Pakde Latief mengenang masa lalu sambil tersenyum, apalagi kemudian ia pun mencoba KRL alias commuter line yang bersih dan nyaman di banding zaman dulu. Terlebih saat mencoba MRT yang mengantarnya ke Gelora Bung Karno, salah satu tempat nongkrong zaman masih bujangan dulu selain di Monas saat hari libur. Nongkrong yang gratis sambil cuci mata karena nongkrong di mal tidak selalu bisa dilakukan mengingat uang yang pas-pasan dan tentu saja saat itu mal masih sangat terbatas di Jakarta. Paling sesekali ke Blok M atau Pasar Baru.
Jika dulu sopir bisa ribut dengan penumpang karena alasan kurang membayar ongkos atau sopir yang kerepotan jika tak ada uang kembalian, sekarang semua menggunakan uang digital di kartu atau ponselnya masing-masing.
Jika dulu sebagai penumpang sering diturunkan oleh sopir metromini dan kopaja di tengah jalan akibat mogok atau dioper ke metromini lain karena sopirnya malas narik atau mau putar balik sekarang sopir angkutan lebih profesional.
Jika dulu ada penumpang nakal yang tidak membayar ongkos yang memanfaatkan kondisi bus yang penuh sesak sehingga kondektur tidak menagih ongkos sekarang tidak lagi bisa karena sistem elektronik sudah menyaring penumpang di pintu masuk.
Termasuk ancaman copet yang sering beroperasi di dalam bus kota di Jakarta. Jika naik PPD atau Mayasari jurusan tertentu dari perempatan Cawang harus hati-hati karena komplotan copet akan mulai beraksi dengan menyamar sebagai penumpang dengan merangsek dan memepet korban dari berbagai arah. Sekarang relatif lebih aman, copet sudah sangat jarang berani beroperasi di angkutan umum seperti transjakarta atau commuter line.
Setelah reuni selesai di aula gedung kantor lamanya dan jalan-jalan dengan berbagai angkutan umum Jakarta, ia memutuskan pulang ke rumah anaknya di Bekasi. Jalan tol tampak bertingkat dengan di sisi kiri dan kanan ada jalur LRT dan kereta cepat. Pakde Latief merasa waktu begitu cepat berlalu.
Ia merasa angkutan umum di Jakarta (bodetabek) relatif membaik meskipun untuk Trans Jakarta sedikit kurang ramah untuk lansia dan kaum disabilitas karena tangga yang tinggi dan halte transit yang panjang. Yang harus menjadi perhatian pihak terkait selain tentunya perawatan dan perbaikan secara kontinyu baik sarana dan kualitas kerja dari petugasnya.
Secara langsung ataupun tidak langsung baiknya angkutan umum membawa pengaruh pada tingkat kemacetan dan polusi Jakarta. Pakde Latief pernah merasakan terjebak kemacetan yang luar biasa di jalan tol saat pulang kerja. Berjam-jam ia berada di dalam bus jemputan karena jalan tol banjir, macet, dan tidak bisa bergerak. Jarak Jakarta Pusat ke Bekasi bisa mencapai 5 jam saat itu.
Sekarang selain angkutan umum yang dijalankan pemerintah baik daerah, pusat, maupun BUMN, ada juga transportasi online dari perusahaan swasta yang cukup membantu masyarakat untuk beraktivitas. Semua seakan mulai sadar bahwa pelayanan kepada konsumen adalah sebuah keharusan. Kenyamanan dan keamanan penumpang adalah hal utama dalam menjalankan bisnis transportasi.
Semoga ke depannya transportasi umum di tanah air makin baik sehingga bisa menekan penggunaan kendaraan pribadi yang pada akhirnya bisa mengurangi pencemaran udara, penghematan konsumsi bahan bakar, dan subsidi pemerintah bisa dialihkan ke hal lain yang juga penting seperti pendidikan dan kesehatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H