Mohon tunggu...
Saepiudin Syarif
Saepiudin Syarif Mohon Tunggu... Freelancer - Writer

Menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Masa Depan Pers di Tengah Disrupsi Digital

16 Februari 2022   10:08 Diperbarui: 16 Februari 2022   17:38 1563
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi media (Sumber: Pexels/Brett Sayles)

Tidak dapat dipungkiri bahwa pers terdisrupsi begitu besar di era teknologi internet sekarang ini, tinggal segelintir perusahaan media cetak yang bertahan.

Perkembangan teknologi digital begitu pesatnya sehingga membawa perubahan pada konsumsi masyarakat sebagai konsumen pada cara memperoleh berita.

Jika revolusi industri pertama ditandai oleh penemuan mesin cetak di tahun 1400-an, maka revolusi teknologi selanjutnya adalah dengan ditemukannya internet di akhir tahun 1900-an.

Dilihat dari sini ada sekitar 500 tahun teknologi mesin cetak menguasai peradaban dunia dengan informasi dari buku, koran, majalah, dan bentuk cetak lainnya.

Meskipun saat ini informasi cetak belum hilang, akan tetapi percepatan teknologi digital begitu luar biasa. Hanya perlu sekitar kurang dari 50 tahun saja, banyak perusahaan media cetak, radio, dan televisi tradisional dibuat gulung tikar.

Fenomena yang terjadi di seluruh dunia. Sayangnya Indonesia sebagai negara berkembang sepertinya terlalu cepat terseret ke era digital sebelum budaya membaca tertanam dan mengakar kuat di masyarakatnya.

Ilustrasi jurnalis foto sedang melakukan pekerjaannya mengambil gambar | Foto: banjarmasin.tribunnews.com
Ilustrasi jurnalis foto sedang melakukan pekerjaannya mengambil gambar | Foto: banjarmasin.tribunnews.com

Apalagi ditambah dengan mengalami masa kolonialisme di mana masyarakat kita dibiarkan bodoh dan sulit mengakses pendidikan dan informasi. Hal ini tentu saja memerlukan waktu panjang untuk membuat sebuah kebiasaan baru.

Setelah Indonesia merdeka pun hanya segelintir masyarakat berduit dan berpangkat yang bisa mengakses pendidikan sebagian besarnya masih buta huruf. 

Begitu pendidikan mulai agak merata, dalam hal ini pendidikan dasar di masa orde baru, ndilalah teknologi audio visual menyerbu dan langsung menjadi primadona.

Budaya membaca belum terbentuk dan mengakar kuat tapi terpaan budaya audio visual berupa siaran televisi dan radio sudah  ukup kencang terlebih untuk generasi 80-90-an di mana diizinkannya siaran televisi swasta. 

Acara televisi dan radio mulai bervariasi, akibatnya yang tak dibiasakan membaca akan lebih terbawa arus mengonsumsi media audio visual dibanding media cetak.

Tidak ada data yang pasti akan tetapi budaya membaca di generasi 80-90-an masih cukup tinggi, terutama di lingkungan saya, indikasinya tentu langganan atau membaca media yang populer saat itu seperti koran, majalah anak-anak, majalah remaja, majalah berita, hingga majalah yang tersegmen di era reformasi, mengikuti era keterbukaan di mana industri pers sempat booming.

Generasi selanjutnya makin akrab dengan media audio visual dan sebagian sudah terterpa media digital. Generasi saat ini (Gen Z dan Alpha) bisa dipastikan mayoritas sudah tidak mengonsumsi media cetak dan media audio visual tradisional, mereka sudah menjadi konsumen media digital sejati.

Masa depan perusahaan pers sepertinya memang di digital. Nasib perusahaan media elektronik seperti televisi dan radio pun sepertinya tinggal menunggu waktu saja. 

Jika ingin bernapas lebih panjang ikut pindah ke digital adalah salah satu cara sambil di satu sisi bertahan di jalur tradisional selama masih kebagian kue iklan.

Terkait disrupsi ini ada beberapa perbedaan mendasar yang dijadikan pegangan para pengelola media. Jika media cetak berpegang pada jumlah oplag yang terdistribusi-- plus rata-rata dibaca berapa orang per eksemplar-- maka media digital menghitung jumlah klik yang mengakses ke laman berita yang disajikan.

Dulu di media cetak harga iklan termurah biasanya di iklan baris (bahkan dengan ketentuan maksimal jumlah kata) sudah bisa mencapai ratusan ribu rupiah untuk media nasional. Sedang harga iklan berwarna di halaman depan bisa mencapai ratusan juta bahkan miliaran jika dengan permintaan khusus.

Meskipun harga iklan relatif tetap akan tetapi keterbacaan iklan oleh pembaca tidak ada ukuran pasti, semua hanya berdasar analisa data dan survey. 

Bisa dibilang pasang iklan di media cetak kena harga borongan. Hal ini di satu sisi wajar karena perusahaan pers harus mencetak di kertas materi iklannya sehingga ada biaya produksi cetak, kertas, dan distribusi yang dihitung.

Di sisi lain jaminan berapa jumlah pasti khalayak yang terpapar iklan kita tidak ada yang pasti, semua akan berupa perkiraan dan prediksi melihat data oplag, distribusi, dan survei keterbacaan media tersebut. Perhitungannya bisa jadi sangat rumit apalagi jika ada variabel yang hanya pihak internal yang tahu.

Di masa keemasannya bekerja di perusahaan media cetak nasional adalah sebuah prestasi dan prestise tersendiri. Apalagi jika medianya adalah pilihan beriklan semua biro iklan atau media buyer. Bisa dipastikan selain gaji dan tunjangan akan ada bonus berlipat tiap tahunnya.

Salah satu yang menjadi ciri media di era digital adalah keterbukaan. Dengan sistem klik, semua ada tercatat. Durasi berapa lama, apa yang dibaca atau lihat, tema apa saja, adalah data dari tiap pengguna media (konsumen) yang terdokumentasi. Termasuk perhitungan harga iklan yang didasarkan pada tarif per kliknya. Semua data akan membentuk algoritma tersendiri yang bisa dipergunakan untuk berbagai keperluan seperti trend, kebiasaan, daya beli, dan sebagainya.

Di samping itu era digital juga membuka kesempatan buat semua orang untuk bisa menjadi pembuat konten alias konten kreator, terutama di media sosial. 

Hiruk pikuk informasi tidak bisa dielakkan lagi. Informasi dari pers bersaing tidak hanya dengan informasi masyarakat yang dikenal dengan jurnalisme warga (citizen journalism) tapi juga dengan konten kreator yang dengan mudah membuat channel sendiri.

Selama dilakukan dengan niat baik, etika, dan profesional tidak ada yang salah dengan jurnalisme warga atau konten kreator perseorangan. Bahkan hal ini memberi perspektif baru mengenai permasalahan yang tengah terjadi di masyarakat. Mengingat tidak semua peristiwa bisa diangkat oleh media konvensional.

Menjadi berbahaya saat produksi hoax menjadi lumrah dan tak terkendali. Hoax adalah ancaman dalam kehidupan manusia yang beradab. 

Sayangnya mencari keuntungan pribadi atau kelompok dengan cara-cara tak bertanggung jawab seperti ini masih dilakukan oleh sebagian pihak.

Demokrasi dan keterbukaan di era digital jangan sampai mematikan nurani dan kemanusiaan kita dengan bertindak atau memproduksi konten hoax.

Untuk itu perusahaan pers harus tetap ada, memberitakan peristiwa yang terjadi dalam masyarakat dengan kaidah dan prinsip jurnalistik yang baik. Perusahaan pers harus ikut bermain di era digital ini dengan lebih lihai dan terobosan-terobosan baru.

Cukup menyedihkan jika konsumsi media orang Indonesia adalah menonton, membaca, melihat konten-konten pamer-pameran harta dan sejenisnya yang menodai akal sehat dan nurani kemanusiaan yang adil dan beradab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun