Budaya membaca belum terbentuk dan mengakar kuat tapi terpaan budaya audio visual berupa siaran televisi dan radio sudah  ukup kencang terlebih untuk generasi 80-90-an di mana diizinkannya siaran televisi swasta.Â
Acara televisi dan radio mulai bervariasi, akibatnya yang tak dibiasakan membaca akan lebih terbawa arus mengonsumsi media audio visual dibanding media cetak.
Tidak ada data yang pasti akan tetapi budaya membaca di generasi 80-90-an masih cukup tinggi, terutama di lingkungan saya, indikasinya tentu langganan atau membaca media yang populer saat itu seperti koran, majalah anak-anak, majalah remaja, majalah berita, hingga majalah yang tersegmen di era reformasi, mengikuti era keterbukaan di mana industri pers sempat booming.
Generasi selanjutnya makin akrab dengan media audio visual dan sebagian sudah terterpa media digital. Generasi saat ini (Gen Z dan Alpha) bisa dipastikan mayoritas sudah tidak mengonsumsi media cetak dan media audio visual tradisional, mereka sudah menjadi konsumen media digital sejati.
Masa depan perusahaan pers sepertinya memang di digital. Nasib perusahaan media elektronik seperti televisi dan radio pun sepertinya tinggal menunggu waktu saja.Â
Jika ingin bernapas lebih panjang ikut pindah ke digital adalah salah satu cara sambil di satu sisi bertahan di jalur tradisional selama masih kebagian kue iklan.
Terkait disrupsi ini ada beberapa perbedaan mendasar yang dijadikan pegangan para pengelola media. Jika media cetak berpegang pada jumlah oplag yang terdistribusi-- plus rata-rata dibaca berapa orang per eksemplar-- maka media digital menghitung jumlah klik yang mengakses ke laman berita yang disajikan.
Dulu di media cetak harga iklan termurah biasanya di iklan baris (bahkan dengan ketentuan maksimal jumlah kata) sudah bisa mencapai ratusan ribu rupiah untuk media nasional. Sedang harga iklan berwarna di halaman depan bisa mencapai ratusan juta bahkan miliaran jika dengan permintaan khusus.
Meskipun harga iklan relatif tetap akan tetapi keterbacaan iklan oleh pembaca tidak ada ukuran pasti, semua hanya berdasar analisa data dan survey.Â
Bisa dibilang pasang iklan di media cetak kena harga borongan. Hal ini di satu sisi wajar karena perusahaan pers harus mencetak di kertas materi iklannya sehingga ada biaya produksi cetak, kertas, dan distribusi yang dihitung.
Di sisi lain jaminan berapa jumlah pasti khalayak yang terpapar iklan kita tidak ada yang pasti, semua akan berupa perkiraan dan prediksi melihat data oplag, distribusi, dan survei keterbacaan media tersebut. Perhitungannya bisa jadi sangat rumit apalagi jika ada variabel yang hanya pihak internal yang tahu.