Mohon tunggu...
alwindo Colling
alwindo Colling Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Sindiran yang elegan adalah sindiran yang dituangkan dalam bentuk tulisan ~ Aku Menulis Maka Aku Ada***

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Pidana Mati sebagai Sanksi atau Dimiskinkan dan Dicabut Hak Politik sebagai Sanksi Pidana?

23 Januari 2021   11:35 Diperbarui: 23 Januari 2021   11:39 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pada pengujung tahun 2020 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), menetapkan dua tersangka baru tindak pidana korupsi yang menyeret dua menteri dalam "Kabinet Indonesia Maju". Menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri Sosial. Tentu kita patut apresiasi kerja-kerja/kinerja dari lembaga yang mendiami gedung merah putih yang sudah bekerja keras dan berani menegakkan hukum tanpa pandang bulu sebagaimana asas equality befor the law.

Namun dari kedua kasus tersebut, yang paling menyita perhatian saya adalah skandal kasus korupsi yang menyeret menteri sosial (mantan), saya tertarik dengan  frasa yang ada dalam pasal 2 (2) UU 31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, yang berbunyi pelaku korupsi dalam keadaan tertentu dapat di pidana mati.

Pertanyaan publik kenapa menteri sosial tidak di terapkan pasal 2 (2) UU TIPIKOR ? nah di sini banyak menimbulkan perdebatan di kalangan masyarakat hukum, mulai dari akademisi hukum, praktisi hukum, serta ahli hukum.

Nah mengenai frasa keadaan tertentu, menimbulkan tafsir yang berbeda-beda di kalangan ahli hukum, ada yang bersikuku dengan pendapatnya bahwa  bisa di terapkan pidana mati karena telah merugikan keuangan negara dalam keadaan tertentu (pandemi), namun ada juga yang mengatakan bahwa unsurnya tidak terpenuhi karena pandemi bukanlah bencana alam, tetapi covid19 adalah bencana non alam dll.

Tentu masyarakat pada umumnya kecewa terhadap langka yang diambil oleh penyidik "Komisi Pemberantasan Korupsi" (KPK) yang tidak menerapkan pidana mati sebagai sanksi (Premium Remedium). Tentu KPK punya alasan kenapa tidak diterapkan pidana mati dalam kasus mensos jika di teropong dengan kacamata hukum, langkah tersebut dapat di terima.

saya sendiri dalam opini publik saat memperingati hari HAM Internasional tanggal 10 Desember 2020, berjudul "Tipikor dan Pidana Mati", saya menulis tidak setuju dengan penerapan hukuman mati/atau diterapkannya pasal 2 (2) UU 31 Tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi bagi pelaku korupsi. kenapa saya tidak setuju?

menurut saya pidana mati bukanlah langkah yang tepat dan menyimpang dari pada janji konstitusi  yang menjamin hak hidup setiap warga negara tanpa terkecuali (hak fundamental/hak yang paling mendasar), melanggar HAM, bertentangan dengan ajaran Agama secara filosofis bahwa hakim bisa saja salah menerapkan hukum, jika sudah di terapkan pidana mati sebagai sanksi maka dengan cara apa pun tidak dapat mengembalikan nyawa manusia yang sudah meninggal, penegakan hukum itu urusan manusia, urusan hidup dan mati adalah otoritas Tuhan.

Walaupun pasal 2 (2) ini seingat saya belum pernah di terapkan sebagai sanksi pidana bagi terpidana korupsi.  ini adalah pasal mati, karena tidak pernah menggigit para pejabat korup di Indonesia, sehingga menurut saya kita perlu meninggalkan penegakkan hukum yang sifatnya balas dendam, karena tidak relevan dengan jaman. Perlu adanya supremasi hukum dan sinergi antara lembaga negara terkhususnya DPR dan lembaga terkait untuk menyusun regulasi baru yang bisa menggigit serta mampu memberikan "deterrent effect" bagi calon pelaku yang bermain-main dengan anggaran negara untuk memperkaya diri serta koleganya.

kita sepakat korupsi adalah kejahatan yang luar biasa sehingga cara berhukum kita dalam memberantas tikus berdasi  (korupsi) harus  luar biasa pula. Mulai dari tindakan preventif, sampai kepada tindakan represif harus dengan cara yang khusus, karena yang diberantas adalah orang yang cerdas, maka dari itu cara menanganinya juga harus dengan cara yang cerdas.

ketimbang menghukum mati terpidana (korupsi), lebih baik di miskinkan saja pejabatnya, karena kalau hukuman mati, ya menurut saya tidaklah efektif bagi si terpidana, kenapa karena si terpidana hanya merasakan penderitaan yang sifatnya semu, sekali ditembak oleh algojo langsung meninggal dunia. tentu ini hanya menimbulkan masalah baru, negara mau menerapkan hukum tetapi di lain sisi melanggar HAM, serta melangkahi kehendak yang Maha Kuasa.

Jadi konsep penegakkan hukum sederhananya seperti ini, bahwa pejabat yang korup di hukum dengan cara di miskinkan dan dikembalikan semua uang negara yang telah di korupsi, di kenakan denda sebesar-besarnya sampai miskin, "sampai miskin itu asetnya semua disita oleh negara", serta "dicabut hak politik sampai seumur hidup" plus di kurung selama 6 bulan di rumah tahanan negara dan di kucilkan seperti orde baru memperlakukan "PKI". Buatlah terpidana korupsi setengah mati tetapi jangan sampai mati.

Tentu ini hanya sebatas opini yang receh dan remeh-temeh, tapi coba di pikirkan lagi, kalau pejabatnya di kenakan sanksi pidana mati tidak ada manfaatnya buat negara dan negara terlihat seolah-olah inkonsiten, alangkah lebih bijaksana dan bermanfaat kalau pejabat yang terlibat skandal korupsi di miskinkan, lalu hasil sitaan di kembalikan ke kas negara dan di peruntukan untuk kesejahteraan, pendidikan, dan kesehatan masyarakat.

Nah kenapa kurungannya sangat ringan? karena menurut saya kalau di penjara sekian tahun sangat membebani negara, negara harus menafkahi si terpidana di dalam rumah tahanan negara. di dalam penjara juga jika terpidana berkelakuan baik, tentu akan di berikan remisi dari "Kementerian Hukum dan HAM" dan sudah menjadi rahasia umum para tahanan korupsi sering mendapatkan fasilitas (di istimewakan) di dalam penjara. dan bisa berkeluyuran di tempat-tempat wisata bahkan keluar negeri.

Lumayan konyol bukan, tetapi kalau di pikir-pikir boleh juga tuh. Silakan dipikirkan dan selamat berpikir...................

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun