Lukman, seorang pegawai swasta tampak sedikit senewen karena tidak ada tempe saat makan di warteg langganan. Pun begitu saat pulang ke rumah, tak ada tempe di meja makan. Nafsu makannya seketika melorot.
Sama seperti alasan mbak warteg, istrinya pun bilang tak ada yang jual tempe dan tahu di pasar pun di tukang sayur keliling. Semua mogok akibat harga kedelai melonjak.
Menurut berita pedagang dan pengusaha tempe tahu mogok selama tiga hari karena tidak berproduksi. Hal ini akibat mereka akibat harga kedelai di pasaran sebagai bahan baku melonjak. Harga per kilogram kedelai saat ini mencapai Rp. 11.000 naik dari sebelumnya Rp. 9.000.Â
Perajin dan pedagang tentu keberatan dengan kenaikan ini karena selain memberatkan mereka sendiri tentunya masyarakat umum pun merasakan hal yang sama.
Belum juga pulih masalah kelangkaan minyak goreng sekarang ditambah lagi dengan masalah tempe, tahu, dan produk turunan kedelai lainnya. Padahal seperti kita tahu bersama tempe dan tahu adalah makanan orang Indonesia. Hampir tiap rumah sehari-harinya menyajikan menu dari bahan ini.
Pihak pemerintah melalui dirjen perdagangan menyatakan bahwa pasokan kedelai aman karena memiliki stok 140.000 ton dan akan datang lagi sebanyak 160.000 ton sampai akhir Februari ini sehingga mencukupi kebutuhan hingga dua bulan ke depan.
Stok aman akan tetapi harga meroket tentu juga bikin masalah. Disinyalir kebijakan impor kedelai sebagai biang keladi dari harga yang tak bisa dikendalikan. Ironis saat tempe bisa dibilang sebagai makanan asli warisan nenek moyang orang Indonesia tetapi kedelai sebagai bahan dasarnya adalah barang impor.
Semua berawal dari kebijakan pemerintah yang harus tunduk oleh International Monetary Fund (IMF) di tahun 1998 saat Indonesia mengalami krisis moneter dan kritis politik sehingga orde baru runtuh. Salah satu persyaratan IMF membantu Indonesia adalah dengan membukanya keran impor bahan pangan yang salah satunya kedelai dari Amerika Serikat.Â
Amerika Serikat memiliki pertanian kacang kedelai dan jagung yang luas dan produktivitas yang tinggi karena dipergunakan untuk pakan ternak. Saat produksi tinggi tapi hampir tidak dikonsumsi manusia maka caranya dengan diekspor. Secara produk kedelai AS memang memiliki kualitas bagus, bentuknya besar dan tidak mudah pecah atau hancur.Â
Seakan mendapat angin surga sejak itu Amerika mengekspor kedelainya ke berbagai negara termasuk Indonesia. Kebutuhan kedelai dalam negeri terus meningkat. Sejak dulu bangsa ini makan tempe, tahu, kecap, tauco, yang semuanya menggunakan kedelai sebagai bahan baku.
Pemerintahan selanjutnya entah sadar atau tidak seakan membiarkan masalah ini sehingga petani kedelai di tanah air kalah bersaing. Mereka memilih berganti tanaman. Apa lagi ditambah dengan fakta bahwa menanam jagung lebih menguntungkan daripada menanam kedelai. Dengan modal dan waktu tanam yang sama hasil panen dan harga jual jagung lebih besar. Tak heran produksi kedelai nasional pun anjlok. Indonesia makin ketergantungan dengan kedelai impor.Â
Lalu siapa yang diuntungkan dengan kebijakan seperti ini? Tentu saja importir. Tanpa harus menanam kedelai dan beberapa produk pertanian impor, asal mendapat izin impor, bisa mendatangkan barang dari berbagai negara. Tak heran beberapa kebutuhan negeri ini dibanjiri barang impor alih-alih memproteksi petani dalam negeri.
