Apresiasi Puisi "Ingatlah"
Penulis: Olin Pius
Jakarta: Lapopp Press 2012
 Jangan lupa lampin usang
Milik pertama anak manusiaÂ
Ketika langit tak biruÂ
Dan bumi tak hitam tak hijau
Jangan lupa para belulang
Yang terbaring kakuÂ
Hanya cerita tentang pusara
Melupakan semua pusaka berlaksa
Kemelut bumi tak rahasia lagi
Makan, menitip gen, memanusia, memangsa
Â
Ingatlah semua gemintang gemerlap kan gelap
Ingatlah tak Raja, tak Ratu, tak kuasa, tak tahan
Ingatlah semua peziarah malang sedang mencari akal kemelut
Memecahkan bakal pokok persoalan
Tak puas dengan semua
Â
Hanya dengan belajar rendah hatiÂ
Kita semua akan menyadari
Hidup ini tak dibeli dengan apa punÂ
Kita gampang lupa akan Sang Pemilik. (INGATLAH, halaman 12))
Sekali waktu, satu baris terbersit dalam benak saya, "makan, menitip gen, memanusia, memangsa". Baris ini saya rasakan sebagai suatu simpulan yang indah tentang "filsafat manusia". Tertarik oleh kekuatan kata-kata itu, saya memberanikan diri bertanya kepada beliau pada bulan Maret 2022 tentang arti puisi ini.
Puisi ini secara keseluruhan adalah refleksi atas faktisitas (kefanaan, kesementaraan) manusia di atas muka bumi ini. Kefanaan itu terlihat secara paling jelas pada awal hidup manusia dan pada akhir hidupnya. Paling tidak, kefanaan itu niscaya pada raga/aspek jasmani.
Baris pertama puisi ini menceritakan kesahajaan badaniah yang dimulai dengan ketelanjangan seorang bayi. Tak ada milik yang ia bawa, sebab semuanya terberi. Frasa "lampin usang mewakili pengalaman di kampung, ketika seorang bayi dibalut dengan kain tenun tradisional (Namanya: bete, dengan bunyi huruf "e" seperti kata "kece"). Seorang bayi juga belum bisa mengenali warna dunia. Bukankah kain lampin juga membalut Tubuh Mungil Sang Penyelamat, Putera Allah yang menjadi manusia?
Selanjutnya, tujuan terakhir raga manusia adalah pusara (liang lahat, kubur). Meskipun ada orang yang "nekat" membawa miliknya ke liang kubur, semuanya musnah meninggalkan belulang. Di depan kuburan, rasa-rasanya tak ada kuasa yang mampu menahan raga ini untuk kembali menjadi debu tanah. Semua manusia berkutat dengan pertanyaan mendasar tentang makna hidup: "Untuk apa ada di dunia jika toh nantinya akan kembali menjadi ketiadaan?"
Semua ilmu mencoba mendekati pertanyaan itu dengan ragam metode dan sarana. Namun, hanya ada satu jawaban yang menurut saya paling mendekati. Jawaban itu diberikan bukan dengan kata-kata indah, melainkan dengan teladan. Putera Allah menjadi manusia, mengosongkan diri (kenosis) dan menjadi hamba, mati tak berbusana di salib. Ketika ia sudah sampai pada pemenuhan tugasnya, Ia juga diterima dalam kegelapan makam. Karena Putera Allah mengosongkan diri, para murid juga nantinya hanya akan menemukan kubur kosong. Sebab, kubur bukanlah tempat bagi orang yang hidup.
Teladan itu bernama "KERENDAHAN HATI". Sikap ini hanya bisa diperoleh jika dan hanya jika manusia mengakui adanya Sang Pemilik yang gampang dilupakan. Mungkin karena itulah, Putera Allah selalu ingin dikenang dalam Kurban Misa. Ia menjadi sekaligus kurban dan sakramen: hidup dan mati-Nya untuk kita. Hanya dengan kematian bagi yang lain, hidup manusia mendapat arti.Â
Uraian di atas adalah memberikan garis-garis besar pemahaman saya atas puisi ini. Terima kasih, ayah untuk puisi yang sangat indah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H