Penulis: Enos Ndapareda - Safe School Project Manager Plan Indonesia
Anak adalah salah satu kelompok yang paling rentan dalam setiap bencana. Baik itu karena ancaman alam maupun konflik, anak-anak selalu menghadapi risiko besar. Mereka rentan mengalami gangguan kesehatan fisik dan mental, kehilangan akses pendidikan, dan menjadi target kekerasan serta eksploitasi. Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) melaporkan bahwa setiap tahun, 37 juta anak putus sekolah akibat situasi bencana dan krisis. Kondisi ini tidak hanya menghancurkan masa kecil mereka, tetapi juga menghambat peluang mereka untuk meraih masa depan yang lebih baik.
Dalam pelbagai laporan yang dikeluarkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Dana Anak Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF) menyebutkan 30-40% dari populasi yang terdampak bencana adalah anak-anak. Di Aceh saat gempa dan tsunami tahun 2004, dari 230 ribu korban jiwa, diperkirakan 40% adalah anak-anak. Beberapa bencana besar lainnya seperti gempa Lombok, tsunami, likuifaksi, dan gempa Palu, Sigi, dan Donggala juga berdampak besar pada anak meskipun tidak tercatat jumlahnya secara pasti. Saat pandemi COVID-19 melanda pada 2020-2022, hampir 60 juta murid terdampak karena terhentinya proses belajar mengajar yang menyebabkan penurunan capaian pembelajaran (learning lost).
Dampak bencana pada anak dapat terlihat pada beberapa sektor, seperti pendidikan dengan adanya penutupan sekolah sementara maupun dalam jangka panjang seperti saat COVID-19 yang berdampak pada capaian hasil belajar. Selain itu, akses terhadap sarana pembelajaran dan ganggunan psikologis juga terhambat karena adanya bencana. Cerita nyata nan menyedihkan adalah anak laki-laki diprioritaskan untuk melanjutkan sekolah setelah bencana terjadi ketimbang anak perempuan. Dalam pembelajaran daring sewaktu COVID-19 anak perempuan selalu dinomorduakan dalam menggunakan gawai. Di sektor sanitasi dan kebersihan, akses terhadap air bersih sangat terbatas. Tidak hanya itu, kesempatan untuk menjaga kebersihan menstruasi menjadi lebih sulit dengan tiadanya pembalut dalam bantuan yang datang. Dalam sektor perlindungan dan keamanan, anak perempuan rentan mengalami kekerasan termasuk kekerasan seksual. Anak terpisah dari keluarganya dan mengalami trauma.
Respons Berfokus pada Anak
 Beragam respons bisa dilakukan dengan lebih menekankan pada pemenuhan hak anak dalam situasi bencana. Salah satunya bisa melalui pendekatan perlindungan anak, pendidikan dan kebutuhan akan air bersih, sanisasi serta kebersihan. Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia), sebagai salah satu organisasi kemanusiaan yang berfokus pada anak dalam respons bencananya turut mendukung proses yang inklusif bagi anak-anak melalui sektor tersebut.
Pelbagai inisiatif untuk memastikan anak-anak mendapatkan perlindungan yang mereka butuhkan telah dilakukan oleh para pekerja kemanusiaan. Pembangunan ruang ramah anak, dukungan psikososial, dan mekanisme pelaporan kekerasan adalah beberapa langkah yang mereka ambil untuk melindungi anak-anak dari risiko yang meningkat selama bencana. Upaya ini telah membuahkan hasil, dengan meningkatnya kesadaran masyarakat untuk menginisiasi pembentukan kelompok perlindungan anak terpadu berbasis masyarakat (PATBM) atau kelompok anak desa (KPAD) yang masih berperan aktif hingga kini. Pada beberapa respon bencana, Plan Indonesia bersama pemangku kepentingan setempat, mengembangkan mekanisme pelaporan dan umpan balik yang ramah terhadap anak. Mekanisme tersebut kemudian diadopsi dengan atau tanpa modifikasi digunakan secara berkelanjutan baik oleh KPAD/PATBM maupun lembaga lokal.
Pada sektor pendidikan, pembangunan ruang belajar sementara yang inklusif, peningkatan kapasitas guru untuk pembelajaran situasi darurat, dan penyediaan sarana belajar menjadi penting untuk mendukung proses belajar pada situasi darurat. Plan Indonesia pada respons COVID-19, mempelopori system pembelajaran menggunakan Handy Talkie (HT) dilakukan untuk daerah-daerah yang tidak memiliki sinyal seluler dan jaringan internet. Selain itu, pembelajaran melalui broadcast voice recorder turut dilakukan dengan mengirim materi pembelajaran ke telepon selular murid. Dengan demikian, upaya tersebut bisa memastikan proses belajar mengajar tetap dilakukan meskipun dalam situasi bencana.
Pemenuhan hak anak lainnya adalah memastikan tersedianya fasilitas air bersih, toilet yang layak, dan alat kebersihan, termasuk pembalut untuk anak perempuan---kebutuhan yang sering diabaikan dalam respons kemanusiaan. Pembangunan toilet yang ramah bagi anak-anak berkebutuhan khusus dan ketersediaan air bersih menjadi bagian penting dari upaya ini. Plan Indonesia, menyediakan toilet dan juga akses terhadap air bersih yang dapat dijangkau oleh semua anak terutama anak dengan berkebutuhan khusus.
Beraksi untuk Kemanusiaan
Setiap tanggal 19 Agustus, dunia memperingati World Humanitarian Day (WHD), atau Hari Kemanusiaan Sedunia, hari yang dikhususkan untuk mengapresiasi para pekerja kemanusiaan yang tak kenal lelah dalam memberikan bantuan di situasi-situasi darurat---baik yang disebabkan oleh bencana alam maupun konflik. Peringatan ini lahir dari tragedi memilukan pada tahun 2003, ketika Markas PBB di Baghdad dibom, menewaskan 22 orang, termasuk Sergio Vieira de Mello, Perwakilan Khusus PBB di Irak. Tragedi tersebut menjadi pengingat akan risiko yang dihadapi oleh para pekerja kemanusiaan dan betapa pentingnya perlindungan bagi mereka di medan tugas.