"Fiuhh.." jilbab sudah terpasang rapi. Aku berlari mendekati rak sepatu, kaus kaki baru terpasang sebelah, kurasakan perut bagian kiriku nyeri, dadaku mulai sesak. Dengan kaus kaki terpasang sebelah, aku terhuyung -- huyung meraih tepi ranjang, nyeri di perut semakin jadi.
"Ahh.." tanganku gemetaran meraba jilbab putihku yang terkena noda merah, kuraba mulutku. Hatiku terkejut. Aku mengeluarkan banyak darah dari mulut. Kusandarkan punggungku di tepi ranjang. Pelan kulantunkan Istighfar di antara sesak.
"Zaf, sampeyan bener -- bener mau kena tegur ya!" terdengar teriakan Sekar dari luar.
"Masya Allah!" Sekar menjerit saat pintu terbuka sempurna. Sesaat ia terlihat ketakutan ingin berlari keluar, tapi tanganku mencoba menggapainya. Sekar berusaha keras mengendalikan rasa cemasnya, memapahku ke atas ranjang, hati -- hati dilepasnya jilbab putihku yang berlumur darah, kulihat tangannya gemetar.
"Apa ini kali pertama?" Sekar menatapku lekat, matanya mengancam, aku menyerah tapi aku masih diam.
"Baik, jadi ini sudah  kali keberapa?" tatapan Sekar makin tajam
"Kali kedua kar" jawabku pelan sambil menunduk
Malam itu juga Sekar memaksaku ke RS. Moewardi. Tes darah dan Endoskopi, itulah permintaan Dokter. Aku sadar, pada akhirnya aku harus menjalani tes itu.
Kanker Lambung yang menjalar ke organ hati, infeksi bakteri penyebab luka di dinding lambung, bakteri H. Pylori. Aku tak terkejut, sudah kuduga. Tenang kusandarkan punggungku di kursi. Dokter sepuh itu menatapku kosong. Seketika Sekar rusuh, rautnya tak karuan, tampak benar ia kesulitan mengendalikan perasaan.
Tiba di kamar asrama, aku masih diam. Entah memikirkan apa berbagai hal meloncat -- loncat dalam benakku. Sekar duduk menghadap mejanya, kulihat bahunya mulai berguncang, kuhampiri ia.
"Tak perlu cemas Kar" kutepuk pelan pundaknya, tangisnya makin jadi.