Mohon tunggu...
P Joko Purwanto
P Joko Purwanto Mohon Tunggu... Guru - Teacher

Becoming added value for individual and institute, deeply having awareness of personal branding, being healthy in learning and growth, internal, external perspective in order to reach my vision in life, and increasingly becoming enthusiastic (passion), empathy, creative, innovative, and highly-motivated.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

10 Hal Penting yang Dapat Kita Pelajari dari Pengalaman Hidup Rohani St. Ignatius de Loyola

31 Juli 2024   12:31 Diperbarui: 31 Juli 2024   14:31 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Prinsip Magis dalam spiritualitas Ignatian berarti "lebih besar" atau "lebih baik" dan mendorong umat beriman untuk selalu mencari cara untuk melayani Tuhan dan sesama dengan sebaik-baiknya. Prinsip ini berasal dari moto Ignatian "Ad Majorem Dei Gloriam" yang berarti "Untuk Kemuliaan Tuhan yang Lebih Besar." Magis bukan tentang melakukan lebih banyak aktivitas atau mencapai lebih banyak prestasi dalam pengertian duniawi, melainkan tentang kualitas dan intensitas dari dedikasi dan pelayanan kita. St. Ignatius mendorong kita untuk selalu bertanya, "Bagaimana saya bisa lebih baik dalam melayani Tuhan?" Ini mengajak kita untuk selalu mencari kesempatan untuk meningkatkan diri dalam setiap aspek kehidupan kita, baik itu dalam pekerjaan, hubungan, maupun dalam pelayanan kepada orang lain. Dengan demikian, Magis mengarahkan kita untuk terus-menerus mengevaluasi dan meningkatkan cara kita berkontribusi pada kesejahteraan dan kebahagiaan sesama, selalu dengan tujuan memuliakan Tuhan (Traub, 2008).

Filosofi Magis mengandung elemen keunggulan dan komitmen penuh terhadap panggilan hidup kita. Ini berarti menolak mediokritas dan puas dengan status quo. Dalam konteks ini, Magis memerlukan discernment yang mendalam untuk memahami di mana dan bagaimana kita dapat memberikan dampak terbesar dalam pelayanan kita. Bagi St. Ignatius, ini juga berarti berani keluar dari zona nyaman dan menghadapi tantangan dengan penuh keyakinan bahwa dengan rahmat Tuhan, kita dapat melakukan hal-hal yang lebih besar untuk kemuliaan-Nya. Magis mengajak kita untuk menjalani kehidupan yang penuh semangat dan tujuan, di mana setiap tindakan dan keputusan dipandu oleh keinginan untuk memberikan yang terbaik bagi Tuhan dan sesama. Ini juga mencerminkan sikap kebebasan batin, di mana kita tidak terikat oleh ambisi pribadi atau keinginan material, tetapi terbuka untuk dipimpin oleh Roh Kudus ke arah pelayanan yang lebih besar dan lebih bermakna (Lowney, 2003).

5. Contemplative in Action (Kontemplatif dalam Aksi):

Pengalaman rohani St. Ignatius mengajarkan kita untuk menjadi orang yang kontemplatif dalam tindakan kita, menggabungkan kehidupan doa dan tindakan pelayanan. Ini berarti kita dipanggil untuk berdoa secara mendalam namun juga aktif dalam pelayanan kepada sesama.

Konsep "Contemplative in Action" dalam spiritualitas Ignatian menggabungkan kehidupan doa yang mendalam dengan tindakan pelayanan yang nyata. St. Ignatius de Loyola mengajarkan bahwa doa dan tindakan bukanlah dua aspek kehidupan yang terpisah, tetapi saling melengkapi dan memperkaya. Menjadi kontemplatif dalam aksi berarti hidup dalam keseimbangan antara meditasi mendalam dan keterlibatan aktif dalam dunia. Dalam pengertian Ignatian, seseorang yang kontemplatif dalam aksi tidak hanya menarik diri dalam doa tetapi juga membawa buah dari doa tersebut ke dalam tindakan sehari-hari. Doa memberikan kita panduan dan kekuatan untuk bertindak dengan kebijaksanaan dan kasih, sementara tindakan kita dalam pelayanan memberikan konteks dan urgensi bagi doa kita, menciptakan lingkaran yang terus menerus memperkaya satu sama lain (Endean, 2001).

Filosofi ini menekankan bahwa kehidupan rohani yang sejati harus melibatkan komitmen penuh untuk bekerja demi kebaikan sesama. St. Ignatius mengajarkan bahwa kita dipanggil untuk menemukan Tuhan tidak hanya dalam momen-momen keheningan tetapi juga di tengah-tengah aktivitas sehari-hari. Dengan mengintegrasikan kontemplasi dan aksi, kita belajar untuk melihat setiap tugas, interaksi, dan keputusan sebagai kesempatan untuk melayani Tuhan dan orang lain. Prinsip ini juga mendorong kita untuk memiliki kepekaan rohani yang tajam, memungkinkan kita untuk merespon secara bijaksana terhadap kebutuhan dunia sambil tetap berakar dalam kehadiran ilahi. Dengan demikian, menjadi kontemplatif dalam aksi berarti menjalani kehidupan yang penuh makna, di mana doa dan tindakan menjadi sarana untuk mencapai tujuan hidup yang lebih tinggi dan lebih mulia, yaitu memuliakan Tuhan dan membawa kasih-Nya ke dunia (Barry, 2008).

6. Indifference (Ketidakmelekatan): 

St. Ignatius mengajarkan pentingnya sikap ketidakmelekatan terhadap hal-hal duniawi, yang memungkinkan kita untuk bebas dalam mengikuti kehendak Tuhan tanpa terganggu oleh keinginan pribadi atau material.

St. Ignatius de Loyola mengajarkan konsep indifference atau ketidakmelekatan sebagai landasan penting dalam spiritualitas Ignatian. Ketidakmelekatan ini bukan berarti tidak peduli atau apatis terhadap hal-hal duniawi, melainkan suatu sikap kebebasan batin di mana seseorang tidak terikat oleh keinginan pribadi, ambisi, atau keterikatan material. Menurut St. Ignatius, sikap ini memungkinkan seseorang untuk lebih peka dan responsif terhadap kehendak Tuhan. Dalam Latihan Rohani (Spiritual Exercises), Ignatius menekankan bahwa tujuan hidup manusia adalah untuk memuji, menghormati, dan melayani Tuhan, dan segala sesuatu di dunia ini seharusnya digunakan sejauh membantu mencapai tujuan tersebut. Dengan demikian, ketidakmelekatan memungkinkan individu untuk menggunakan atau melepaskan hal-hal duniawi sesuai dengan apakah mereka membantu atau menghalangi pencapaian tujuan ilahi ini (Ganss, 1992).

Filosofi ketidakmelekatan dalam ajaran St. Ignatius membawa implikasi mendalam bagi kehidupan spiritual dan moral seseorang. Sikap ini mendorong kita untuk menempatkan Tuhan di pusat segala keputusan dan tindakan kita, membebaskan kita dari ketergantungan pada hasil, status, atau kekayaan material. Ketidakmelekatan ini juga merupakan latihan dalam kerendahan hati dan penyerahan diri, di mana kita belajar untuk mengakui keterbatasan manusiawi kita dan kebutuhan akan bimbingan ilahi. Dengan melepaskan keinginan yang tidak teratur dan fokus pada kehendak Tuhan, kita dapat mencapai kedamaian batin dan kebebasan yang sejati. St. Ignatius percaya bahwa hanya dengan sikap ini kita dapat menjalani hidup yang penuh makna dan berbuah, di mana setiap keputusan dan tindakan didasarkan pada cinta dan pelayanan kepada Tuhan dan sesama, bukan pada kepuasan diri atau keuntungan pribadi (Fleming, 1996).

7. Service to Others (Pelayanan kepada Sesama):

Pelayanan kepada sesama adalah inti dari spiritualitas Ignatian. St. Ignatius mendorong kita untuk melayani orang lain dengan penuh kasih dan dedikasi, melihat Kristus dalam diri setiap orang yang kita layani.

Pelayanan kepada sesama merupakan inti dari spiritualitas Ignatian yang diajarkan oleh St. Ignatius de Loyola. Ia menekankan bahwa dalam setiap tindakan pelayanan, kita dipanggil untuk melihat Kristus dalam diri orang-orang yang kita layani. Prinsip ini mengajarkan bahwa setiap individu adalah cerminan dari Tuhan, dan dengan melayani mereka, kita sebenarnya melayani Tuhan sendiri. St. Ignatius mendorong umat beriman untuk melaksanakan karya kasih dengan penuh dedikasi dan keikhlasan, mengesampingkan kepentingan pribadi demi kesejahteraan orang lain. Melalui tindakan pelayanan yang tulus, kita tidak hanya membantu memenuhi kebutuhan fisik dan material orang lain, tetapi juga mendukung perkembangan rohani mereka, serta memperkuat ikatan komunitas dan solidaritas (Lowney, 2003).

Secara filosofis, pelayanan kepada sesama dalam pandangan Ignatian melibatkan integrasi antara iman dan aksi. Pelayanan bukanlah sekadar aktivitas sosial atau amal, tetapi merupakan ekspresi dari iman yang hidup dan berakar dalam cinta kepada Tuhan. St. Ignatius mengajarkan bahwa pelayanan yang sejati harus dilandasi oleh semangat kasih yang tanpa pamrih dan keinginan untuk membawa kebaikan ilahi ke dunia. Dalam konteks ini, pelayanan menjadi sarana untuk mewujudkan kerajaan Allah di bumi, di mana setiap tindakan kasih dan kebaikan mencerminkan nilai-nilai Injil. Dengan mengadopsi sikap pelayanan ini, kita juga menjalani transformasi batin, di mana kita belajar untuk melepaskan egoisme dan keterikatan material, dan sebaliknya, mengembangkan hati yang peka terhadap penderitaan dan kebutuhan sesama. Dengan demikian, pelayanan kepada sesama tidak hanya berdampak positif bagi orang yang dilayani, tetapi juga memperkaya dan memperdalam kehidupan rohani pelayan itu sendiri, membawa mereka lebih dekat kepada Tuhan dan misi-Nya (Traub, 2008).

8. Living for the Greater Glory of God (Hidup untuk Kemuliaan Tuhan yang Lebih Besar):

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun