Buku Derrida yang berjudul Adieu: a Emmanuel Levinas memuat persoalan imigran dan pengungsi di negara asing. Karena alasan tertentu, buku itu memerlukan suatu terjemahan.Â
Terjemahan yang dimaksud merupakan suatu kebutuhan yang mutlak untuk mewujudkan keramahtamahan. Jika kita ingin agar orang asing merasa betah, kita harus berbicara dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh mereka.Â
Buku Derrida ini merupakan suatu persiapan bagi kita untuk menerjemahkan kata adieu secara lebih radikal. Terjemahan itu akan membawa suatu perubahan yang lebih menentukan.
Para pembaca yang sudah terbiasa dengan "cara baca" Derrida tidak akan keberatan jika mereka menemukan adanya beberapa proses sekaligus yang akan ia tempuh untuk menerjemahkan kata itu:
Tahap pertama
Tahap pertama adalah menemukan padanan kata "adieu". Biasanya, dalam bahasa Inggris, kata itu diterjemahkan ke dalam kata "farawell" dan "welcome".Â
Menurut Oxford English Dictionary, "farawell" bukanlah padanan yang tepat, karena kata itu ditujukan kepada seseorang meninggalkan orang lain.Â
Adieu (to-God) lebih tepat disandingkan dengan kata "good-bye", "God be with you", karena Adieu diucapkan oleh orang yang akan pergi kepada orang yang ia tinggalkan. Berikut ini adalah skema lengkapnya:
- Orang yang ditinggalkan akan berkata: "Farewell, fare thee well, sampai jumpa lagi, pergilah dalam nama Tuhan. Semoga engkau menempuh perjalanan yang aman, kemanapun engkau pergi."
- Orang yang akan pergi akan berkata: "Adieu, aku menyerahkan engkau kepada Tuhan, kepada kasih-Nya selama aku pergi. Tuhan besertamu selama aku tidak ada di sini. Semoga Tuhan hadir di saat aku tidak hadir."
Kita bisa melihat bahwa cukup sulit mengatakan adieu kepada Levinas. Jika kematian dipahami sebagai suatu perjalanan, maka itu merupakan suatu perjalanan yang diambil oleh "Yang Lain".Â
Perjalanan itu ditempuh tanpa ada jalan untuk kembali. Orang yang hidup ditinggalkan oleh yang meninggal dunia. Jika demikian yang terjadi, maka kita harusnya mengatakan farewell (selamat jalan).
Jika kita mengikuti protokol yang telah disebutkan di atas, orang yang sudah berada di ambang kematian seharusnya mengucapkan adieu kepada orang-orang yang akan ia tinggalkan. Tidak mungkin adieu diucapkan ketika seseorang sudah akan dimakamkan.Â
Maka, dapat dikatakan bahwa mengatakan adieu kepada orang yang meninggal membutuhkan revolusi pemikiran mengenai kematian, bahwa mereka yang sudah meninggal tetap ada meskipun tidak kelihatan.
Mengucapkan "Adieu, Emmanuel" berarti kita mengambil posisi orang yang sudah meninggal itu. Sebaliknya, orang yang sudah meninggal itu akan mengucapkan "selamat jalan", seolah-olah kita sedang berjalan menjauhi kematian. Hal ini tentu sulit untuk dibayangkan, sekalipun oleh Kant.
Tahap Kedua
Pada tahap yang kedua, ada kaitan erat antara "dekonstruksi" dan "filsafat pertama" sehingga kita sulit mengenali perbedaan antara Levinas dan Derrida. Jacques Derrida biasanya menghindari oposisi biner yang mempertentangkan kedua kata di atas.
Tahap Ketiga
Pada tahap ketiga, kita melihat bahwa Levinas mengemban suatu misi yang tidak mudah yaitu menerjemahkan Taurat, agar pesan Taurat dapat menembus batas bangsa-bangsa lain. Levinas ingin menerjemahkan kedekatan relasi antara YHWH dengan umat-Nya ke dalam bahasa Yunani (filosofis).
Tahap Keempat
Pada tahap keempat, Derrida terus mengajukan sebuah pertanyaan kepada Levinas, tentang bagaimana menerjemahkan etika tentang "Yang Lain" ke dalam konteks politik.Â
Dengan kata lain, ia ingin mencari tahu bagaimana mengartikan etika keramahtamahan ke dalam politik keramahtamahan. Dapatkah etika substitusi (menjadi sandera sebagai ganti Yang Lain dengan cara memberi makan dan segalanya kepada mereka) tidak lagi terkurung dalam batas-batas etika yang berlandaskan hak-hak privat, tetapi diterapkan pada ranah politik?
...
Kini para pemudik datang hanya untuk lekas-lekas mengatakan "selamat jalan". Semoga keramahtamahan Yang Lain selalu menyertai perjalanan kembali: ke rumah dan dari rumah.Â
Rujukan:Â
John D. Caputo, "Adieu-sans Dieu: Derrida and Levinas" dalam Jeffrey Bloechl (ed), The Face of The Other and The Trace of God, New York: Fordham University Press, 2000, halaman 276-311.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H