Sesuai harapan Papa semasa hidupnya, beberapa bulan kemudian setelah Papa wafat pada 26 April 1997, saya melangsungkan pernikahan dengan istriku Amalia.
 Sesudah kehilangan Papa, saya begitu menyayangi Mama. Tak terbayangkan akan ditinggal kedua orangtua. Mama adalah penyemangat dan sumber motivasiku dalam bekerja. Jika ada masalah berat di kantor, saya selalu menelpon Mama untuk minta doa restunya. Sungguh kubersaksi, Doa Ibu sungguh makbul. Semua masalah tertangani dengan baik. Terimakasih Mama.Â
Masa paling bahagia dalam hidupku adalah ketika untuk sementara Mama tinggal bersama saya dan istriku di rumahku di Pulo Asem. Setiap hari bisa bertemu, ngobrol dan makan bersama Mama di rumah adalah "anugerah".Â
Pada saat yang sama, kakak pertamaku Kak Hj. Ritha Cynthiawati (1959-2017) mendapat ujian berat berupa penyakit kanker. Kak Ritha yang energik dan sholehah adalah "pemimpin" di keluarga kami sepeninggalan Papa. Walau jarak usia kami cukup jauh (9 tahun), hubungan emosional antara kakak pertama dan adik bungsu (anak ke-4) cukup dekat ketika dewasa. Kami sering berdiskusi tentang berbagai hal, termasuk topik agama Islam. Bagiku Kak Ritha adalah teman berdebat yang asyik. Ia tidak sungkan-sungkan menegurku, akupun pernah mengingatkan Kak Ritha.Â
10 Januari 2017 (9 hari setelah HUT-nya ke 58) setelah berjuang dengan sabar menghadapi penyakit kankernya, Kak Ritha akhirnya wafat di ICU RSCM. Walaupun kami, adik-adiknya sudah memperkirakan "worst case scenario" tetap saja berita duka cita itu sulit diterima. Alfatihah untuk Kak Ritha.Â
"Tragedi sesungguhnya" terjadi pada keesokan harinya, 11 Februari 2017 (12 hari sebelum HUT Mama ke-78 pada 23 Februari)... Saat itu, hanya saya dan istriku, Lia yang ada di sisi Mama pada saat menghembuskan nafas terakhir dengan tenang.. dalam keadaan duduk santai... momen traumatis tak terlupakan : Â kita bertiga lagi duduk pagi di teras rumah Kak Teddy di Cipete, satu hari sesudah wafatnya Kak Ritha.Â
Pada sore harinya kita, ke 3 anaknya, memberanikan diri untuk memberitahu Mama yang lagi sakit tentang wafatnya Kak Ritha di ICU RSCM. Ternyata Mama dan Kak Ritha bagai "soul mate"... Mama begitu kehilangan Kak Ritha... sehingga menyusulnya segera.  Bisa bayangkan pada malamnya kita baru adain Tahlilan hari pertama Kak Ritha (yang dimakamkan siang harinya di TPU Jeruk Purut) dan siangnya harus memakamkan  Mama di pemakaman keluarga di Cibuluh, Bogor di samping Makam Papa. That was the worst days of my life...Â
Sejujurnya peristiwa itu bagai "Kiamat Kecil" yang menghancurkan semangat hidupku... Perlu waktu yang panjang untuk pemulihan diriku dan hidup "normal" kembali...Â
Yang paling menyedihkan bagiku adalah saat Hari Raya, dimana dulu kami anak-anak dengan hormat SUNGKEM pada Papa dan Mams untuk mohon maaf dan mohon doa restu. Kini HILANG sudah kesempatan kami untuk membalas segala kebaikan Papa dan Mama... pupus sudah kesempatan menjadi "Anak Berbakti". Yang kini kami hanya dapat lakukan adalah "melepas rindu" dengan berziarah ke Makam Papa dan Mama, senantiasa mendoakannya dalam shalat dan malam Jumatan serta berusaha meneladani amal kebaikannya, seperti menjaga shalat dan menyambung tali silaturahmi. Alfatihah untuk Papa dan Mama.Â
Allah SWT sayang pada Papa dan Mama... keduanya berpulang ke rahmatullah sesuai dengan harapan mereka : wafat dengan tenang di RUMAH di samping keluarganya. Alhamdulilah, ketika Papa wafat, saya dan Mama ada disampingnya di tempat tidur. Ketika Mama wafat dalam keadaan duduk di teras, saya dan istri ada di sampingnya. Semoga Papa dan Mama husnul khotimah dan dipersatukan kembali di Surga. Aamiin ya rabbal alamiin.
 Saya yang menjadi YATIM PIATU, sangat menyesal kurang meluangkan waktu untuk Mama semasa hidupnya.  Lebih mementingkan urusan pekerjaan di kantor yang tidak ada habisnya, bahkan kadang-kadang pada hari Sabtu dan Minggu.Â