungan dan kecamatan Ambarawa memiliki potensi dalam bidang pertanian karena dilintasi oleh aliran sungai yang berhulu pada mata air dari kecamatan Bandungan. Pertanian di diwilayah lereng gunung Ungaran terutama kedua wilayah tersebut sangat bergantung pada mata air yang berada di daerah lebih tinggi.

Kearifan lokal yang dibutuhkan adalah memberdayakan kelangsungan pohon, contohnya "Nyabuki Wit-witan" prinsip kebudayaan ini meliputi penutupan atau menyelimuti batang pohon dengan kain. 

Peninggalan ini mirip dengan  kain poleng dibali, perbedaanya hanya warna kain dan filosofi yang ada didalamnya. Secara tidak langsung prinsip ini melindungi pepohonan dari kerusakan karena pohon akan dianggap memiliki suatu nilai tertentu. 

Pohon yang diselimuti juga dapat terhindar dari tangan manusia yang seenaknya memasang plakat yang beraneka ragam dengan merusak pohon, walaupun berefek kecil. 

Pemikiran kearifan ini mulai hilang, jarang bahkan tidak mungkin dijumpai, padahal dahulu disetiap mata air maupun pohon pinggir jalan yang berukuran besar pasti akan disabukki dengan kain. 

Cara tersebut terasa saat ini, dengan dtinggalkannya kearifan lokal "Nyabukki wit-witan" sehingga banyak yang seenaknya terhadap lingkungan demi kepentingan pribadi dan daerah-daerah pemerintahan kurang begitu sadar, padahal hal tersebut berorientasi pada lingkungan.

Dampak kerusakan, pencemaran maupun penurunan debit dari mata air dapat mengganggu tiga pilar dari pertanian berkelanjutan yang memiliki asas manusia (sosial), ekonomi (profit) dan berorientasi pada lingkungan. 

Hal yang akan terjadi apabila mata air terganggu tentunya terhadap manusia, kebutuhan keseharian terganggu dan memerlukan biaya berlebih untuk pemenuhan air, jika air bersih tersedia terus menerus dan yang perlu dipikirkan hanya perawatan saluran air seriap wilayah sehingga membuat biaya ditekan akan membuat kesejahteraan sosial masyarakat lebih terjamin. 

Apabila masyarakat biasa memenuhi kebutuhan primer sehari-hari mengeluarkan biaya untuk ketersediaan air saja cukup memusingkan. Bagaimana jika petani yang mengalami pencemaran maupun kesulitan ketersediaan air maka akan lebih banyak pengeluaran untuk melakukan pengairan pada lahan pertaniannya. peristiwa tersebut juga dapat menurunkan keuntungan para petani yang seharusnya meningkat.

Solusi mendasar yang dapat dilakukan dengan menanamkan pandangan positif mengenai manfaat secara jelas dan berkelanjutan kepada masyarakat terhadap mata air. 

Pengarahan dilakukan secara nyata agar memunculkan masyarakat pada sikap dan perilaku yang arif terhadap lingkungan. Perlu  pembinaan secara rutin dengan pertemuan-pertemuan, diskusi, pendidikan dan praktik secara langsung dalam melestarikan mata air dengan hal kecil seperti nyabukki wit-witan. Penerapan kearifan lokal tersebut harus berjalan terpadu antara pihak-pihak terkait yang sangat diperlukan. 

Pemerintah setempat maupun instansi terkait dapat memfasilitasi baik tempat maupun pendanaan, ahli dibidangnya dengan keilmuannya, serta tokoh masyarakat maupun agama yang akan didengar kebijakannya. Memudarnya kesadaran masyarakat terhadap makna dari nyabukki wit-witan yang dianggap kurang berpengaruh dan dianggap enteng, akan berpotensi memudarkan kearifan lokal tersebut.

Keberhasilan nyabukki wit-witan dalam melestarikan mata air ada walau tidak secara langsung, penjagaan yang berkaitan masih dalam artian fisik pohon sebagai tempat pelindung mata air, belum pada upaya mempertahankan debit airnya. 

Untuk mempertahankan debit air, diperlukan pengelolaan hutan di daerah atasnya sebagai daerah resapan air. Penanaman kembali pohon harus ada, mencakup pemeliharaan dan pengaturan penebangan secara selektif, terutama di daerah sekitar mata air serta tidak terlewatkan penerapan kearifan lokal dengan pohon yang dilakukan penyabukkan . 

Untuk menguatkan kearifan lokal nyabukki wit-witan pada masa mendatang, selain dengan adanya pembinaan kepada masyarakat setempat secara berkesinambungan. Kehidupan bermasyarakat perlu adanya  Peraturan Desa (Perdes) yang akan mengatur hal-hal penting seperti status, kedudukan, hak dan kewajiban, peran serta dan tanggung jawab masyarakat adat atau setempat, perlindungan kearifan lokal dan kawasan resapan air, pengawasan berkaitan dengan perilaku terutama yang berdampak terhadap mata air dan sanksi-sanksi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun