Akan tetapi, suara hati tidak sama dengan suara Tuhan karena suara hati bisa keliru, sedangkan Tuhan sebagai pengada mutlak tidak bisa keliru. Saya bisa menyadari bahwa keputusan saya keliru setelah keputusan itu diambil (bukan sebelumnya). Mengenai apa yang baik dan bermoral, manusia harus terus menerus belajar. Dengan kata lain, suara hati perlu mengalami pembinaan terus-menerus.
Setiap kali orang melawan suara hatinya, ia akan merasa bersalah. Penyangkalan terhadap adanya suara hati bisa bermuara pada skeptisisme (penyangkalan atas kebenaran), agnostisisme (tidak mau tahu tentang kebenaran) dan ateisme (menyangkal adanya Pribadi yang Mutlak).Â
Ketiga posisi ini bukanlah posisi rasional, melainkan posisi moral. Semakin manusia menjauh dari suara hati dan hati nurani, ia akan semakin menderita sedemikian rupa sehingga segala bentuk pelarian (alkohol, obat bius) tidak akan menyembuhkannya. Suara hati (meskipun halus) akan senantiasa mengejar hingga jiwa kita menyerah pada Yang Ilahi.
Sumber:
Suseno, Franz-Magnis 2006. Menalar Tuhan (Yogyakarta, Kanisius)
Fulton J. Sheen, Conscience https://www.youtube.com/watch?v=pDyi97qWuA8&ab_channel=TheCatholicWorld
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H