Judul: The Subject of Freedom: Kant and Levinas
Penulis: Gabriela Basterra
Fordham University Press, 2015
Dalam buku ini, Basterra ingin memperkenalkan pendekatan terhadap tema kebebasan dan otonomi dalam kaitannya dengan kewajiban dan tanggung jawab. Pendekatan ini mampu memberi sumbangan yang paling revolusioner dalam bidang etika. Kesadaran mengenai subjektivitas yang bebas dan otonom dalam kaitannya dengan kewajiban dan tanggung jawab akan memberi angin segar pada pemikiran mengenai etika dan politik.Â
Seperti yang sudah dikatakan Kant dalam Kritik atas Rasio Murni, kemampuan rasio teoretis sangat tergantung pada konsep mengenai kebebasaan. Bagi Immanuel Kant (1724-1804), kebebasan mewujudkan dirinya melalui hukum moral. Sementara itu, kebebasan bagi Emmanuel Levinas (1906-1995) merupakan suatu perintah "yang mendatangiku seperti pencuri di waktu malam".
Dua pemikir besar dalam filsafat Barat, Kant dan Levinas, memiliki posisi yang berbeda. Kant menempatkan otonomi di atas heteronomi. Sementara itu, Levinas meletakkan heteronomi menjadi filsafat pertama alias mendahului otonomi. Tegangan antara otonomi dan heteronomi dalam pemikiran Levinas tampak dalam bagian akhir karyanya yang berjudul Otherwise than Being.Â
Apa yang kita sebut subjek otonom (pada Kant) sesungguhnya mewujud dalam relasi dengan Yang Lain dalam hukum moral. Dengan mengkaji hubungan antara subjek yang "terinkarnasi" dalam hukum, kita bisa melihat kemampuan otonomi dengan lebih jelas. Ide tentang subjektivitas yang muncul dalam hukum moral memperoleh inspirasinya dari Levinas.
Basterra mengartikan kebebasan (secara teoretis dan praktis) dalam pernyataan berikut ini: "kebebasan merupakan sebuah ide atau gagasan yang menjiwai subjektivitas". Dengan kata lain, kebebasan ada pada ranah subjek (manusia, rasional) dan bukan hanya berdasarkan individu (spesies, non-manusia). Analisisnya terhadap kebebasan membawanya pada pemahaman sebagai berikut:
- Kebebasan merupakan konsep yang menjadi batas atas apa saja yang dapat kita ketahui, atau apa yang kita sebut objektivitas.
Kant menggunakan antinomi dalam usaha membenarkan tesis pokok filsafatnya, yaitu bahwa intelek tidak dapat mengenal das Ding an sich (benda-pada-dirinya-sendiri). Secara etimologis, antinomi terdiri atas dua kata dalam bahasa Yunani: anti (melawan) dan nomos (hukum).
 Secara singkat, antinomi adalah pertentangan antara dua kesimpulan yang memiliki argumentasi yang sama kuatnya. Menurut Kant, usaha mengetahui das Ding an sich akan berujung pada kontradiksi-kontradiksi. Karena itu, tidak mungkin kita dapat membuktikan baik tesis maupun antitesis dari antinomi-antinomi rasio murni.
 Kant membedakan empat antinomi dalam rasio murni: (1) Alam raya terbatas -- Alam raya tidak terbatas. Ini disebut antinomi kuantitatif; (2) Setiap substansi kompleks terdiri dari bagian-bagian sederhana -- Tidak ada satu pun yang sederhana dalam eksistensi.Â