Apalagi kalangan ini alias pemilik perusahaannya banyak juga yang berasal dari kerabat dekat maupun kolega para penguasa. Di satu sisi masyarakat membutuhkan suatu barang, cara paling mudah mengimpor dibanding memberdayakan petani lokal untuk mengembangkan diri dan berinovasi dengan lahannya.Â
Fenomena ini yang membuat banyak yang kapok menjadi petani karena harga yang tidak ajeg dan adanya permainan tengkulak dan importir nakal yang tidak ingin pertanian beberapa komoditi tertentu swasembada.Â
Perajin tempe dan tahu mencari kedelai di pasar dan yang tersedia adalah kedelai impor ya digunakanlah yang ada. Selain faktor secara kualitas, bentuk kedelai impor memang lebih besar dan tidak mudah pecah menjadi alasan perajin memakai kedelai impor.Â
Ketika sudah ketergantungan maka konsekuensinya adalah harga tergantung negara pengekspor. Saat produksi banyak diserap untuk pakan ternak di tempat asal maka harga ekspor pun terkerek naik. Apalagi harga barang impor menggunakan dolar makin apeslah Indonesia sebagai negara pemakan tempe.Â
Perajinnya bingung di saat seperti ini harus menaikan harga jual. Rakyatnya bingung mau makan tempe saja susah, menggoreng tempenya pun susah karena minyak goreng pun langka.Â
Padahal semua kajian ilmiah menyatakan tempe adalah makanan sehat, bergizi, dan makanan masa depan bagi umat manusia. Tempe memiliki kandungan vitamin dan mineral yang dibutuhkan dan berguba bagi manusia, seperti:
1. Asam lemak
Tempe yang dibuat dengan cara fermentasi menghasilkan asam lemak tak jenuh majemuk. Asam lemak ini bisa menurunkan kolesterol serum dan menetralkan dampak negatif dari sterol di dalam tubuh.
2. Vitamin
Setidaknya diketahui ada dua kelompok vitamin dalam tubuh. Pertama, vitamin larut air berupa vitamin B kompleks. Kedua, kelompok vitamin yang larut dalam lemak seperti vitamin A, D, E, dan K. Selain kedua kelompok tersebut, jenis vitamin lainnya yang ada di dalam tempe yaitu vitamin B1, B2, B6, B12, asam pantotenat, dan asam nikotinat.
3. Mineral
Tempe mengandung mineral makro dan mikro yang cukup banyak. Beberapa mineral yang dimiliki tempe antara lain; besi, tembaga, fosfor, insoitol, kalsium, dan magnesium.
4. Antioksidan
Kandungan tempe selanjutnya yaitu antioksidan dalam bentuk isoflavon yang terdiri dari daidzein, glisitein, dan genistein.
Sementara itu menurut Data Komposisi Pangan Indonesia, komposisi nilai gizi dalam 100 gram tempe yaitu; air, energi, protein, lemak, karbohidrat, serat, abu, kalsium, fosfor, besi, natrium, kalium, tembaga, seng, beta karoten, thiamin, riboflavin, dan niasin.
Melihat begitu lengkap dan bermanfaatnya kandungan gizi dalam tempe sudah seharusnya kita sebagai orang Indonesia tidak hanya bangga tapi memanfaatkan warisan kuliner dan kearifan lokal tersebut yang dapat menjadi kekuatan dan potensial menguntungkan sebagai sebuah bangsa.
Kita bangga mempunyai warisan tempe tapi kebijakan pada petani dan perajin diabaikan. Kita bangga punya tempe tapi tidak ada langkah strategis yang komprehensif dan berkesinambungan agar dunia mengonsumsi tempe dan kita menjadi produsen tempe terbesar untuk pasar dunia.
Faktanya protein hewani dari daging sapi atau daging babi mempunyai risiko karbon yang sangat besar. Setiap peternakan sapi membutuhkan lahan yang luas, lahan untuk menanam pakan yang juga luas, memproduksi karbon dan limbah kotoran yang tinggi sehingga kurang ramah terhadap lingkungan.Â
Sedangkan protein nabati seperti tempe dan tahu, lahan untuk kedelai relatif tidak menghasilkan gas buang dan malah memproduksi oksigen. Ditambah dalam jangka panjang tingkat kesehatan penduduk pun dapat lebih terjaga dibanding pengkonsumsi daging yang cenderung menimbulkan penyakit obesitas, kolesterol, yang akan membebani sebuah negara jika warganya banyak yang menderita penyakit.
Trend hidup sehat dan makan sehat akan terjadi dan tempe-tahu salah satu yang sangat potensial untuk dijadikan sumber protein masyarakat dunia.Â
Jika kita sebagai pemilik warisan kuliner tersebut tidak memanfaatkannya dengan baik bukan tidak mungkin tempe akan diproduksi oleh perusahaan-perusahaan makanan mancanegara yang punya jalur distribusi global. Yang ada kita hanya akan menjadi bangsa yang gigit jari warisannya diambil oleh pihak lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H