Urgensi Ketegasan Sang Panglima Tertinggi
Presiden Jokowi yang mendapat amanat dari rakyat Indonesia adalah "Panglima Tertinggi " dalam perang melawan pandemi. Di dunia militer dikenal ungkapan "Tidak ada prajurit yang jelek, hanya ada komandan yang jelek. Segala yang dilakukan dan tidak dilakukan prajurit adalah karena komandannya".Â
Ada 2 hal yang diperlukan untuk dapat memimpin rakyat dalam perang melawan pagebluk (wabah) ini.
Pertama, Presiden Jokowi harus menjadi TELADAN dalam memberikan contoh sikap menjalankan protokol kesehatan secara disiplin. Mohon jangan lagi berpidato atau memberikan statemen yang disiarkan TV dengan TANPA memakai masker. Saatnya, satu kata sata perbuatan. Ingat rakyat melihat apa yang dilakukan pemimpinnya, bukan sekedar mendengar "permintaan" Presiden.
Pada saat ini Masker adalah simbol KEWASPADAAN dalam keadaan DARURAT. Ketika masker itu dilepas oleh sang pemimpin negara ketika berpidato, maka dalam "pikiran bawah sadar" masyarakat, yang muncul adalah kesan : keadaan sudah "normal", tidak perlu lagi waspada... santuy aja... suka-suka gue... "Indonesia Terserah".
Kedua, Presiden harus berani MENDISIPLINKAN para menterinya dan pejabat tinggi negara dalam disiplin menjalankan protokol kesehatan. Para Menteri dan Pejabat Tinggi harus memiliki mindset bahwa perilaku mereka akan ditiru oleh masyarakat. Mereka bukan hanya "Boss" tapi "Pemimpin" (Leader) yang menjadi panutan.
Jangan biarkan ada menteri yang "mbalelo" alias mensabot instruksi sang Panglima Tertinggi. Para menteri bagaikan para panglima perang dalam melawan pandemi dan krisis sosial ekonomi yang ditimbulkannya. Perilaku mereka di mata "prajurit" (rakyat) harus "impeccable" (tanpa cela). Yang terlihat sekarang adalah "krisis keteladanan".
Jika tetap tidak bisa disiplin, reshuffle saja mereka. Toh banyak menteri yang seakan "bekerja dengan senyap"... seakan "ada tapi tiada"... Banyak menteri yang namanya tidak dikenal masyarakat, apalagi kinerjanya... ide dan solusi TEROBOSAN yang sangat dibutuhkan pada masa krisis sangat minim.Â
"Sense of crisis"-nya diragukan, rata-rata masih bekerja di tingkat "business as usual"... Kontribusinya dipertanyakan, seolah-olah mereka "ngumpet" dalam "zona nyaman" di tengah hiruk pikuk pandemi sebagai "Masalah Bangsa Nomor Satu". Presiden seolah-olah ditinggal "sendiri" di garis depan pertempuran. Hanya sejumlah kecil menteri yang tetap "mendampingi di frontline".
Mungkin ada yang menggugat, kok cuma gara-gara tidak disiplin pakai masker dan jaga jarak, menteri sampai dipecat? Itu kan hal kecil, bukan kejahatan seperti korupsi? Itulah cara pikir salah yang merusak negeri kita.Â
Mental feodal: Selalu "memanjakan" priyayi dan menolerir kesalahan "kecil" mereka, tapi "tidak ada ampun" terhadap "wong cilik" yang melanggar. Ingat kapal besar akan karam tenggelam karena kebocoran-kebocoran kecil. Apakah kita akan membiarkan "kapal NKRI" tenggelam?Â