Pemikiran kearifan ini mulai hilang, jarang bahkan tidak mungkin dijumpai, padahal dahulu disetiap mata air maupun pohon pinggir jalan yang berukuran besar pasti akan disabukki dengan kain.Â
Cara tersebut terasa saat ini, dengan dtinggalkannya kearifan lokal "Nyabukki wit-witan" sehingga banyak yang seenaknya terhadap lingkungan demi kepentingan pribadi dan daerah-daerah pemerintahan kurang begitu sadar, padahal hal tersebut berorientasi pada lingkungan.
Dampak kerusakan, pencemaran maupun penurunan debit dari mata air dapat mengganggu tiga pilar dari pertanian berkelanjutan yang memiliki asas manusia (sosial), ekonomi (profit) dan berorientasi pada lingkungan.Â
Hal yang akan terjadi apabila mata air terganggu tentunya terhadap manusia, kebutuhan keseharian terganggu dan memerlukan biaya berlebih untuk pemenuhan air, jika air bersih tersedia terus menerus dan yang perlu dipikirkan hanya perawatan saluran air seriap wilayah sehingga membuat biaya ditekan akan membuat kesejahteraan sosial masyarakat lebih terjamin.Â
Apabila masyarakat biasa memenuhi kebutuhan primer sehari-hari mengeluarkan biaya untuk ketersediaan air saja cukup memusingkan. Bagaimana jika petani yang mengalami pencemaran maupun kesulitan ketersediaan air maka akan lebih banyak pengeluaran untuk melakukan pengairan pada lahan pertaniannya. peristiwa tersebut juga dapat menurunkan keuntungan para petani yang seharusnya meningkat.
Solusi mendasar yang dapat dilakukan dengan menanamkan pandangan positif mengenai manfaat secara jelas dan berkelanjutan kepada masyarakat terhadap mata air.Â
Pengarahan dilakukan secara nyata agar memunculkan masyarakat pada sikap dan perilaku yang arif terhadap lingkungan. Perlu  pembinaan secara rutin dengan pertemuan-pertemuan, diskusi, pendidikan dan praktik secara langsung dalam melestarikan mata air dengan hal kecil seperti nyabukki wit-witan. Penerapan kearifan lokal tersebut harus berjalan terpadu antara pihak-pihak terkait yang sangat diperlukan.Â
Pemerintah setempat maupun instansi terkait dapat memfasilitasi baik tempat maupun pendanaan, ahli dibidangnya dengan keilmuannya, serta tokoh masyarakat maupun agama yang akan didengar kebijakannya. Memudarnya kesadaran masyarakat terhadap makna dari nyabukki wit-witan yang dianggap kurang berpengaruh dan dianggap enteng, akan berpotensi memudarkan kearifan lokal tersebut.
Keberhasilan nyabukki wit-witan dalam melestarikan mata air ada walau tidak secara langsung, penjagaan yang berkaitan masih dalam artian fisik pohon sebagai tempat pelindung mata air, belum pada upaya mempertahankan debit airnya.Â
Untuk mempertahankan debit air, diperlukan pengelolaan hutan di daerah atasnya sebagai daerah resapan air. Penanaman kembali pohon harus ada, mencakup pemeliharaan dan pengaturan penebangan secara selektif, terutama di daerah sekitar mata air serta tidak terlewatkan penerapan kearifan lokal dengan pohon yang dilakukan penyabukkan .Â
Untuk menguatkan kearifan lokal nyabukki wit-witan pada masa mendatang, selain dengan adanya pembinaan kepada masyarakat setempat secara berkesinambungan. Kehidupan bermasyarakat perlu adanya  Peraturan Desa (Perdes) yang akan mengatur hal-hal penting seperti status, kedudukan, hak dan kewajiban, peran serta dan tanggung jawab masyarakat adat atau setempat, perlindungan kearifan lokal dan kawasan resapan air, pengawasan berkaitan dengan perilaku terutama yang berdampak terhadap mata air dan sanksi-sanksi.