Kehilangan seseorang yang kita cintai pastilah menyakitkan. Apalagi jika kehilangan 2 orang, Ibu dan Kakak, dalam 2 hari berturut-turut... pastilah menjadi tragedi keluarga.Â
Ini adalah riwayatku menjadi yatim piatu. Semoga bisa menggugah mereka yang masih punya orangtua agar LEBIH berupaya membahagiakan mereka... karena usia lanjut mereka terus berjalan dan sisa umurnya makin berkurang... apalagi ditambah ancaman pandemi Corona.
Setelah wafatnya Papa, H. Pandji Denny (1930-1997) pada 30 November 1997 (15 hari sesudah ulang tahun Papa ke-67), Mama tinggal menjadi satu-satunya orang tua bagi kami, 4 anak kakak beradik : Ritha, Teddy, Dewi dan saya (Kenny). Dua puluh tahun kami merawat Mama, berusaha membahagiakannya... berusaha menjadi "anak berbakti".Â
Tapi "setengah jiwa" Mama hilang setelah ditinggal Papa. Keduanya benar-benar "soul mate" : pasangan suami - istri ideal yang saling mencintai hingga akhir hayat. Mama jatuh sakit berkepanjangan setelah Papa tiadanya. Seberapapun kami, anak-anak, berusaha menyenangkannya : mengajak jalan-jalan ke tempat yang disukainya atau makan makanan favoritnya, selalu kulihat kegetiran pada Mama : rasa kehilangan Papa di relung hatinya. Momen kebersamaan dengan  anak cucu mengingatkannya pada masa bahagia keluarga kami semasa Papa hidup. Kami sadar, kami TAKKAN dapat menggantikan figur Papa...Â
Mamaku, Hj Tuty Istiawaty (1939-2017) adalah "orang hebat". Sebelum menikah, menjadi Juara Tenis Nasional, pernah mewakili Indonesia dalam partai Tunggal Putri pada Asean Games 1962 di Tokyo. Pialanya sangat banyak di rumahnya di Bandung... saking banyaknya sampai-sampai Opa memakai sebagiannya Trophy timah sebagai tempat minum bagi ayam ternak di rumahnya. Jika Mama berkarir tenis pada masa kini, pasti sudah kaya raya. Dulu sebagai pemain amatir, hadiah uang "diharamkan", hadiahnya cuma trophy dan trophy.
 Jiwa olahragawan-nya dilanjutkan setelah berkeluarga dengan prestasi dalam Golf, walau hanya dalam skala lokal. Mama seorang kreatif, wirausaha yang memulai bisnis pembuatan kayu jati dengan ukiran klasik yang dibuatnya sendiri. Usaha ini berkembang, tapi karena belum mengerti tentang hak cipta, desainnya ditiru oleh tukang kayu yang pernah bekerja untuknya.Â
Setelah Papa pensiun PNS, Mama membuka usaha rangkaian bunga hias (florist) bernama "Kanny's Florist" (dinamai berdasarkan nama panggilan cucu pertama : Kanny). Bisnis florist ini sempat berjaya dan lalu diteruskan oleh putranya Kak Teddy dan Mbak Anie. Mama juga jago masak. Bakat masaknya ini menurun dari Oma (Woeryan). Hampir semua saudara-saudarinya juga jago masak. Kakaknya, Tante Tien mendirikan Catering "Estrella" yang kini diteruskan oleh putrinya : Kak Ruby. Kakak pria Mama : Om Toto membuka sekolah memasak. Masakan Mama yang paling kami gandrungi adalah : Bistik Lidah dan Sop Buntut. Yummy.Â
Sebagai anak bungsu, saya tergolong "mandiri" dalam perkembangan di usia remaja. Keinginanku agar tidak menyusahkan orang tua. Dari SD, SMP, SMA hingga Universitas, alhamdulillah saya selalu masuk sekolah negeri. Juga tidak pernah ambil les atau bimbingan tes. Bersyukur saya dikaruniai "otak encer", walau sebenarnya tidak rajin belajar.Â
"Karir akademis"ku yang relatif lancar membuatku tidak terlalu "membutuhkan" bantuan Papa dan Mama dalam proses belajarku (di luar membiayai sekolah dan kuliah). Akibatnya kurangnya ketergantungan pada orangtua, hubungan pribadiku dengan Papa dan Mama biasa-biasa saja. Apalagi setelah kuliah di UI, saya kost di Depok selama 5 tahun.Â
Keadaan berubah setelah Papa wafat, sesuai keinginannya : "ingin wafat di rumah di samping istri tercintanya" (ketika Papa wafat dengan tenang di tempat tidur setelah shalat Subuh, saya dan Mama ada di sampingnya). Kepergian Papa begitu mengguncangku.Â
Ketika itu, saya yang baru lulus bekerja membantu Papa menyelenggarakan Pelatihan K-3 (Kesehatan & Keselamatan Kerja) dalam lembaga yang Papa dirikan : LKKPI (Lembaga Keselamatan, Kesehatan Kerja dan Produktivitas Indonesia). Selama hampir setahun, saya meneruskan rintisan Papa ini.. sampai akhirnya tergulung badai  Krisis Moneter, yang memaksaku "banting stir" menyelamatkan diri menjadi karyawan di perusahaan swasta selama 21 tahun.Â
Sesuai harapan Papa semasa hidupnya, beberapa bulan kemudian setelah Papa wafat pada 26 April 1997, saya melangsungkan pernikahan dengan istriku Amalia.
 Sesudah kehilangan Papa, saya begitu menyayangi Mama. Tak terbayangkan akan ditinggal kedua orangtua. Mama adalah penyemangat dan sumber motivasiku dalam bekerja. Jika ada masalah berat di kantor, saya selalu menelpon Mama untuk minta doa restunya. Sungguh kubersaksi, Doa Ibu sungguh makbul. Semua masalah tertangani dengan baik. Terimakasih Mama.Â
Masa paling bahagia dalam hidupku adalah ketika untuk sementara Mama tinggal bersama saya dan istriku di rumahku di Pulo Asem. Setiap hari bisa bertemu, ngobrol dan makan bersama Mama di rumah adalah "anugerah".Â
Pada saat yang sama, kakak pertamaku Kak Hj. Ritha Cynthiawati (1959-2017) mendapat ujian berat berupa penyakit kanker. Kak Ritha yang energik dan sholehah adalah "pemimpin" di keluarga kami sepeninggalan Papa. Walau jarak usia kami cukup jauh (9 tahun), hubungan emosional antara kakak pertama dan adik bungsu (anak ke-4) cukup dekat ketika dewasa. Kami sering berdiskusi tentang berbagai hal, termasuk topik agama Islam. Bagiku Kak Ritha adalah teman berdebat yang asyik. Ia tidak sungkan-sungkan menegurku, akupun pernah mengingatkan Kak Ritha.Â
10 Januari 2017 (9 hari setelah HUT-nya ke 58) setelah berjuang dengan sabar menghadapi penyakit kankernya, Kak Ritha akhirnya wafat di ICU RSCM. Walaupun kami, adik-adiknya sudah memperkirakan "worst case scenario" tetap saja berita duka cita itu sulit diterima. Alfatihah untuk Kak Ritha.Â
"Tragedi sesungguhnya" terjadi pada keesokan harinya, 11 Februari 2017 (12 hari sebelum HUT Mama ke-78 pada 23 Februari)... Saat itu, hanya saya dan istriku, Lia yang ada di sisi Mama pada saat menghembuskan nafas terakhir dengan tenang.. dalam keadaan duduk santai... momen traumatis tak terlupakan : Â kita bertiga lagi duduk pagi di teras rumah Kak Teddy di Cipete, satu hari sesudah wafatnya Kak Ritha.Â
Pada sore harinya kita, ke 3 anaknya, memberanikan diri untuk memberitahu Mama yang lagi sakit tentang wafatnya Kak Ritha di ICU RSCM. Ternyata Mama dan Kak Ritha bagai "soul mate"... Mama begitu kehilangan Kak Ritha... sehingga menyusulnya segera.  Bisa bayangkan pada malamnya kita baru adain Tahlilan hari pertama Kak Ritha (yang dimakamkan siang harinya di TPU Jeruk Purut) dan siangnya harus memakamkan  Mama di pemakaman keluarga di Cibuluh, Bogor di samping Makam Papa. That was the worst days of my life...Â
Sejujurnya peristiwa itu bagai "Kiamat Kecil" yang menghancurkan semangat hidupku... Perlu waktu yang panjang untuk pemulihan diriku dan hidup "normal" kembali...Â
Yang paling menyedihkan bagiku adalah saat Hari Raya, dimana dulu kami anak-anak dengan hormat SUNGKEM pada Papa dan Mams untuk mohon maaf dan mohon doa restu. Kini HILANG sudah kesempatan kami untuk membalas segala kebaikan Papa dan Mama... pupus sudah kesempatan menjadi "Anak Berbakti". Yang kini kami hanya dapat lakukan adalah "melepas rindu" dengan berziarah ke Makam Papa dan Mama, senantiasa mendoakannya dalam shalat dan malam Jumatan serta berusaha meneladani amal kebaikannya, seperti menjaga shalat dan menyambung tali silaturahmi. Alfatihah untuk Papa dan Mama.Â
Allah SWT sayang pada Papa dan Mama... keduanya berpulang ke rahmatullah sesuai dengan harapan mereka : wafat dengan tenang di RUMAH di samping keluarganya. Alhamdulilah, ketika Papa wafat, saya dan Mama ada disampingnya di tempat tidur. Ketika Mama wafat dalam keadaan duduk di teras, saya dan istri ada di sampingnya. Semoga Papa dan Mama husnul khotimah dan dipersatukan kembali di Surga. Aamiin ya rabbal alamiin.
 Saya yang menjadi YATIM PIATU, sangat menyesal kurang meluangkan waktu untuk Mama semasa hidupnya.  Lebih mementingkan urusan pekerjaan di kantor yang tidak ada habisnya, bahkan kadang-kadang pada hari Sabtu dan Minggu.Â
PESANKU pada siapapun, keluarga dan kawan, yang BERUNTUNG masih punya orangtua yang masih hidup : sayangilah dan bahagiakan mereka selagi masih ada. JANGAN tunda jika ingin menyenangkannya, walau sekedar menelponnya, apalagi mengunjunginya. Jangan sampai terlambat... menyesal nanti tiada gunanya.Â
"Ada 2 hal yang Tak dapat Ditunda dalam hidup : Berbuat Baik dan Berbakti pada Orangtua" (Master Cheng Yen)
 *Pandji Kiansantang, Jum'at, 1 Dzulqa'dah 1442 H (11 Juni 2021)Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H