Mohon tunggu...
Plan Indonesia
Plan Indonesia Mohon Tunggu... Lainnya - NGO

Memperjuangkan hak anak dan pemberdayaan perempuan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Membangun Harapan Eliminasi Kekerasan Anak di Indonesia

24 Juli 2024   10:00 Diperbarui: 30 Juli 2024   11:06 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penulis: Didit Handika dan Mohamad Ganevo (Project Officer Gema Cita - Plan Indonesia)

Kekerasan terhadap anak merupakan masalah serius yang terus melanda Indonesia hingga saat ini. Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI) Kementeritan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) 2023, tercatat sebanyak 18.175 kasus kekerasan terjadi pada anak. Terdapat tiga provinsi dengan angka kekerasan tertinggi yaitu, Jawa Barat sebanyak 1.696 kasus, Jawa Timur 1.531 kasus dan Jawa Tengah dengan kasus sebanyak 1.255.

Salah satu kasus yang menghebohkan masyarakat baru-baru ini adalah  seorang pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) di Kabupaten Lumajang, Juli 2024, Jawa Timur, dilaporkan ke polisi karena menikahi santri perempuannya. Laki-laki berinisial ME itu dilaporkan ke polisi karena menikahi secara siri santri perempuannya inisial P yang masih berusia 16 tahun. Perkawinan itu  dilakukan secara paksa tanpa sepengetahuan orang tua dari santri perempuan tersebut. ME memanipulasi P yang masih berusia anak untuk menikahinya dan menolak untuk menceraikannya bahkan setelah P meminta.

Kasus perkawinan anak yang terjadi juga memperlihatkan tetap adanya relasi kuasa antara pengurus pesantren dan peserta didik di sekolah dan lemahnya sistem perlindungan di lingkungan pendidikan.  Meskipun terdapat regulasi yang seharusnya melindungi anak dari eksploitasi dan hubungan yang tidak sehat, implementasi serta pengawasan terhadap aturan tersebut sering kali kurang memadai. Situasi ini mengindikasikan perlunya peningkatan kesadaran dan pelatihan bagi para pengurus dan pendidik mengenai batasan etis dan tanggung jawab mereka, serta perlunya mekanisme pengaduan yang aman bagi peserta didik.  Tanpa langkah-langkah preventif yang kuat, anak-anak tetap rentan terhadap situasi yang bisa merugikan masa depan mereka. Menciptakan ruang yang aman bagi lingkungan anak bukan hanya tentang melindungi mereka dari bahaya fisik, tetapi juga tentang mendukung perkembangan holistik dan masa depan mereka . Ini melibatkan komitmen dari semua pihak yang terlibat, termasuk orang tua, pengasuh, pendidik, pemerintah dan masyarakat luas.

Salah satu langkah yang telah dilakukan demi menciptakan ruang aman, khususnya di lingkungan pendidikan, yakni melalui Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Permen KPPPA) Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2014 Tentang Kebijakan Sekolah Ramah Anak (SRA). Peraturan tersebut, mewajibkan seluruh satuan pendidikan di Indonesia membentuk sekolah ramah anak sebagai fondasi kuat dalam pemenuhan hak anak secara utuh.  Tujuan utamanya agar satuan pendidikan dapat mewujudkan sekolah yang ramah bagi anak, sebagai peserta didik, yang bersih, indah, aman dan nyaman.

Di dalam aturan tersebut menekankan pentingnya mewujudkan SRA yang tidak hanya sekedar label atau penamaan sebatas pada Papan Nama sekolah atau Surat Keputusan penunjukan, namun lebih jauh dari itu adalah bagaimana mewujudkan nilai dan pembiasaan ramah anak hingga menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi warga sekolah. Sebagaimana slogan SRA “Anak Senang, Guru Tenang, Orangtua Bahagia”, maknanya bahwa bagaimana peran tanggungjawab mewujudkan SRA ini butuh didukung seluruh warga sekolah. 

Permen KPPPA ini, jika dilaksanakan dengan baik akan berimbas pada turunnya angka perkawinan anak di satuan pendidikan, yang akan berkontribusi pada penurunan angka perkawinan anak di Indonesia.  Perkawinan anak merupakan bagian dari kekerasan yang masih banyak terjadi hingga merenggut hak pendidikan dan masa depan anak. Berdasarkan Susenas BPS, proporsi perkawinan anak di Indonesia pada 2023 menyentuh 6,92 persen (dijelasin angka tersebut artinya apa).  Tingginya angka perkawinan anak ini menjadi salah satu faktor putus sekolah. Di sebagian kasus, ketika anak sudah menikah maka ia biasanya dikeluarkan dari sekolah, dipindahkan, atau tidak mau melanjutkan sekolah, terutama anak perempuan. 

Masih terdapat banyak sekolah yang memilih untuk menutupi kasus perkawinan anak dengan alasan menjaga nama baik institusi mereka. Hal ini merupakan masalah serius yang tidak hanya merugikan anak yang terlibat, tetapi juga mengabaikan hak-hak dasar mereka untuk melindungi dari perkawinan usia anak. Tindakan ini justru memperburuk masalah dengan tidak mengambil langkah untuk mencari solusi terbaik bagi masa depan anak. Sekolah perlu melakukan transparansi dan kepedulian terhadap kepentingan terbaik bagi anak sehingga hak-hak dasarnya tidak terenggut begitu saja.  

Berbeda dengan sekolah lainnya yang cenderung menutupi kasus tersebut, Bapak Mamat, kepala sekolah menengah atas di Kabupaten Sukabumi merasa penting untuk mencari solusi terbaik bagi peserta didik yang mengalami kehamilan tidak diinginkan atau perkawinan anak sehingga peserta didik tidak terancam putus sekolah. 

Melalui program SRA yang berkolaborasi bersama Program Generasi Emas Bangsa Bebas Perkawinan Usia Anak (GEMA CITA) dari Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia), Bapak Mamat mencetuskan program pencegahan kekerasan pada anak termasuk perkawinan anak di sekolahnya dengan mereplikasi diskusi serial terkait Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) dengan pendekatan Pendidik Sebaya. 

Serial diskusi  tentang HKSR yang dilaksanakan selama 18 sesi/pertemuan di sekolah bertujuan untuk mengedukasi peserta didik tentang pentingnya pemahaman yang komprehensif tentang tubuh, hubungan sehat, dan keputusan yang bijak terkait seksualitas mereka. Diskusi-diskusi ini tidak hanya membahas aspek medis seperti anatomi dan fisiologi reproduksi, tetapi juga menyoroti isu-isu sosial seperti perlindungan dari kekerasan seksual dan pentingnya konsen dalam interaksi seksual dan termasuk penguatan karakter Dengan pendekatan yang menarik dan inklusif, seperti studi kasus, permainan peran, dan diskusi kelompok, serial diskusi ini membuka ruang bagi peserta untuk mengajukan pertanyaan, mempertimbangkan nilai-nilai pribadi mereka, dan membangun kesadaran akan hak-hak mereka dalam konteks kesehatan seksual. 

Melalui program tersebut Pak Mamat mengungkapkan terjadi penurunan drastis angka putus sekolah akibat perkawinan anak dari tahun 2023 yang mencapai 6-10 kasus hingga menjadi 1 atau 2 kasus yang terjadi pada tahun 2024. Ini menunjukkan pentingnya satuan pendidikan membangun suasana nyaman dan rasa aman bagi peserta didik dengan membuat tata tertib sekolah yang ramah anak, yang tidak hanya berlaku bagi peserta didik saja, juga berlaku bagi pendidik dan warga sekolah lainnya. SMAN 1 Warungkiara, telah membuktikan bahwa mewujudkan sekolah ramah anak perlu kerja sama seluruh warga sekolah, tidak hanya tertulis di atas kertas, lebih penting adalah implementasi apa yang tertulis, termasuk juga Organisasi Perangkat Daerah (OPD) pengampu program SRA ini. OPD perlu melihat capaian indikator SRA hingga pada level kualitas yang dicapai sekolah, seperti yang diungkapkan pak Mamat di atas. 

Di sisi lain, SMAN 1 Lembar juga sudah  melibatkan  peserta didik yang merupakan Peer Educator dan sebagai Tim SRA  melakukan proses pemisahan kasus perkawinan anak. Sejauh ini sekolah mengungkapkan bahwa peran teman sebaya menjadi penting dan salah satu faktor besarnya kemungkinan kasus upaya perkawinan anak dapat dipisah. Hal ini dikarenakan peran teman sebaya dalam memberikan motivasi dan edukasi lebih efektif dibandingkan dengan orang dewasa. Dari 6 kasus rencana perkawinan anak yang terjadi,  4 diantaranyaberhasil dipisahkan. Hal ini juga didukung oleh mulai beraninya peserta didik melapor atau bercerita kepada Peer Educator dan Guru jika mendengar desas-desus rencana temannya yang akan menikah. Berdasarkan laporan tersebut, sekolah melalui tim SRA dengan cepat tanggap meminta guru BK dan Wali kelas untuk melakukan kunjungan untuk tindak lanjut konfirmasi kebenaran berita atau laporan yang didapatkan. 

Hari Anak Nasional Momentum Perkuat Perlindungan Anak

Kekerasan terhadap anak termasuk perkawinan anak yang masih marak terjadi bukan hanya merupakan kejahatan yang melanggar hukum, namun juga merupakan tindakan yang merampas hak-hak dasar anak. Di Indonesia, hak-hak anak yang seharusnya dijamin oleh berbagai peraturan dan konvensi hak anak internasional, seringkali terancam karena berbagai faktor sehingga masa depan anak terabaikan. 

Hari Anak Nasional (HAN) yang diselenggarakan setiap tanggal 23 Juli, menjadi salah satu pengingat dalam terus mendorong kesejahteraan anak yang jauh dari kekerasan dan segala macam bahaya bagi anak. Pada tahun 2024, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mengusung tema “Anak Terlindungi, Indonesia Maju” menjadi kesempatan untuk mengevaluasi dan memperkuat kebijakan perlindungan anak yang sudah ada, serta mengembangkan kebijakan baru yang lebih efektif dan integratif Ini termasuk memastikan bahwa setiap kebijakan tidak hanya ada di atas kertas, tetapi juga diterapkan dengan baik di lapangan. 

Salah satu contoh praktik baik dari implementasi kebijakan demi melindungi anak dari kekerasan yakni dilakukannya upaya pembentukan dan pendampingan melalui tim Sekolah Ramah Anak (SRA)  Di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat dan Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat misalnya, tim SRA telah berhasil mendorong terwujudnya sekolah yang aman dan nyaman bagi peserta didik dengan mengajak semua warga sekolah untuk lebih peduli terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi anak, termasuk mereka berhasil mengajak anak untuk tetap bersekolah. 

Praktik baik ini tidak serta merta terjadi begitu saja, melainkan melalui komitmen yang tinggi dari tim SRA bersama warga sekolah lainnya. Sekolah wajib menempatkan anak sebagai subyek yang menikmati tempat belajarnya dengan rasa aman, nyaman, dan dihargai. Sekolah akan dikenang sebagai entitas yang menyejukkan dan membahagiakan, karena anak merasa bebas dari segala bentuk kekerasan, bebas berpendapat dan diberikan ruang serta kesempatan untuk berkolaborasi bersama pendidik, saling menciptakan sekolah yang ramah bagi mereka. Sekolah Ramah Anak akan terwujud dan terus berjalan jika terjadi komitmen dan kolaborasi antara pemerintah dan warga sekolah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun