Mohon tunggu...
Nita Harani (Syamsa Din)
Nita Harani (Syamsa Din) Mohon Tunggu... Guru - Guru Madrasah Ibtidaiyah

I'm Nothing Without Allah SWT. Guru Madrasah Ibtidaiyah. pengagum senja, penyuka sastra. Love to read, try to write, keep hamasah.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Elegi Mbah Kersen

15 Agustus 2017   10:28 Diperbarui: 30 November 2017   15:29 3416
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Mbah,  jangan lupa acara dangdut malam ini  di alun -- alun"  Kabul mengingatkan Mbah Kersen saat berpapasan di jalan. Mbah Kersen hanya melirik. Tiga batang bambu seukuran pergelangan tangan bertengger di pundak Mbah Kersen. Bulir keringat mengalir lancar dari dahi ke leher kendurnya. Uban yang terserak di kepalanya berkilau diterpa mentari siang bolong.

Mbah Kersen, Veteran berpangkat Kopral.  Usianya baru saja genap 87 tahun, tapi jiwanya tak kunjung tua, raganya juga masih kokoh. Konon, ia dilahirkan di bawah pohon Kersen, jadi diberi nama kersen . Maklum, masa itu kondisi masih morat -- marit. 

"Tes..Tes..1,2,3 selamat malam.." suara kemayu Bang Subur, cabutan MC OK (Orkes Kampung). Ia pengalaman menggawangi acara dangdut. Suara serak Haji Sanggup yang tengah mengumandangkan Adzan Maghrib, kalah oleh suara Bang  Subur yang menukik.

Jalanan mulai ramai. Muda -- mudi kampung Tempur Sari berjalan sambil cekikikan. Belum genap sebulan listrik masuk kampung ini, tapi perubahan berlari kencang. Mushola usang yang sebelumnya hanya diterangi lampu Petromaks, tapi dipenuhi suara anak -- anak dan pemuda kampung yang mengaji kala malam, kini sepi macam kuburan. Hanya Haji Sanggup dan Mbah Kersen yang menyambanginya. Acara dangdut di alun -- alun desa kerap digelar, pos ronda benderang, kedai -- kedai  kopi menghiasi tepi jalan. Purnama nyaris selalu mati.

"Pakne! Pakne!, ayo..malam ini ada penyanyi dari kota! rugi lho ndak nonton"

Mbok Jum, istri Mbah Kersen heboh berteriak di mulut pintu. Mbah Kersen tak menggubris, ia asyik memutar tombol tape tuanya.

"Perjalanan ini terasa sangat menyedihkan, sayang engkau tak duduk di sampingku kawan" ujung bibir Mbah Kersen tertarik. Ia duduk bersandar di kursi rotan, menatap tajam kalender di dinding.  Lelaki  muda berpeci  di kalender itu, melepas senyum ramah pada Mbah Kersen. Agustus. Udara Agustus selalu beda.

"Pakne! Pakne! Ayo.." kepala Mbok Jum terjulur di pintu. Mbah Kersen menembakkan tatapan kesal. Mbok Jum bergidik lalu  melesat.

Mbah Kersen bukanlah sosok yang hangat, Ia pelit bicara . Tapi, warga kampung Tempur Sari kerap mengadukan masalahnya pada Mbah Kersen, sepatah dua patah kata wejangan Mbah Kersen, dianggap mujarab, dan yang pasti, Mbah kersen adalah teman ngopi dan merokok yang diharapkan.

Semburat matahari pagi menerobos ranting pohon jambu air. Mbah Kersen menjejerkan Tiga batang bambu  di muka rumah. Batu asah sudah siap, perlahan Mbah Kersen mengeluarkan golok dari sarungnya, "srek..srek..srek.." dengan gerakan terlatih, Mbah Kersen mulai mengasah golok, gigi serasa ngilu mendengarnya. Mata golok yang tajam berkilat diterpa mentari pagi.

Terdengar derap langkah mendekat. "Mbah.." Sugeng menghapiri Mbah Kersen lalu duduk di kursi kayu. Dari ekor mata Mbah Kersen melirik Sugeng, Bapak empat anak itu tertunduk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun