Makna Pantak dalam Kebudayaan Dayak
   Dalam kebudayaan Dayak umumnya dikenal suatu bentuk kebudayaan yang dikenal dengan Pantak. Pantak adalah sejenis patung yang dipahat dari kayu ulin atau batu dan dibentuk seperti manusia lengkap dengan kaki dan tangan dengan ukuran paling kecil sebesar betis orang dewasa dan ukuran paling besar bisa sampai satu setengah meter tingginya dengan diameter kira-kira 20-30 cm. Pantak biasanya ditempatkan pada tempat-tempat tertentu,  misalnya di bawah pohon beringin, di awal kampung atau di ujung kampung orang Dayak. Fungsi utama pantak adalah sebagai tanda kehadiran roh-roh leluhur yang melindungi penduduk kampung dari segala malapetaka. Karena itu tidak mengherankan bila seringkali diadakan acara-acara adat untuk meletakkan sesajen bagi roh-roh leluhur di Pantak.[4] Selain sebagai tanda kehadiran roh-roh leluhur, Pantak juga berfungsi sebagai tanda batas antar kampung.
   Dalam kebudayaan Dayak Kanayatn terdapat tiga jenis Pantak, yakni Pantak Padagi, Pantak Panyugu, dan Pantak Keluarga. Pantak Padagi diperuntukkan untuk roh-roh para pemimpin perang dan pengobatan, Pantak Panyugu diperuntukkan untuk roh-roh tokoh pertanian, dan Pantak Keluarga untuk roh-roh tokoh pengayom keluarga yang bersangkutan.[5] Jenis-jenis Pantak dalam kebudayaan sub-suku Dayak lainnya di Kalimantan Barat juga sama dengan ketiga jenis Pantak dalam kebudayaan Dayak Kanayatn ini walaupun dengan nama yang berbeda.
   Fungsi Pantak sebagai tempat roh-roh leluhur telah menjadikannya sebagai tempat yang keramat. Pantak menjadi tempat yang harus selalu dihormati dan bahkan bila ada bencana penduduk kampung wajib mengadakan ritual adat di Pantak karena bencana yang terjadi dianggap sebagai amarah dari roh-roh leluhur. Upacara penghormatan seperti ini kemudian pelan-pelan mulai menghilang seiring dengan masuknya agama Katolik atau Protestan di kalangan masyarakat Dayak. Gereja Katolik sendiri tentu saja melarang ritual penghormatan roh di Pantak karena bertentangan dengan ajaran iman Gereja untuk tidak menyembah berhala. Upaya pelarangan dari pihak Gereja tersebut telah dimulai oleh para misionaris awal. Pastor Herman Josef misalnya dalam bukunya mengisahkan bagaimana ia melarang umat waktu itu untuk tidak melakukan ritual-ritual di Pantak dan meminta mereka untuk mencabut Pantak-pantak yang ada.[6]
   Berbicara tentang sejarah salib kampung, khususnya sejarah salib kampung di wilayah Paroki Pusat Damai, belum ada literatur-literarur ilmiah yang memberi gambaran jelas tentang hal ini. Informasi yang didapatkan hanyalah dari folklore[7] yang ada ataupun dari kisah saksi-saksi sejarah yang masih hidup. Namun demikian dari informasi lisan yang ada nampak bawa salib kampung berkembang dari satu kampung ke kampung yang lain berkat kesamaan iman dan dorongan dari para misionaris awal.