“Kamu apakan to, Le pawon simbokmu?”
IBuku terheran-heran. Aku tersenyum saja. Istriku menjelaskan sebisanya. Ibu hanya tersenyum
“Kalau mau cari rumah ya ini rumahmu. Disini kamu dapat apapun yang tak ada dimanapun.”
Aku mengangguk pelan. Rasanya pendidikan tinggi dan kesuksesanku bekerja di kota besar selama ini tak cukup untuk memahami kekayaan ilmu orang-orang tua seperti ibu dan LIk Sardi. Bahkan simbok yang telah tiada pun menjadi guru besar meski mereka tak butuh titel dan sekolah formal.
Malam itu aku merancang project ku yaitu restoran dengan ‘pawon’ sebagai pusat memasak dan ruang VIP. Tentunya pawon di restoran bukanlah seperti pawon simbok yang sesederhana itu. HAnya fungsi dan peralatannya saja yang menjadi iconic. PAwon adalah tempat memasak sekaligus rumah kedua bagi pelanggan nomor satu di restoran. Mereka bebas bercerita dan bercengkrama dengan orang-orang yang sedang mereka ajak berbisnis, bebas mengambil sendiri dan memesan makanan sesuai keinginan mereka, tentunya dengan bahan dan alat tradisional serta menu-menu rumahan otentik. Karena mereka membutuhkan ‘rumah’ untuk sekadar beristirahat dari kesibukan bekerja, atau tempat makan saja. Ku kirimkan semua ideku kepada bos restoran yang bijaksana. Yang mengajariku satu hal. ‘Rumah adalah tempat kita pulang’. Rumah bukanlah bangunan megah yang dirancang dengan segala kemewahannya tapi mengungkung ide-ide dan kebebasan kita bercengkrama dengan keluarga. Rumah adalah tempat menitipkan rasa lelah dengan kenyamanannya sendiri. Dan Pawon di desa adalah filosofi ruangan utama di sebuah rumah. Segala lelah dan keresahan akan hilang dengan sendirinya ketika kita menyantap makanan sederhana ditemani obrolan-obrolan dengan orang-orang terdekat sambil memasak seteko air panas untuk menyeduh secangkir kopi atau teh. Tak butuh teknik-teknik yang pelik untuk menyuguhkan menu-menu lezat. Cukup dengan sentuhan hati dan rasa ingin berbagi sebagai bumbu utamanya.
“Kamu mau kembali kapan, Sab?”
Tanya ibu sore ini sambil tangan tuanya sibuk menggoreng ikan asin berbalut tepung yang renyah sekali dan awet berhari-hari akan dibekalkan pada anak-anakku saat kami pulang. Mata tuanya memicing sambil membetulkan kayu bakar di tungku. Aku seolah-olah melihat simbok pada diri ibuku. Simbok yang selalu ada di dapur sepanjang harinya hanya untuk melayani keluarganya. Simbok yang mengajarkan masa kecilku dengan filosofi-filosofi kehidupan agar aku tetap hidup di jalan yang lurus. Simbok yang ternyata adalah manusia paling sederhana tapi dikagumi banyak orang karena kedermawanan dan ajaran-ajaran kesederhananaan hidupnya. Pelan-pelan jiwaku luruh. Ibuku mewarisi itu semua dari simbok. Sepeninggal Bapak menghadap Sang Pencipta waktu aku kecil, ibu lah yang selalu mengajariku untuk tidak lupa ‘pulang’.
“Saya pulang lusa, Bu. Tapi tahun depan kalau Damar sudah lulus SMA dan kuliah saya sama istri mau pulang kesini menemani ibu.”
Ibuku tercengang. Memelukku lama sambil air matanya turun satu-satu. Dari bibir tuanya terucap doa-doa terbaik untukku dan keluargaku. Istriku tersenyum bahagia. Aku mau pulang. Pulang dan mengurus pawon simbok dengan segala pengalaman yang sudah pernah kuperoleh selama ini. Kenapa tidak?
Rumah adalah tempat kita pulang. Bukan hanya sekadar bangunan megah berlantai keramik berdinding bata dan kemilau indah di dalamnya. Rumah adalah jiwa, ruh keluarga yang menyatukan asa dan cita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H