Salib Kampung: Tanda Kehadiran Tuhan di Kampung
Pendahuluan
Salah satu tugas pastoral yang penulis lakukan selama menjalani masa Tahun Orientasi Pastoral (TOP) di Paroki Pusat Damai, Keuskupan Sanggau, adalah kunjungan ke stasi untuk memimpin ibadat (tourne) pada hari Minggu atau hari-hari raya lainnya. Nah, dalam tourne itu ada hal jamak yang penulis jumpai hampir di setiap kampung, yaitu adanya sebuah salib yang ditempatkan di awal kampung, di ujung kampung, atau di tengah-tengah kampung. Salib tersebut dinamakan Salib Kampung. Dalam beberepa kesempatan penulis juga sering memimpin ibadat dimana salib kampung ditempatkan untuk memperingati haru ulang tahun salib tersebut. Biasanya hari ulang tahun tersebut bertepatan dengan perayaan syukur atas pesta panen padi (gawai) di kampung tertentu. Bahkan terkadang identitas perayaan gawai sebuah kampung terkait erat dengan hari ulang tahun salib kampung itu sendiri. Misalnya perayaan gawai padi di kampung Sedoya selalu terjadi pada tanggal 1 Juli karena tanggal itu merupakan hari ulang tahun salib kampung sedoya.
Fenomena yang jamak ini tentu saja membersitkan sedikit rasa penasaran dalam benak penulis. Apakah sebenarnya makna salib kampung bagi umat di wilayah Paroki Pusat Damai? Bagaimana sejarahnya sehingga hari ulang tahun salib kampung menjadi sebuah kewajiban untuk selalu dirayakan? Bila dikaitkan dengan kebudayaan kampung-kampung masyarakat Dayak pada zaman dahulu yang selalu menempatkan sebuah tugu religius (pantak atau padagi) di awal dan ujung kampung, apakah salib kampung memiliki makna yang sama dengan pantak? Atau apakah dalam hal ini telah terjadi suatu inkulturasi liturgi?
Dalam paper ini penulis akan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan terlebih dahulu membahas selayang pandang makna salib dalam Gereja Katolik. Setelah itu penulis akan memberi gambaran singkat tentang makna pantak bagi masyarakat Dayak, khususnya dalam kebudayaan Dayak dahulu kala. Dalam bagian selanjutnya akan dibahas sejarah singkat tentang salib kampung yang ada di Paroki Pusat Damai. Dan dalam bagian penutup penulis akan mengkomparasikan makna salib Kampung dengan makna pantak bagi masyarakat Dayak.
Makna Salib bagi Orang Kristen
Salib sesuai dengan asal-usul katanya dalam bahasa Arab (s l b) berarti kayu palang atau silang. Pada dasarnya salib adalah suatu lambang universal dan dasariah yang dalam aneka bentuk terdaapat dalam beberapa lingkungan kebudayaan. Bentuk salib swastika misalnya yang terdapat dalam kebudayaan India kuno merupakan lambang keberuntungan. Karena itu, jauh sebelum kematian Yesus Kristus di salib, salib hanyalah lambang biasa yang tidak berkaitan sama sekali dengan ajaran kepercayaan tertentu. Tidak ada hubungan antara berbagai bentuk salib para-Kristen dengan salib sebagai alat eksekusi Romawi yang menjadi sarana pembunuhan Yesus Kristus, yang kemudian menjadi tanda khas orang Kristen.[1]
Di kawasan Timur Tengah jauh sebelum Masehi orang yang melakukan kejahatan besar, dihukum mati dengan diikat atau dipaku pada salib yang berbentuk T. Hukuman kejam itu berasal dari Babilonia dan melalui Persia dan Fenisia diterima oleh hukum Romawi. Pada zaman kekaisaran Romawi hukuman salib dijatuhkan kepada mereka yang mengancam stabilitas politik kekaisaran. Contoh orang-orang yang dihukum salib antara lain para pemberontak yang melawan wibawa Romawai dan para perampok yang sudah mengganggu keselamatan umum.[2] Karena itu tidak mengherankan bila salib pada masa Romawi merupakan tanda kehinaan yang identik dengan hukuman keji dan menjijikkan.
Yesus karena kesetiaan pada perutusan-Nya sama sekali tidak berupaya untuk menggagalkan upaya penyaliban yang ditujukan kepada-Nya, melainkan menerimanya sebagai konsekuensi yang harus ditanggung-Nya. Yesus tidak menghukum, melainkan mengampuni dan mendoakan mereka, bahkan mereka yang menyalibkan-Nya. Sikap Yesus yang membawa-Nya pada kayu salib itu dibenarkan Allah dengan membangkitkan-Nya dengan mulia pada hari Paskah. Salib dan kebangkitan adalah satu kenyataan tak terpisahkan. Salib bukanlah kegagalan, melainkan kemenangan, karena mematahkan kebencian, dosa dan maut dari dalam. Sebab, kemenangan paling jaya bukanlah penghancuran dari luar, melainkan perubahan dari dalam: kebencian diubah menjadi kasih, dosa diubah menjadi ketaatan sampai penyerahan nyawa, maut diubah menjadi sumber kehidupan abadi bagi kemanusiaan Kristus dan semua orang yang beriman kepada-Nya.[3] Untuk orang Kristen, seperti yag diungkapkan oleh rasul Paulus, salib berarti tanda keselamatan yang diperoleh Kristus dalam wafat-Nya demi orang berdosa (bdk. 1Kor 1:17 dst; Gal 5:11; dan Flp 3:15).
Makna Pantak dalam Kebudayaan Dayak
Dalam kebudayaan Dayak umumnya dikenal suatu bentuk kebudayaan yang dikenal dengan Pantak. Pantak adalah sejenis patung yang dipahat dari kayu ulin atau batu dan dibentuk seperti manusia lengkap dengan kaki dan tangan dengan ukuran paling kecil sebesar betis orang dewasa dan ukuran paling besar bisa sampai satu setengah meter tingginya dengan diameter kira-kira 20-30 cm. Pantak biasanya ditempatkan pada tempat-tempat tertentu, misalnya di bawah pohon beringin, di awal kampung atau di ujung kampung orang Dayak. Fungsi utama pantak adalah sebagai tanda kehadiran roh-roh leluhur yang melindungi penduduk kampung dari segala malapetaka. Karena itu tidak mengherankan bila seringkali diadakan acara-acara adat untuk meletakkan sesajen bagi roh-roh leluhur di Pantak.[4] Selain sebagai tanda kehadiran roh-roh leluhur, Pantak juga berfungsi sebagai tanda batas antar kampung.
Dalam kebudayaan Dayak Kanayatn terdapat tiga jenis Pantak, yakni Pantak Padagi, Pantak Panyugu, dan Pantak Keluarga. Pantak Padagi diperuntukkan untuk roh-roh para pemimpin perang dan pengobatan, Pantak Panyugu diperuntukkan untuk roh-roh tokoh pertanian, dan Pantak Keluarga untuk roh-roh tokoh pengayom keluarga yang bersangkutan.[5] Jenis-jenis Pantak dalam kebudayaan sub-suku Dayak lainnya di Kalimantan Barat juga sama dengan ketiga jenis Pantak dalam kebudayaan Dayak Kanayatn ini walaupun dengan nama yang berbeda.
Fungsi Pantak sebagai tempat roh-roh leluhur telah menjadikannya sebagai tempat yang keramat. Pantak menjadi tempat yang harus selalu dihormati dan bahkan bila ada bencana penduduk kampung wajib mengadakan ritual adat di Pantak karena bencana yang terjadi dianggap sebagai amarah dari roh-roh leluhur. Upacara penghormatan seperti ini kemudian pelan-pelan mulai menghilang seiring dengan masuknya agama Katolik atau Protestan di kalangan masyarakat Dayak. Gereja Katolik sendiri tentu saja melarang ritual penghormatan roh di Pantak karena bertentangan dengan ajaran iman Gereja untuk tidak menyembah berhala. Upaya pelarangan dari pihak Gereja tersebut telah dimulai oleh para misionaris awal. Pastor Herman Josef misalnya dalam bukunya mengisahkan bagaimana ia melarang umat waktu itu untuk tidak melakukan ritual-ritual di Pantak dan meminta mereka untuk mencabut Pantak-pantak yang ada.[6]
Berbicara tentang sejarah salib kampung, khususnya sejarah salib kampung di wilayah Paroki Pusat Damai, belum ada literatur-literarur ilmiah yang memberi gambaran jelas tentang hal ini. Informasi yang didapatkan hanyalah dari folklore[7] yang ada ataupun dari kisah saksi-saksi sejarah yang masih hidup. Namun demikian dari informasi lisan yang ada nampak bawa salib kampung berkembang dari satu kampung ke kampung yang lain berkat kesamaan iman dan dorongan dari para misionaris awal.
[3] Adolf Heuken SJ, Ensiklopedi…, hlm. 182.
[6] Herman Josef van Hulten, Hidupku …, hlm. 131
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H