Mohon tunggu...
David Olin
David Olin Mohon Tunggu... Pustakawan - Pemerhati Bahasa, Memberi Hati Pada Bahasa, Meluaskan Dunia Lewat Bahasa

Setiap kali menatap mentari, bulan selalu mendapat cahaya baru.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Suara Hati dan Hati Nurani: Apa Bedanya?

20 April 2022   08:00 Diperbarui: 20 April 2022   08:05 15074
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Manusia memiliki kesadaran moral yang dinamakan suara hati. Kesadaran moral adalah kesadaran bahwa tindakan saya bisa bernilai baik atau buruk sebagai manusia (apapun profesinya). Suara hati merupakan kesadaran akan adanya kewajiban dan tanggung jawab sebagai manusia di dalam situasi konkret. Kualitas saya sebagai manusia (secara keseluruhan) ditentukan oleh pilihan yang saya ambil. 

Suara hati itu saya sadari secara langsung sebagai jawaban terhadap tuntutan konkret yang sedang saya hadapi. Saya tidak bisa lari dari tuntutan suara hati.

Suara hati bersifat rasional, universal dan mutlak. Suara hati bersifat rasional, artinya saya memilih untuk melakukan sesuatu berdasarkan pertimbangan yang bisa dipertanggungjawabkan secara nalar. Suara hati bersifat universal, artinya setiap orang seharusnya memiliki kewajiban dan kesadaran yang sama dengan saya, mengingat manusia adalah pengada yang bermoral. 

Namun kesadaran universal itu tidak berarti setiap orang dalam kenyataannya menghadapi tuntutan konkret yang sama seperti apa yang saya hadapi. Suara hati juga bersifat mutlak, artinya tuntutan suara hati tidak dapat ditawar-tawar dan tidak tergantung pada perasaan atau pertimbangan untung-rugi.

Suara hati berakar dari hati nurani (conscience). Hati nurani adalah keterarahan mutlak pada yang baik dan benar. Berbeda dengan hati nurani, suara hati merupakan tanggapan langsung atas situasi konkret tertentu. Kemutlakan suara hati merupakan petunjuk bagi adanya Tuhan yang bersifat mutlak. 

Namun yang khas bagi realitas mutlak itu adalah bahwa seolah-olah Ia memanggil dan menuntut tanpa bisa kita hindari. Manusia hanya bisa merasa malu dan bersalah di hadapan seorang Pribadi yang mampu memberikan perintah rasional dan universal, yakni Tuhan yang Mahamutlak. Selain itu, manusia juga menyadarinya sebagai sesuatu yang suci, artinya kehendak mutlak itu menolak yang tidak benar dan tidak adil.

Hati nurani dapat digambarkan sebagai tiga bagian pemerintahan suatu negara demokrasi (termasuk Indonesia): legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Manusia mengenali adanya prinsip-prinsip atau hukum moral (benar-salah) yang harus diikuti. Manusia juga bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukannya. 

Pada akhirnya, hati nurani juga memberi penilaian "apresiasi" dan "evaluatif" terhadap tindakan moral kita. Hukum moral itu pastilah tidak bisa berasal dari diri sendiri (karena akan kontradiktif: saya yang membuat, saya yang melanggar). Hukum moral juga tidak selalu mengikuti sepenuhnya apa yang dikatakan orang kebanyakan (misalnya: meskipun banyak korupsi, tidak berarti korupsi dibenarkan). 

Kemampuan manusia untuk berefleksi membedakannya dari makhluk hidup manapun di atas muka bumi. Keberadaan hati nurani tidak bisa diketahui secara langsung. Manusia baru bisa mengenali "cahaya di dalam hatinya" ketika ia menyadari bahwa ada Pribadi Ilahi yang menaruh cahaya itu di dalam hatinya, sejauh manusia diciptakan secitra dengan Allah.

Suara hati disebut sebagai petunjuk paling kuat akan adanya Tuhan karena di dalam kesadaran moral, manusia menjalin komunikasi yang asali dengan Tuhan. Dengan kata lain, saya menyadari Yang Ilahi dalam keseriusan mutlak setiap tantangan moral. 

Immanuel Kant sudah menunjukkan bahwa Tuhan tidak mungkin menjadi objek pengetahuan. Namun, eksistensi Tuhan kemudian dipostulatkan oleh Immanuel Kant dalam Kritik atas Rasio Praktis demi berlakunya hukum moral.

Akan tetapi, suara hati tidak sama dengan suara Tuhan karena suara hati bisa keliru, sedangkan Tuhan sebagai pengada mutlak tidak bisa keliru. Saya bisa menyadari bahwa keputusan saya keliru setelah keputusan itu diambil (bukan sebelumnya). Mengenai apa yang baik dan bermoral, manusia harus terus menerus belajar. Dengan kata lain, suara hati perlu mengalami pembinaan terus-menerus.

Setiap kali orang melawan suara hatinya, ia akan merasa bersalah. Penyangkalan terhadap adanya suara hati bisa bermuara pada skeptisisme (penyangkalan atas kebenaran), agnostisisme (tidak mau tahu tentang kebenaran) dan ateisme (menyangkal adanya Pribadi yang Mutlak). 

Ketiga posisi ini bukanlah posisi rasional, melainkan posisi moral. Semakin manusia menjauh dari suara hati dan hati nurani, ia akan semakin menderita sedemikian rupa sehingga segala bentuk pelarian (alkohol, obat bius) tidak akan menyembuhkannya. Suara hati (meskipun halus) akan senantiasa mengejar hingga jiwa kita menyerah pada Yang Ilahi.

Sumber:

Suseno, Franz-Magnis 2006. Menalar Tuhan (Yogyakarta, Kanisius)

Fulton J. Sheen, Conscience https://www.youtube.com/watch?v=pDyi97qWuA8&ab_channel=TheCatholicWorld

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun