Frater Salto, Pr menutup sessi 1 dengan intisari buku When Religion Becomes Evil. Dalam sejarah, ada revolusi dari paham Fideisme (yang penting percaya) Fundamentalisme (kembali ke masa-masa awal pembentukan agama) Radikalisme (kembali ke akar) Extremisme (mengklaim kebenaran hanya milik mereka). Ini adalah indikasi cara berpikir literer.
Narasumber 2: Damang Juniarto
Profil: Aktivis SaveNet yang kekeh membela kebebasan berpendapat secara bertanggung jawab di Asia Tenggara.
Pertanyaan pemancing: Anak muda takut beropini? Padahal, anak muda lebih cepat menjadi adapter technology. Hal ini dilihat bersama dengan fakta bahwa teknologi tumbuh lebih cepat satu dekade dibandingkan dengan manusia.
Tantangan Medsos:
Ber-Bhineka
Beliau menjelaskan secara sederhana dan mengagumkan bagaimana FB bekerja. Media sosial, contohnya FB, beroperasi menggutakan alogaritma "yang sama". Maksudnya, Facebook selalu pasti mengelompokkan akun-akun (bisa juga orang-orang) "yang sama", mulai dari teman SD sampai preferensi "makan bubur diaduk apa nggak". Dengan demikian, haters (wakil pluralitas) hampir pasti tidak mendapat tempat dalam jangkauan kita. Hal ini berkaitan erat dengan budaya like/dislike. Alogaritma ini dikondisikan untuk semua orang, sehingga pengguna FB selalu berada dalam lingkaran "yang sama". Proses ini biasanya bekerja di bawah kesadaran kita.
Gelembung tapis
Akibat dari pengelompokan otomatis alogaritma FB inilah, ruang gaung pengguna FB terbatas hanya dengan orang-orang dengan gagasan yang sama. Hal ini memunculkan lahirnya Online Tribes (suku-suku online). Salah satu contohnya adalah Raditya Dika. Di sinilah polarisasi terjadi.
Pertanyaannya ialah, bagaimana Orang Bhineka mengahadapi hal ini. Sedangkan technology by design tidak memungkinkan adanya toleransi.
Konflik mengintai