Mohon tunggu...
Pandji Kiansantang
Pandji Kiansantang Mohon Tunggu... Penulis - "Bahagia Membahagiakan Sesama"

Menulis itu Membahagiakan

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Semoga Kalah... Introspeksi Fans Klub

26 Mei 2022   13:46 Diperbarui: 27 Mei 2022   11:48 540
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perilaku anarkis dan brutal fans garis keras bermula dari mindset yang begitu memuja klub mereka. "Football is Religion"... Sepakbola adalah "Agama abad ke-20" adalah fenomena kultus sepakbola. 

Tentu tidak fair menyamaratakan semua fans klub sebagai "ekstrimis". Mayoritas fans klub adalah moderat. Dari fans klub sepakbola kita bisa belajar tentang loyalitas (kesetiaan). Tetap mendukung tim, walau mereka seri, kalah atau gagal juara. Itulah kenapa disebut "supporter" (pendukung), yang dukungan penuh mereka berupa teriakan yell, nyanyian (chant) maupun pengibaran panji klub, akan meningkatkan semangat pemain yang bertanding... merekalah "pemain kedua belas". 

Penulis termasuk fans moderat Liverpool. Sangat puas jika ikut nobar (nonton bareng)  fans Liverpool. Seperti yang kulakukan pada Nobar final Piala FA pada 14 Mei 2022 bersama Big Reds Jakarta. Sebelum pandemi, rutin ikut Nobar fans Liverpool, khususnya pertandingan melawan 2 rival utama : Manchester Merah dan Manchester Biru. 

Berkumpul bersama fans menumbuhkan "emosi kolektif" dalam psikologi massa. Penulis yang menjadi salah satu fans paling tua (gaek) di antara hampir semua fans usia belasan sampai 20-an. 

Tak terlupakan euforia fans Liverpool ketika menjuarai FA Cup melalui adu penalti. Nobar "meledak" ketika sepakan penalti Tsimikas menjebol gawang Chelsea yang memastikan The Reds juara. Penonton Nobar termasuk penulis meloncat-loncat sambil berteriak kegirangan... sejenak "lupa umur". Itulah momen manis sebagai fans klub yang juara.

 Terus terang, di bawah kepemimpinan Juergen Klopp inilah "saat terbaik" menjadi fans Liverpool. Mengalami "Tsunami Trophy" setelah 3 dekade puasa gelar. 

Tapi harus diakui ada "efek negatif" pada psikologis mayoritas fans klub.

 Pertama, saking dekat ikatan emosionalnya, semakin memacu adrenalin. Beda dengan "Penonton Netral" yang santai menikmati pertandingan, fans klub sangat emosional. "Sport jantung" apalagi jika adu penalti. Bagi penderita penyakit jantung sebaiknya menghindari nonton "live match' tim favoritnya. Beberapakali kita melihat berita fans sepakbola yang meninggal ketika menonton bola. Terutama ketika klubnya kalah.

 Kedua, Mood (suasana hatinya) sangat dipengaruhi kinerja klub. Jika klub menang, apalagi dalam pertandingan "derby" (rival sekota) atau melawan rival utama, maka akan bergembira sepanjang hari. Apalagi jadi juara, euforia bisa berlanjut berminggu-minggu... inilah peran positif  Sepakbola sebagai "moodbooster".

 Tapi sebaliknya jika kalah dan gagal juara dalam pertandingan final. Ini bisa bad-mood seharian. Menjadi "sensi, baper, ilfeel"  yang tentunya jika ia bekerja,  berakibat pada dropnya semangat kerja dan bisa menurunkan produktivitas. Hanya sedikit klub-klub favorit yang prosentase kemenangannya tinggi. Sebut saja "Big Six" Liga Primer Inggris. 

Mayoritas klub (16 klub lain di EPL) tergolong "medioker"... yang lebih sering kalah atau draw daripada menang. Bayangkan kondisi mental fans ke-16 klub ini - sebagian adalah klas pekerja (working class) di Inggris. Mungkin perlu diadakan riset tentang korelasi kinerja klub dan produktivitas kerja buruh yang menjadi fansnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun