Mohon tunggu...
plur retknow
plur retknow Mohon Tunggu... Guru - menulis dengan hati

Cogito ergo sum (aku berfikir aku ada) / Rene Descrates

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pawon Simbok

25 Maret 2022   11:15 Diperbarui: 31 Maret 2022   07:03 601
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

PAWON SIMBOK

Sebuah tempat. Aku merasakan keharmonisan kehidupan di sana. Simbok (Nenek) ibunya ibuku masih terbayang dengan jelas di benakku berada disana hampir seharian, berkutat dengan segala sesuatu di dalamnya sambil membangun romantisme pergaulan dengan orang-orang terdekat. Pawon. Istilah sekarang adalah dapur. Dapur yang dahulu etikanya ada di bagian belakang rumah. Memunculkan istilah orang-orang belakang untuk menyebut ibu-ibu rumah tangga di masa lampau. Dapur yang sekarang beralih fungsi menjadi salah satu prestige bagi pemiliknya. Letaknya tidak lagi ada di belakang, bahkan di era modern, letaknya bersampingan dengan ruang tamu. Di desain menarik dengan gadget modern serba canggih, elektrik, bukan lagi manual. Bersih, rapi, tanpa noda-noda asap dan bau-bauan wangi. Tapi aku hidup bersandingan dengan pawon simbok setiap hari. HAmpir separuh umurku melihat situasi pawon yang sederhana, sewajarnya dapur di desa dengan segala fungsi. Bukan hanya tempat meracik menu makanan, menghasilkan raza lezat masakan-masakan yang di buat tangan-tangan professional, bukan komersial untuk meracik menu-menu untuk diperjual belikan, melainkan sebuah tempat sakral untuk orang-orang terdekat.

Setiap hari di masa kecilku, bangun tidur di pawon, aku melihat simbok sudah repot menyiapkan semua kebutuhan orang rumah. Hari masih gelap, simbok sudah di dapur menyalakan api tungku dengan susah payah, meniup api yang belum menyala dengan mata memicing akibat asap dari api yang meyala kecil di daun kelapa kering untuk menyalakan api di kayu bakar, lalu memasukkan pelan-pelan kayu-kayu bakar ketika api mulai menyala, menjerang panci untuk  merebus air, menyeduh kopi dan teh, kemudian dilanjutkan dengan aktivitas lainya, seperti memotong-motong sayuran dan mengupas bawang, diselingi dengan bolak-balik ke tungku memasukkan kayu bakar. Beberapa waktu kemudian, biasanya masakan yang sudah matang ditaruh di sebuah meja kayu di pawon itu juga, menunggu dingin baru ditutup dengan tudung saji. Masakan-masakan sederhana yang saat ini sangat kurindukan. Sekadar nasi putih dengan sayur rebus, sambal, tempe goring dan sayur kemarin yang sudah tanpa kuah. Hari semakin siang, ketika beberapa kali ada tetangga yang datang. Kang Sardi yang seminggu 3 kali mengantar butiran-butiran kelapa. Kemudian ia dan simbok berbincang lama sekali tentang berbagai topik menarik berakhir dengan bungkusan lauk pauk untuk dibawa Kang SArdi pulang disertai doa-doa panjang dari simbok. Tidak ada kecanggungan di pawon. Semua orang terdekat jarang sekali ke rumah duduk di ruang tamu. Mereka akan langsung ke pawon. Mereka yang dianggap keluarga, meski hanya tetangga dekat rumah atau orang-orang yang sering datang selalu menuju pawon. Mereka menganggap pawon adalah lokasi paling ramah untuk sekadar berbincang atau berbagi makanan. Dan simbok selalu saja punya cerita setiap kali ada yang datang ke pawon. Tidak hanya memasak, pawon adalah tempat menjalin silaturahmi antar manusia dan tempat paling nyaman untuk bertukar cerita. Biasanya siapapun yang datang, simbok terbiasa menyeduhkan minuman kesukaan mereka. Tanpa ada list favorit orang-orang terdekat, simbok sudah hafal betul minuman kesukaan mereka. Kemudian, yang datang biasanya tidak hanya tangan kosong. Ada saja yang dibawa. Misalnya Lek Mirah, tetangga dekat rumah yang suka membawakan cabe rawit dari kebun depan rumahnya untuk simbok. Kemudian simbok dan lek Mirah akan berbagi cerita seputar kebun, cabe, bahkan cerita keluarga Lek Mirah di hari itu pun menjadi topik menarik. Simbok bukan orang yang hanya puas diberi sesuatu oleh orang. Ia akan mengganti cabe Lek Mirah dengan sayur buatannya, atau makanan kecil yang dibuat. Lek Mirah biasanya menolak dengan halus, disusul omelan simbok yang tak rela pemberiannya ditolak. Begitulah romantisme dibangun. Di pawon, terjadi situasi yang membuatku saat ini sangat merindukannya. Kesederhanannya, fungsi kekeluargaannya, kelincahan simbok yang tetap bersemangat menyiapkan segala sesuatu.

              “Aku mau pulang.”

Ucapku pada istriku. Istriku manatapku lama. Heran dengan ucapanku yang tiba-tiba. Kami hidup di kota besar. Aku dengan segala kesibukanku bekerja begitupun juga dengan istriku. Dapur menjadi tempatku bekerja. Menjadi chef di hot kitchen sebuah restoran tradisional ternama. Passion yang kuperoleh otodidak dan akhirnya kuimbangi dengan profesianalisme teknik-teknik memasak di sekolah tata boga di ibukota. Hampir 10 tahun aku tidak pulang. Setiap lebaran, aku memboyong keluarga dari kampong halaman ke rumah ini. Mereka kuajak liburan disini sambil tidak bisa meninggalkan pekerjaanku. Istriku terkadang geleng-geleng kepala melihat kerja kerasku. Tapi memang itulah targetku. Menyekolahkan anak-anak sampai jenjang tertinggi dengan segala seuatu yang baik, meski kami bukan keluarga yang kaya raya. Aku ingin putra-putraku menjadi orang yang tidak kekurangan dan selalu mendapatkan yang terbaik. Itulah cita-citaku di masa itu sampai tercapai saat ini. Aku hanya pulang beberapa kali. Ketika ibu sakit, simbok sakit, simbok meninggal, dan menjemput ibu untuk aku ajak tinggal di rumah ini karena usia beliau yang sudah renta. Ibu yang awalnya keberatan tapi akhirnya menyerah karena hanya aku anak satu-satunya beliau. Sementara istriku lahir dan besar di bawah asuhan bibinya yatim piatu sejak kecil di kota kecil tak jauh dari kampung halamanku. Jadi sangat dekat dengan keluarga kecilku yang tinggal ibuku seorang.

Tiba-tiba malam itu aku terbayang sesuatu. Saat ibu menemaniku di hari libur sorenya sambil minum teh di taman kecil teras rumah.

“Ibu pengen pulang sebentar, Sab. Ibu kangen rumah.”
Aku tersenyum tulus. Mengelus pundaknya dan mulai lemah karena usia.

“Tunggu Sabda libur, ya Bu. Nanti kita pulang.”

Ibu menghela nafas panjang.

“Ibu pulang bareng si Asih saja. Kampungnya kan sebelahan dengan kampung kita. Naik bis.”

Aku membujuknya dengan halus bahwa bulan depan aku akan ambil cuti. Si Asih yang bantu-bantu di rumah lebaran ini memang akan mudik seperti biasanya. Tapi lebaran bagiku adalah momen paling sibuk. Paling menyita waktu. Seiring dengan mudiknya para ART restoran akan kebanjiran orderan untuk open house ke rumah-rumah mewah guna mengumpulkan keluarga dan relasi mereka. Terkadang kami kewalahan menerima orderan untuk finedining ke rumah-rumah mewah petinggi-petinggi Negara. Dapat dipastikan aku tidak bisa cuti. Usai hari raya biasanya bisa kulakukan. Untuk itu aku berjanji pada ibuku.

Hari ini diantar pak Tarjo, Asih pulang kampung. Ibu menyeka air matanya melepas kepulangannya. Aku nelangsa. Sepertinya ibu sangat ingin pulang. Istriku melancarkan aksi protesnya setelah Asih diantar ke pull bis.

“Aku saja Mas yang menemani ibu pulang kampung. KAsihan ibu. Pasti sedih sekali. Tiap lebaran harus menahan diri tidak pulang.”

Aku menghela nafas berat. Bagaimana lagi? Pekerjaanku menuntutku demikian. Hingga minggu-minggu pun berlalu. Ibu menagih janjinya. Aku mengabulkannya dengan janji mengurus cuti dahulu. Weekend berikutnya aku, ibu, dan istriku pulang kampung. Betapa senangnya ibu sampai disana. Aku meihat binar kebahagiaan yang selama ini tertutupi rasa sayangnya padaku dengan tidak diutarakannya keinginan pribadinya. Ibu memintaku pulang duluan jika sibuk bekerja. Biar ibu tinggal di kampung ditemani Lik Siti keponakannya yang rumahnya bersebelahan. Tentu saja aku kebingungan. Tapi permintaan ibu sangat sulit dibendung.

“Ibu kerasan Sab di rumahmu. Rumahmu bagus, anak-anakmu baik-baik. Istrimu juga baik. Setiap hari tidak pernah kekurangan. Tapi ibu ingin di tanah kelahiran ibu disini. Tolong sekali ini penuhi permintaan ibu. “

Dengan berat hati ibu kutinggalkan kembali ke rumahku di ibu kota. Istriku berjanji akan menengok ibu sesering mungkin. Di jalan istriku tak henti-henti menangisi ibu yang sekarang harus jauh darinya. Aku memakluminya karena selama ini istriku merasa punya orang tua di rumah, lalu akan kesepian lagi. Anak-anak kami sudah tidak lagi kecil. Mereka punya dunia mereka sendiri. Si sulung kuliah sambil mengurus bisnis kecil-kecilannya coffee shop bersama teman-temannya. Yang bungsu masih SMA tapi sudah sering keluar rumah untuk belajar desain grafis dan magang di sebuah percetakan setiap sore pulang sekolah. Bagaimana pun rumah kami tidak seramai waktu anak-anak masih kecil. Mereka saying keluarga, perhatian dan saying dengan ibu dan neneknya, sering bercengkrama dikala hari libur, tapi itu hanya hari libur. Sementara hari-hari biasa, istriku yang istirahat siang mengurus salon kecantikannya di rumah selalu merasa kesepian. Pegawai kami adalah orang lain. Sementara ibu adalah orang tua yang bisa diajak bercengkrama. Dengan bujukan halus aku meredakan tangisan istriku.

Kesibukan kembali terjadi setelah kami pulang. Siang ini kami dipanggil Owner Restoran. Kami agak canggung. Biasanya kami hanya mendapatkan briefing dari manager restoran. Kali ini aku dan team bertemu langsung Pak Anggada. Pemilik restoran besar kami dengan segala kesederhanaannya. Beliau menitipkan pesan bahwa pengelola restoran sekarang adalah putra sulungnya yang barusaja pulang dari Eropa. Beliau berpamitan, karena sudah saatnya istirahat. Kami bertemu dengan putra beliau. Aku piker putra seorang pemilik restoran adalah orang yang bergaya hidup mewah seperti halnya orang-orang besar negeri ini. Ternyata beliau adalah pribadi yang sangat sederhana dan santun. Hari ini beliau mengumumkan bahwa akan mengelola restorannya sendiri. Dibantu manager restoran yang adalah pamannya sendiri. Beliau akan mengubah mainsett restoran yang selama ini adalah tempat bergengsinya kaum menengah keatas. Meskipun menu-menu restoran adalah masakan-masakan tradisional, tapi pelanggan di restoran adalah orang-orang besar dan pejabat negeri ini.

“Saya hanya akan mengubah konsep bukan merenovasi ulang restoran ini.”

Kami meeting esok siangnya. Beliau memaparkan konsep restoran yang harus kami pelajari selama 1 minggu ke depan. Yang lebih mengherankan, kami diminta cuti untuk pulang ke kampung halaman selama 1 minggu.

“Cari tahu bagaimana restoran ini menjadi’rumah’ bagi para customer kita. ‘Rumah’ bukan sekadar tempat makan. Karena, yang mereka butuhkan adalah rumah, tempat paling sulit ditemui untuk lokasi makan orang-orang sibuk seperti mereka. Saya mau semua karyawan cuti, kecuali security dan cleaning service. Terutama kitchen team, Pak Sabda dan timnya. Silakan observasi dan katakana konsep yang akan membantu saya merancang ulang konsep restoran ini.”

Aku pulang ke rumah sore ini dengan pikiran tidak mengerti, kurang paham bagaimana memulai observasi, dan harus bagaimana aku menyusun konsep ‘rumah’ pada restoran besar yang selama ini adalah tempat bergengsinya customer kelas menengah atas. Istriku yang sedang sibuk di salon menghampiriku. Lalu kami sama-sama berdiskusi. Hingga kalimatnya menyadarkanku tentang sesuatu.

‘Kalau mau punyaide, ya ‘pulang.’

Aku masih piker panjang. Pulang. Hanya 1 minggu. Apa yang bisa kulakukan disana selama 1 minggu? Aku hanya berdiam diri sepanjang hari sampai menginjak hari ke-3. Berbagai konsep tradisional dan autentik rumah aku coba setting untuk restoran. Berbagai ide aku coba tuangkan dan hasilnya nihil. Biasa saja. Aku paham, orang-orang seperti bosku tidak mau yang biasa saja. Harus yang tidak biasa.

Di hari ke-4, aku memutuskan untuk ‘pulang.’

Istriku yang tadinya diam-diam saja keheranan. Keputusanku untuk pulang sangat mendadak. Tapi ia hanya tersenyum singkat dan menyiapkan perlengkapanku untuk pulang. Kebetulan anak-anak libur semester. Mereka bisa menemaniku menyetir sampai kampung halaman. Istriku pun dengan sennag hati ikut serta.

Sesampai di ‘rumah’, ibu menyambutku dengan sukacita. Semua makanan disiapkan. Mulai dari sambal bajak kesukaan kami sampai sayur lodeh yang menjadi cirri khas masakan ibu. Ciri khasnya yang tidak sama dengan lodeh-lodeh buatan orang lain. Kental, gurih, bercitarasa istimewa dengan uleg an tempe masam. Aku tiba-tiba tercengang. Ibu aku peluk sesaat. Istriku tersenyum lebar saat aku mengungkapkan ingin membuka warung makan sederhana di kota kecil dekat kampung ibu dengan menu utama ‘sayur lodeh’. Ibu bahagia sekaligus bersedih karena aku hanya akan memantaunya dari jauh.

Siang hari. Saat semua masih istirahat siang, aku rebahan di kursi ruang tamu. Tiba-tiba seseorang memijit-mijit kaki ku. Aku mencium tangan keriputnya saat sadar ada Lik Siti sedang membawakanku semangkuk sayur ikan sungai kesukaanku. Aku dipaksanya makan, sambil tiap suap mejawab pertanyaan-pertanyaannya yang kuanggap lugu dan menyenangkan untuk dibahasas. Seputar kabar di kota.

“Kasihan ibumu, Sabda. Yang dinantikannya Cuma kamu. Anak semata wayangnya. Ibumu pingin kamu disini dan meneruskan usaha Bapakmu. Sayang, usaha itu hanya dikelola ponakan-ponakannya. Coba kamu ada.”

Aku menghela nafas panjang. Warung makan Bapak dengan menu khas Ayam Ungkep bumbu khas keluarga memang masih ada. Diteruskan keponakan-keponakannya. Aku malah memilih merantau. Kami berdialog sampai makanku berakhir. Lalu aku puny aide. Sepertinya au akan mengajak Lik Siti, yang dulu ikut mengasuhku saat kecil ke suatu tempat. Tempat yang bisa sedikit banyak membantuku menghilangkan stress memikirkan konsep pekerjaan yang merongrong jiwaku saat ini. Pasar desa. Lik Siti mengomel tidak jelas saat memasuki pasar yang di sing hari memang sangat sepi. Langkahku tidak menyusuri deretan kios di pasar yang sepi, tapi ke arah belakang pasar. Tempat Lik Sardi yang dulu sering ke rumah simbok mengantar kelapa. Sudah 15 tahun ia membuka warung kopi di pasar bersama istrinya. WArung kopi yang hanya satu-satunya tapi adalah salah satu tempat paling ramai di area pasar. Lik Sardi memelukku erat saat aku memasuki warung sederhananya. Warung kecil dengan bangku kayu panjang mengelilingi tungku kopi dari tanah. Disinilah kabarnya seluruh penghuni pasar menikmati istirahatnya sambil menghabiskan sebatang rokok atau hanya sekedar berbincang sambil minum secangkir kopi. Lik Sardi adalah penyambung lidah pembicaraan terbaik di kampungku. Melaluinya, orang-orang tahu berbagai berita up to date seputar ekonomi, perdagangan, bahkan politik negeri ini. Lik Sardi juga punya otak cemerlang dengan ide –ide brilliant nya yang membuat orang-orang betah ngobrol dengannya. Ia tidak hanya menjual kopinya, tapi juga menjual pembicaraan berbobot yang dikemas secara sederhana dan pas untuk orang-orang menengah ke bawah yang singgah ke pasar.

“Warung kopi ini seperti rumah kedua orang-orang, Le. Yang dibutuhkan bukan racikan kopi dengan suhu yang pas dan takaran kopi yang benar, tapi disaat mereka minum kopi, mereka seakan ada di rumah. Menyilangkan kaki dengan bebas sambil merokok, lalu bisa bercerita apapun yang mereka ingin ceritakan. TAnpa rasa canggung. Saya belajar semuanya dari ‘pawon’ simbok mu. Simbokmu adalah guru terbaik saya.”

Aku terdiam. Tiba-tiba muncul ide cemerlangku. Aku memeluk Lik Sardi sambil mengucapkan terima kasih yang tak terhingga. Lik Sardi hanya ternganga-nganga melepasku pulang sambil kuselipkan beberapa lembar uang di sakunya. Lik Siti pun kebingungan saat kuajak pulang buru-buru.

Sore ini aku langsung menuju pawon simbok. Letaknya di ujung belakang rumah. Ibu sudah jarang  menggunakannya, kecuali ada acara selamatan leluhur dan harus masak besar. Pawon simbok adalah hanya sebuah ruangan sederhana dengan tungku dari tanah memanjang di tengah ruangan. Samping kirinya sebuah para-para tempat gerabah tanah warisan simbok digantung dari batang-batang bamboo di tataki teriplek tebal. Bawahnya tumpukan kayu bakar yang juga dialasi balokan kayu persegi panjang. Seemntara itu di samping kanannya adalah gentong air dari tanah liat tempat menampung air bersih. Semua yang berada di sana identik dengan warna jelaga hitam-hitam berbau sisa pembakaran. Pojokan dekat pintu yang menghubungkan pawon simbok dengan ruang tengah atau dapur bersih ibu adalah sebuah lincak (kursi panjang dari bambu) tempat kami biasa makan dan duduk-duduk. Aku duduk disana sambil membayangkan akan merenovasi pawon ini menjadi tempat paling menarik di project restoranku nanti tanpa mengubah detail apapun darinya.

Semalaman aku berkutat dengan angan-angan merenovasi pawon simbok. Istri dan anak-anakku membantu membuat sketsa dan berjanji akan membantuku sebisanya. Esok paginya, bersama Kang Kurdi tetangga sebelah rumahku, putra Lik Siti yang punya tubuh seperti gladiator, aku mulai merenovasi dapur. Istriku membersihkan gerabah tanah, anak-anak membersihkan ruangan dan mengecat dinding anyaman bamboo dengan cat coklat muda biar terlihat alami. Sementara Kang Kurdi aku minta memindahkan barang-barang besar keluar dulu sambil menunggu dimasukkan kembali ke pawon kalau sudah rapi. HAri menjelang sore ketika kami semua menghela nafas lega melihat pawon simbok menjadi menarik dan bersih. Kang Kurdi bahkan sempat membuat jalanan dari pawon keluar halaman dengan membuat cerukan berbelok diisi batuyang dicat warna putih. Benar-benar unik dan menarik. Istriku mengecat besek-besek bamboo tempat bumbu dengan warna-warna berbeda setiap beseknya untuk membedakan fungsi dan apa yang ada di dalamnya. Si bungsu memotret pawon dari segala penjuru lalu memberitahukan hasilnya padaku. Kami semua bernafas lega dan mengakhiri pekerjaan hari ini dengan minumteh dan makan bersama seluruh keluargga beserta keluarga Lik Siti dang Kang Kurdi di pawon.

“Kamu apakan to, Le pawon simbokmu?”

IBuku terheran-heran. Aku tersenyum saja. Istriku menjelaskan sebisanya. Ibu hanya tersenyum

“Kalau mau cari rumah ya ini rumahmu. Disini kamu dapat apapun yang tak ada dimanapun.”

Aku mengangguk pelan. Rasanya pendidikan tinggi dan kesuksesanku bekerja di kota besar selama ini tak cukup untuk memahami kekayaan ilmu orang-orang tua seperti ibu dan LIk Sardi. Bahkan simbok yang telah tiada pun menjadi guru besar meski mereka tak butuh titel dan sekolah formal.

Malam itu aku merancang project ku yaitu restoran dengan ‘pawon’ sebagai pusat memasak dan ruang VIP. Tentunya pawon di restoran bukanlah seperti pawon simbok yang sesederhana itu. HAnya fungsi dan peralatannya saja yang menjadi iconic. PAwon adalah tempat memasak sekaligus rumah kedua bagi pelanggan nomor satu di restoran. Mereka bebas bercerita dan bercengkrama dengan orang-orang yang sedang mereka ajak berbisnis, bebas mengambil sendiri dan memesan makanan sesuai keinginan mereka, tentunya dengan bahan dan alat tradisional serta menu-menu rumahan otentik. Karena mereka membutuhkan ‘rumah’ untuk sekadar beristirahat dari kesibukan bekerja, atau tempat makan saja. Ku kirimkan semua ideku kepada bos restoran yang bijaksana. Yang mengajariku satu hal. ‘Rumah adalah tempat kita pulang’. Rumah bukanlah bangunan megah yang dirancang dengan segala kemewahannya tapi mengungkung ide-ide dan kebebasan kita bercengkrama dengan keluarga. Rumah adalah tempat menitipkan rasa lelah dengan kenyamanannya sendiri. Dan Pawon di desa adalah filosofi ruangan utama di sebuah rumah. Segala lelah dan keresahan akan hilang dengan sendirinya ketika kita menyantap makanan sederhana ditemani obrolan-obrolan dengan orang-orang terdekat sambil memasak seteko air panas untuk menyeduh secangkir kopi atau teh. Tak butuh teknik-teknik yang pelik untuk menyuguhkan menu-menu lezat. Cukup dengan sentuhan hati dan rasa ingin berbagi sebagai bumbu utamanya.

“Kamu mau kembali kapan, Sab?”

Tanya ibu sore ini sambil tangan tuanya sibuk menggoreng ikan asin berbalut tepung yang renyah sekali dan awet berhari-hari akan dibekalkan pada anak-anakku saat kami pulang. Mata tuanya memicing sambil membetulkan kayu bakar di tungku. Aku seolah-olah melihat simbok pada diri ibuku. Simbok yang selalu ada di dapur sepanjang harinya hanya untuk melayani keluarganya. Simbok yang mengajarkan masa kecilku dengan filosofi-filosofi kehidupan agar aku tetap hidup di jalan yang lurus. Simbok yang ternyata adalah manusia paling sederhana tapi dikagumi banyak orang karena kedermawanan dan ajaran-ajaran kesederhananaan hidupnya. Pelan-pelan jiwaku luruh. Ibuku mewarisi itu semua dari simbok. Sepeninggal Bapak menghadap Sang Pencipta waktu aku kecil, ibu lah yang selalu mengajariku untuk tidak lupa ‘pulang’.

“Saya pulang lusa, Bu. Tapi tahun depan kalau Damar sudah lulus SMA dan kuliah saya sama istri mau pulang kesini menemani ibu.”

Ibuku tercengang. Memelukku lama sambil air matanya turun satu-satu. Dari bibir tuanya terucap doa-doa terbaik untukku dan keluargaku. Istriku tersenyum bahagia. Aku mau pulang. Pulang dan mengurus pawon simbok dengan segala pengalaman yang sudah pernah kuperoleh selama ini. Kenapa tidak?

Rumah adalah tempat kita pulang. Bukan hanya sekadar bangunan megah berlantai keramik berdinding bata dan kemilau indah di dalamnya. Rumah adalah jiwa, ruh keluarga yang menyatukan asa dan cita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun