Mohon tunggu...
P Joko Purwanto
P Joko Purwanto Mohon Tunggu... Guru - Teacher

Becoming added value for individual and institute, deeply having awareness of personal branding, being healthy in learning and growth, internal, external perspective in order to reach my vision in life, and increasingly becoming enthusiastic (passion), empathy, creative, innovative, and highly-motivated.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

10 Hal Penting yang Dapat Kita Pelajari dari Pengalaman Hidup Rohani St. Ignatius de Loyola

31 Juli 2024   12:31 Diperbarui: 4 Agustus 2024   22:46 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(St. Ignatius de Loyola/Dok Pri)

Pengalaman rohani St. Ignatius de Loyola memberikan banyak pelajaran berharga yang relevan bagi kehidupan rohani dan pribadi kita. Berikut adalah 10 hal penting yang dapat kita timba dari pengalaman rohani St. Ignatius de Loyola:

1. Discerning God's Will (Membedakan Kehendak Tuhan): 

St. Ignatius menekankan pentingnya discernment atau membedakan kehendak Tuhan dalam kehidupan kita. Melalui latihan rohani (Spiritual Exercises), kita diajak untuk merenungkan dan memahami bagaimana Tuhan memanggil kita dalam kehidupan sehari-hari.

Membedakan kehendak Tuhan merupakan inti dari spiritualitas Ignatian yang dikembangkan oleh St. Ignatius de Loyola. Discernment, atau proses membedakan, adalah upaya untuk memahami kehendak Tuhan melalui refleksi yang mendalam dan doa. Dalam Spiritual Exercises, St. Ignatius mengajak para pengikutnya untuk terlibat dalam serangkaian meditasi dan kontemplasi yang dirancang untuk membawa seseorang lebih dekat kepada Tuhan dan membantu mereka dalam membuat keputusan yang selaras dengan kehendak ilahi. Proses ini melibatkan pengamatan terhadap gerakan batin yang kita alami - perasaan, pikiran, dan dorongan hati - yang dianggap sebagai indikasi dari bimbingan Roh Kudus. St. Ignatius mengajarkan bahwa melalui latihan-latihan rohani ini, seseorang dapat mengembangkan kepekaan rohani yang memungkinkan mereka untuk lebih jelas mendengar dan memahami panggilan Tuhan dalam setiap aspek kehidupan mereka. Discernment bukanlah proses yang instan atau sekali jadi, melainkan suatu perjalanan terus-menerus untuk mencari dan menemukan kehendak Tuhan dalam setiap pilihan dan tindakan kita sehari-hari (Ganss, 1992).

Lebih dalam lagi, filosofi discernment dalam ajaran St. Ignatius menekankan pentingnya kebebasan batin dan ketidakmelekatan. Untuk benar-benar membedakan kehendak Tuhan, seseorang harus belajar melepaskan diri dari keinginan pribadi dan keterikatan duniawi yang dapat mengaburkan penglihatan rohani mereka. St. Ignatius percaya bahwa dengan membersihkan hati dari keinginan yang tidak teratur dan keterikatan yang berlebihan, seseorang dapat mencapai kebebasan batin yang sejati, yang merupakan kondisi yang diperlukan untuk mendengar suara Tuhan dengan jernih. Ini sejalan dengan konsep Ignatian tentang indifference, di mana seseorang tidak melekat pada hasil tertentu melainkan terbuka sepenuhnya pada kehendak Tuhan. Dengan demikian, discernment adalah suatu proses transformasi batin yang mendalam, di mana individu belajar untuk mengenali dan mengikuti suara Tuhan, dan bukan dorongan ego atau keinginan duniawi (Tetlow, 2001). Proses ini mengajarkan kita untuk hidup dalam kerendahan hati dan penyerahan diri yang total kepada Tuhan, yang merupakan fondasi dari kehidupan rohani yang autentik dan bermakna.

2. Finding God in All Things (Menemukan Tuhan dalam Segala Hal):

Pengalaman rohani St. Ignatius mengajarkan kita untuk melihat Tuhan dalam semua aspek kehidupan, baik dalam hal-hal besar maupun kecil. Ini mengajak kita untuk memiliki mata rohani yang terbuka terhadap kehadiran Tuhan di sekitar kita.

St. Ignatius de Loyola mengajarkan konsep "Finding God in All Things" sebagai salah satu inti dari spiritualitas Ignatian. Ini berarti melihat dan mengalami kehadiran Tuhan dalam setiap aspek kehidupan kita, baik dalam momen-momen besar maupun dalam detail kecil sehari-hari. Filosofi ini mengajak kita untuk mengembangkan "mata rohani" yang peka terhadap tanda-tanda kehadiran ilahi di sekitar kita. Bagi St. Ignatius, dunia ini tidak dibagi menjadi yang sakral dan yang sekuler, melainkan segala sesuatu dapat menjadi sarana untuk mengalami Tuhan. Dalam praktiknya, ini berarti setiap aktivitas, interaksi, dan pengalaman—baik itu pekerjaan, hubungan, atau bahkan tantangan hidup—dapat menjadi kesempatan untuk lebih dekat dengan Tuhan. Dengan demikian, kehidupan menjadi sebuah doa yang berkelanjutan, di mana setiap tindakan, betapapun duniawinya, dilakukan dengan kesadaran akan kehadiran dan bimbingan Tuhan (Endean, 2001).

Lebih jauh lagi, pandangan ini mendorong kita untuk mengadopsi sikap kontemplatif dalam tindakan kita sehari-hari. St. Ignatius percaya bahwa dengan merenungkan kehadiran Tuhan dalam segala hal, kita dapat mengalami transformasi spiritual yang mendalam. Proses ini melibatkan melihat melampaui penampilan permukaan dan menyadari realitas ilahi yang mendasari segala sesuatu. Dalam konteks ini, penderitaan dan sukacita, keberhasilan dan kegagalan, semuanya memiliki potensi untuk mengungkapkan kebijaksanaan dan kasih Tuhan. St. Ignatius mengajak kita untuk menumbuhkan rasa syukur dan keajaiban atas karya Tuhan dalam hidup kita, serta mengembangkan hati yang peka terhadap kehendak-Nya dalam setiap situasi. Ini juga mencakup pengakuan bahwa Tuhan aktif bekerja dalam dunia dan melalui setiap orang yang kita temui. Dengan kata lain, spiritualitas Ignatian mendorong kita untuk hidup dengan kesadaran penuh akan kehadiran Tuhan, sehingga setiap momen menjadi kesempatan untuk pertumbuhan rohani dan perjumpaan dengan Yang Ilahi (Barry, 2008).

3. Examen (Pemeriksaan Batin):

St. Ignatius mengembangkan metode pemeriksaan batin yang mengajak kita untuk secara rutin merenungkan hari-hari kita, mengakui dosa, bersyukur atas berkat, dan mencari cara untuk lebih baik di hari berikutnya. Ini membantu kita untuk tetap dekat dengan Tuhan dan menjaga integritas rohani kita.

Examen, atau pemeriksaan batin, adalah praktik rohani yang dikembangkan oleh St. Ignatius de Loyola sebagai bagian dari Latihan Rohani (Spiritual Exercises). Praktik ini bertujuan untuk membantu individu dalam melakukan refleksi harian yang mendalam terhadap pengalaman mereka, dengan tujuan untuk mengenali kehadiran dan karya Tuhan dalam hidup mereka. Examen terdiri dari lima langkah utama: syukur, permintaan rahmat, tinjauan hari, pengakuan dosa, dan resolusi. Langkah pertama, syukur, melibatkan merenungkan dan mengungkapkan rasa terima kasih atas berkat-berkat yang telah diterima sepanjang hari. Langkah kedua, permintaan rahmat, adalah memohon bantuan Roh Kudus untuk melakukan refleksi yang jujur dan mendalam. Langkah ketiga, tinjauan hari, mengajak individu untuk melihat kembali peristiwa-peristiwa hari itu, mencari tanda-tanda kehadiran Tuhan dan merenungkan bagaimana mereka telah merespons panggilan-Nya. Langkah keempat, pengakuan dosa, melibatkan pengakuan terhadap kesalahan dan dosa yang telah dilakukan, serta memohon ampun. Langkah terakhir, resolusi, adalah menetapkan niat atau resolusi untuk hari berikutnya, berkomitmen untuk lebih setia dalam mengikuti kehendak Tuhan (Martin, 2010).

Secara filosofis, Examen dapat dipandang sebagai alat untuk mencapai kesadaran diri yang lebih besar dan kedekatan dengan Tuhan. Praktik ini mendorong individu untuk hidup dengan kesadaran yang lebih besar akan tindakan dan pilihan mereka, serta dampaknya terhadap hubungan mereka dengan Tuhan dan sesama. Melalui Examen, seseorang diajak untuk terus-menerus memperbaiki diri dan berusaha untuk hidup lebih selaras dengan nilai-nilai Injil. St. Ignatius percaya bahwa dengan melakukan refleksi harian ini, kita dapat menjaga integritas rohani kita dan menghindari pola-pola perilaku yang merugikan. Praktik Examen juga menekankan pentingnya kesederhanaan dan ketulusan dalam hubungan kita dengan Tuhan, karena melalui pengakuan dosa dan rasa syukur, kita diingatkan akan kerentanan kita dan kebutuhan akan rahmat Tuhan. Dengan demikian, Examen bukan hanya sebuah metode refleksi, tetapi juga sarana untuk transformasi rohani yang mendalam, membantu individu untuk tumbuh dalam kebijaksanaan dan kasih (Ganss, 1992).

4. Magis (Kebesaran):

Prinsip Magis berarti "lebih besar" atau "lebih baik". St. Ignatius mendorong kita untuk selalu mencari cara untuk melayani Tuhan dan sesama dengan lebih baik, selalu berusaha memberikan yang terbaik dalam segala hal yang kita lakukan.

Prinsip Magis dalam spiritualitas Ignatian berarti "lebih besar" atau "lebih baik" dan mendorong umat beriman untuk selalu mencari cara untuk melayani Tuhan dan sesama dengan sebaik-baiknya. Prinsip ini berasal dari moto Ignatian "Ad Majorem Dei Gloriam" yang berarti "Untuk Kemuliaan Tuhan yang Lebih Besar." Magis bukan tentang melakukan lebih banyak aktivitas atau mencapai lebih banyak prestasi dalam pengertian duniawi, melainkan tentang kualitas dan intensitas dari dedikasi dan pelayanan kita. St. Ignatius mendorong kita untuk selalu bertanya, "Bagaimana saya bisa lebih baik dalam melayani Tuhan?" Ini mengajak kita untuk selalu mencari kesempatan untuk meningkatkan diri dalam setiap aspek kehidupan kita, baik itu dalam pekerjaan, hubungan, maupun dalam pelayanan kepada orang lain. Dengan demikian, Magis mengarahkan kita untuk terus-menerus mengevaluasi dan meningkatkan cara kita berkontribusi pada kesejahteraan dan kebahagiaan sesama, selalu dengan tujuan memuliakan Tuhan (Traub, 2008).

Filosofi Magis mengandung elemen keunggulan dan komitmen penuh terhadap panggilan hidup kita. Ini berarti menolak mediokritas dan puas dengan status quo. Dalam konteks ini, Magis memerlukan discernment yang mendalam untuk memahami di mana dan bagaimana kita dapat memberikan dampak terbesar dalam pelayanan kita. Bagi St. Ignatius, ini juga berarti berani keluar dari zona nyaman dan menghadapi tantangan dengan penuh keyakinan bahwa dengan rahmat Tuhan, kita dapat melakukan hal-hal yang lebih besar untuk kemuliaan-Nya. Magis mengajak kita untuk menjalani kehidupan yang penuh semangat dan tujuan, di mana setiap tindakan dan keputusan dipandu oleh keinginan untuk memberikan yang terbaik bagi Tuhan dan sesama. Ini juga mencerminkan sikap kebebasan batin, di mana kita tidak terikat oleh ambisi pribadi atau keinginan material, tetapi terbuka untuk dipimpin oleh Roh Kudus ke arah pelayanan yang lebih besar dan lebih bermakna (Lowney, 2003).

5. Contemplative in Action (Kontemplatif dalam Aksi):

Pengalaman rohani St. Ignatius mengajarkan kita untuk menjadi orang yang kontemplatif dalam tindakan kita, menggabungkan kehidupan doa dan tindakan pelayanan. Ini berarti kita dipanggil untuk berdoa secara mendalam namun juga aktif dalam pelayanan kepada sesama.

Konsep "Contemplative in Action" dalam spiritualitas Ignatian menggabungkan kehidupan doa yang mendalam dengan tindakan pelayanan yang nyata. St. Ignatius de Loyola mengajarkan bahwa doa dan tindakan bukanlah dua aspek kehidupan yang terpisah, tetapi saling melengkapi dan memperkaya. Menjadi kontemplatif dalam aksi berarti hidup dalam keseimbangan antara meditasi mendalam dan keterlibatan aktif dalam dunia. Dalam pengertian Ignatian, seseorang yang kontemplatif dalam aksi tidak hanya menarik diri dalam doa tetapi juga membawa buah dari doa tersebut ke dalam tindakan sehari-hari. Doa memberikan kita panduan dan kekuatan untuk bertindak dengan kebijaksanaan dan kasih, sementara tindakan kita dalam pelayanan memberikan konteks dan urgensi bagi doa kita, menciptakan lingkaran yang terus menerus memperkaya satu sama lain (Endean, 2001).

Filosofi ini menekankan bahwa kehidupan rohani yang sejati harus melibatkan komitmen penuh untuk bekerja demi kebaikan sesama. St. Ignatius mengajarkan bahwa kita dipanggil untuk menemukan Tuhan tidak hanya dalam momen-momen keheningan tetapi juga di tengah-tengah aktivitas sehari-hari. Dengan mengintegrasikan kontemplasi dan aksi, kita belajar untuk melihat setiap tugas, interaksi, dan keputusan sebagai kesempatan untuk melayani Tuhan dan orang lain. Prinsip ini juga mendorong kita untuk memiliki kepekaan rohani yang tajam, memungkinkan kita untuk merespon secara bijaksana terhadap kebutuhan dunia sambil tetap berakar dalam kehadiran ilahi. Dengan demikian, menjadi kontemplatif dalam aksi berarti menjalani kehidupan yang penuh makna, di mana doa dan tindakan menjadi sarana untuk mencapai tujuan hidup yang lebih tinggi dan lebih mulia, yaitu memuliakan Tuhan dan membawa kasih-Nya ke dunia (Barry, 2008).

6. Indifference (Ketidakmelekatan): 

St. Ignatius mengajarkan pentingnya sikap ketidakmelekatan terhadap hal-hal duniawi, yang memungkinkan kita untuk bebas dalam mengikuti kehendak Tuhan tanpa terganggu oleh keinginan pribadi atau material.

St. Ignatius de Loyola mengajarkan konsep indifference atau ketidakmelekatan sebagai landasan penting dalam spiritualitas Ignatian. Ketidakmelekatan ini bukan berarti tidak peduli atau apatis terhadap hal-hal duniawi, melainkan suatu sikap kebebasan batin di mana seseorang tidak terikat oleh keinginan pribadi, ambisi, atau keterikatan material. Menurut St. Ignatius, sikap ini memungkinkan seseorang untuk lebih peka dan responsif terhadap kehendak Tuhan. Dalam Latihan Rohani (Spiritual Exercises), Ignatius menekankan bahwa tujuan hidup manusia adalah untuk memuji, menghormati, dan melayani Tuhan, dan segala sesuatu di dunia ini seharusnya digunakan sejauh membantu mencapai tujuan tersebut. Dengan demikian, ketidakmelekatan memungkinkan individu untuk menggunakan atau melepaskan hal-hal duniawi sesuai dengan apakah mereka membantu atau menghalangi pencapaian tujuan ilahi ini (Ganss, 1992).

Filosofi ketidakmelekatan dalam ajaran St. Ignatius membawa implikasi mendalam bagi kehidupan spiritual dan moral seseorang. Sikap ini mendorong kita untuk menempatkan Tuhan di pusat segala keputusan dan tindakan kita, membebaskan kita dari ketergantungan pada hasil, status, atau kekayaan material. Ketidakmelekatan ini juga merupakan latihan dalam kerendahan hati dan penyerahan diri, di mana kita belajar untuk mengakui keterbatasan manusiawi kita dan kebutuhan akan bimbingan ilahi. Dengan melepaskan keinginan yang tidak teratur dan fokus pada kehendak Tuhan, kita dapat mencapai kedamaian batin dan kebebasan yang sejati. St. Ignatius percaya bahwa hanya dengan sikap ini kita dapat menjalani hidup yang penuh makna dan berbuah, di mana setiap keputusan dan tindakan didasarkan pada cinta dan pelayanan kepada Tuhan dan sesama, bukan pada kepuasan diri atau keuntungan pribadi (Fleming, 1996).

7. Service to Others (Pelayanan kepada Sesama):

Pelayanan kepada sesama adalah inti dari spiritualitas Ignatian. St. Ignatius mendorong kita untuk melayani orang lain dengan penuh kasih dan dedikasi, melihat Kristus dalam diri setiap orang yang kita layani.

Pelayanan kepada sesama merupakan inti dari spiritualitas Ignatian yang diajarkan oleh St. Ignatius de Loyola. Ia menekankan bahwa dalam setiap tindakan pelayanan, kita dipanggil untuk melihat Kristus dalam diri orang-orang yang kita layani. Prinsip ini mengajarkan bahwa setiap individu adalah cerminan dari Tuhan, dan dengan melayani mereka, kita sebenarnya melayani Tuhan sendiri. St. Ignatius mendorong umat beriman untuk melaksanakan karya kasih dengan penuh dedikasi dan keikhlasan, mengesampingkan kepentingan pribadi demi kesejahteraan orang lain. Melalui tindakan pelayanan yang tulus, kita tidak hanya membantu memenuhi kebutuhan fisik dan material orang lain, tetapi juga mendukung perkembangan rohani mereka, serta memperkuat ikatan komunitas dan solidaritas (Lowney, 2003).

Secara filosofis, pelayanan kepada sesama dalam pandangan Ignatian melibatkan integrasi antara iman dan aksi. Pelayanan bukanlah sekadar aktivitas sosial atau amal, tetapi merupakan ekspresi dari iman yang hidup dan berakar dalam cinta kepada Tuhan. St. Ignatius mengajarkan bahwa pelayanan yang sejati harus dilandasi oleh semangat kasih yang tanpa pamrih dan keinginan untuk membawa kebaikan ilahi ke dunia. Dalam konteks ini, pelayanan menjadi sarana untuk mewujudkan kerajaan Allah di bumi, di mana setiap tindakan kasih dan kebaikan mencerminkan nilai-nilai Injil. Dengan mengadopsi sikap pelayanan ini, kita juga menjalani transformasi batin, di mana kita belajar untuk melepaskan egoisme dan keterikatan material, dan sebaliknya, mengembangkan hati yang peka terhadap penderitaan dan kebutuhan sesama. Dengan demikian, pelayanan kepada sesama tidak hanya berdampak positif bagi orang yang dilayani, tetapi juga memperkaya dan memperdalam kehidupan rohani pelayan itu sendiri, membawa mereka lebih dekat kepada Tuhan dan misi-Nya (Traub, 2008).

8. Living for the Greater Glory of God (Hidup untuk Kemuliaan Tuhan yang Lebih Besar):

Moto St. Ignatius, "Ad Majorem Dei Gloriam" (Untuk Kemuliaan Tuhan yang Lebih Besar), mengingatkan kita bahwa segala sesuatu yang kita lakukan harus ditujukan untuk memuliakan Tuhan.

Moto "Ad Majorem Dei Gloriam" (AMDG), yang berarti "Untuk Kemuliaan Tuhan yang Lebih Besar," merupakan prinsip dasar yang mendasari seluruh spiritualitas Ignatian yang diajarkan oleh St. Ignatius de Loyola. Prinsip ini mengingatkan kita bahwa setiap aspek kehidupan kita—baik tindakan, pikiran, maupun keputusan—harus diarahkan untuk memuliakan Tuhan. St. Ignatius menekankan bahwa tujuan utama dari eksistensi manusia adalah untuk memuji, menghormati, dan melayani Tuhan, dan segala sesuatu yang kita lakukan harus berkontribusi pada tujuan ini. Dalam praktiknya, ini berarti mengintegrasikan nilai-nilai Injil ke dalam setiap aktivitas kita, baik dalam pekerjaan, keluarga, maupun pelayanan kepada masyarakat. Dengan mengarahkan seluruh hidup kita kepada Tuhan, kita menjadikan hidup kita sebagai persembahan yang hidup, dan setiap tindakan kita menjadi cerminan kasih dan kebesaran Tuhan (Ganss, 1992).

Secara filosofis, hidup untuk kemuliaan Tuhan yang lebih besar menuntut kita untuk melihat melampaui kepentingan pribadi dan ambisi duniawi, dan berfokus pada tujuan ilahi yang lebih tinggi. Ini berarti menilai setiap keputusan dan tindakan berdasarkan apakah mereka memuliakan Tuhan atau tidak, dan bersedia mengorbankan kenyamanan dan keinginan pribadi demi panggilan yang lebih mulia. Prinsip AMDG mengajak kita untuk hidup dengan integritas dan kesadaran rohani yang mendalam, selalu mencari cara untuk meningkatkan kontribusi kita pada kebaikan universal dan kehendak Tuhan. Ini juga mencakup komitmen untuk terus berkembang dalam iman dan kebijaksanaan, agar kita dapat menjadi alat yang lebih efektif dalam tangan Tuhan. Dengan demikian, hidup untuk kemuliaan Tuhan yang lebih besar bukan hanya tentang melakukan tindakan yang besar atau heroik, tetapi tentang menghidupi setiap momen dengan penuh kesadaran dan dedikasi, sehingga seluruh eksistensi kita menjadi kesaksian hidup dari kasih dan kemuliaan Tuhan (Endean, 2001).

9. Community and Companionship (Komunitas dan Persahabatan):

Pengalaman rohani St. Ignatius menunjukkan pentingnya komunitas dan persahabatan dalam perjalanan rohani kita. Ia menekankan pentingnya saling mendukung dan menguatkan dalam komunitas iman.

St. Ignatius Loyola, pendiri Serikat Yesus, menekankan bahwa komunitas dan persahabatan merupakan elemen esensial dalam perjalanan rohani seseorang. Dalam Autobiography of St. Ignatius, Ignatius berbicara tentang pentingnya dukungan timbal balik dalam komunitas iman, yang membantu individu untuk bertumbuh dalam kedewasaan rohani dan kebijaksanaan (Ignatius of Loyola, 1991). Komunitas tidak hanya berfungsi sebagai tempat untuk berbagi pengalaman spiritual, tetapi juga sebagai ruang untuk menerima nasihat, kritik yang membangun, dan dorongan. Dalam konteks ini, persahabatan di dalam komunitas iman menjadi sarana utama untuk mengalami kasih Allah yang nyata dan menumbuhkan rasa saling percaya dan empati di antara anggotanya. Ignatius menegaskan bahwa melalui keterlibatan aktif dalam komunitas, individu dapat lebih memahami kehendak Tuhan dalam hidup mereka dan memperoleh kekuatan untuk menghadapi berbagai tantangan rohani.

Selain itu, St. Ignatius melihat komunitas dan persahabatan sebagai refleksi dari Trinitas, di mana hubungan saling memberi dan menerima terjadi secara sempurna (O'Malley, 1993). Dalam Spiritual Exercises, Ignatius menekankan pentingnya persatuan dan kerjasama dalam komunitas sebagai cara untuk mengikuti teladan Yesus Kristus, yang selalu hidup dalam komunitas dengan para rasul-Nya. Komunitas yang harmonis dianggap sebagai cerminan dari kasih dan persekutuan ilahi, yang memberikan dukungan dan kenyamanan bagi setiap anggotanya. Filosofi Ignatian ini menunjukkan bahwa persahabatan yang sejati dalam komunitas iman tidak hanya memperkaya pengalaman rohani individu, tetapi juga memperkuat ikatan sosial dan moral dalam masyarakat, menciptakan lingkungan yang mendukung untuk perkembangan spiritual dan moral yang holistik (Lowney, 2003).

10. Humility (Kerendahan Hati):

St. Ignatius mengajarkan nilai kerendahan hati, mengakui kelemahan dan ketergantungan kita pada rahmat Tuhan. Ini membantu kita untuk tetap rendah hati dan terbuka terhadap bimbingan Tuhan dalam hidup kita.

St. Ignatius Loyola mengajarkan bahwa kerendahan hati adalah dasar dari kehidupan rohani yang sejati. Dalam Spiritual Exercises, Ignatius menekankan pentingnya mengenali kelemahan dan keterbatasan diri, yang memungkinkan seseorang untuk sepenuhnya bergantung pada rahmat Tuhan (Ignatius of Loyola, 1991). Kerendahan hati, menurut Ignatius, bukanlah sekadar kesadaran akan kekurangan diri, tetapi juga penerimaan penuh akan kasih dan bimbingan Tuhan. Sikap ini mengharuskan individu untuk melepaskan ego dan ambisi pribadi, serta membuka diri terhadap kehendak ilahi. Ignatius percaya bahwa melalui kerendahan hati, seseorang dapat mengalami transformasi batin yang mendalam, yang memampukan mereka untuk menjalani hidup yang lebih bermakna dan penuh dengan kasih Tuhan.

Filosofi kerendahan hati Ignatius juga berakar pada pengakuan bahwa segala hal baik berasal dari Tuhan dan bukan dari diri sendiri. Dalam konteks ini, kerendahan hati menjadi jalan untuk mencapai kebijaksanaan dan kedewasaan rohani. Ignatius mengajarkan bahwa dengan mengakui ketergantungan kita pada Tuhan, kita dapat lebih peka terhadap bimbingan-Nya dalam setiap aspek kehidupan kita (O'Brien, 1992). Kerendahan hati juga memampukan kita untuk melihat nilai dan martabat orang lain, sehingga mendorong sikap hormat dan pelayanan tanpa pamrih. Dalam pengajaran Ignatian, kerendahan hati adalah fondasi untuk hidup dalam keadilan dan kasih, menciptakan komunitas yang saling mendukung dan memperkaya secara rohani. Sikap ini tidak hanya menguatkan hubungan dengan Tuhan, tetapi juga memperdalam relasi antar sesama, mencerminkan cinta kasih ilahi yang universal dan inklusif.

Melalui 10 hal ini, kita dapat belajar untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan dan menjalani kehidupan yang lebih bermakna dan penuh berkat.

SELAMAT MERAYAKAN PESTA NAMA PELINDUNG PAROKI ST. IGNATIUS MAGELANG (31 JULI 2024).

Referensi:

Barry, W. A. (2008). Finding God in All Things: A Companion to the Spiritual Exercises of St. Ignatius. Notre Dame: Ave Maria Press.

Endean, P. (2001). Karl Rahner and Ignatian Spirituality. Oxford: Oxford University Press.

Fleming, D. L. (1996). Draw Me into Your Friendship: The Spiritual Exercises: A Literal Translation and a Contemporary Reading. St. Louis: Institute of Jesuit Sources.

Ganss, G. E. (1992). The Spiritual Exercises of Saint Ignatius: A Translation and Commentary. Chicago: Loyola Press.

Ignatius of Loyola. (1991). The Autobiography of St. Ignatius. Translated by J. F. X. O’Conor. Loyola Press.

Lowney, C. (2003). Heroic Leadership: Best Practices from a 450-Year-Old Company That Changed the World. Chicago: Loyola Press.

Martin, J. (2010). The Jesuit Guide to (Almost) Everything: A Spirituality for Real Life. New York: HarperOne.

O'Brien, K. (1992). Ignatius of Loyola: Founder of the Jesuits. Loyola Press.

O'Malley, J. W. (1993). The First Jesuits. Harvard University Press.

Tetlow, J. A. (2001). Choosing Christ in the World: Directing the Spiritual Exercises of St. Ignatius Loyola According to Annotations Eighteen and Nineteen. Saint Louis: Institute of Jesuit Sources.

Traub, G. W. (2008). A Jesuit Education Reader. Chicago: Loyola Press.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun