Mohon tunggu...
Saepiudin Syarif
Saepiudin Syarif Mohon Tunggu... Freelancer - Writer

Menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Artikel Utama

Evolusi Angkutan Umum di Jakarta

18 Desember 2021   09:09 Diperbarui: 19 Desember 2021   03:18 1251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bus dari PPD pada zamannya | Foto: gridoto.com

Suatu hari salah seorang kerabat bercerita tentang ayahnya yang pergi ke Jakarta untuk sebuah keperluan reuni kantor. Kami menyebutnya Pakde Latief, yang sudah berusia 60 tahun.

Dulu Pakde Latief bekerja di sebuah dinas di Jakarta dan tinggal di Bekasi. Setiap hari ada bus angkutan karyawan antar jemput walau terkadang harus menggunakan angkutan umum bila terlambat atau saat bus jemputan mogok. Pak Latief menunggu di pintu tol Bekasi Timur lalu jemputan membawanya ke bilangan Jakarta Pusat. Begitu pun saat pulang ia akan turun di pintu keluar tol Bekasi Timur.

Sejak pensiun delapan tahun lalu Pakde Latief memutuskan untuk tinggal di kampung halaman di Majalengka, mengawasi sawah dan kolam ikan. Praktis ia tidak pergi ke mana-mana, anak-anak dan cucu-cucunya yang datang ke kampung. Di Majalengka pun ia lebih sering naik sepeda motor atau sepeda genjot.

Saat ke Jakarta tempo hari, Pak Latief tidak cerita ke anaknya yang tinggal di Bekasi. Dari Majalengka, ia naik bus ke Terminal Kampung Rambutan. Ia merasa masih kuat dan masih hapal jalanan Jakarta. "Nanti saja pulang dari reuni mampir ke rumah anaknya," pikirnya.

Petugas di halte transjakarta Kampung Rambutan memberinya informasi di mana harus transit dan ganti bus. Pak Latief menikmati perjalanan apalagi dia diberi tempat duduk, dan kemudian ia pun melihat bahwa kesadaran penumpang untuk memberi tempat duduk ke penumpang berusia lanjut sudah cukup baik.

Ia merasa delapan tahun tidak menginjakkan kaki di ibukota membuatnya pangling. Ternyata Jakarta telah mengalami banyak perubahan. Pembangunan di mana-mana dan seakan tak pernah berhenti. Selalu ada yang dibangun, dibongkar, dibangun lagi. Tempat-tempat yang dulu ia lewati tak lagi persis sama.

Masalah mulai datang saat ia harus transit di halte Semanggi, bukan hanya jarak yang jauh untuk mencapai halte di depan RS Jakarta tetapi juga tangga yang tinggi membuatnya cukup ngos-ngosan mencapainya. Tapi semua tampak bergegas cepat seakan akan tertinggal sesuatu jika berjalan lambat.

Pakde Latief teringat masa awal saat ia datang pertama kali ke Jakarta di awal tahun 80. Beberapa tahun setelah lulus sekolah kerja serabutan di kampung lalu diajak ke Jakarta untuk bekerja di sebuah kantor. Berkat pergaulan dan nasib baik, dari yang awalnya sebagai pegawai rendahan hingga akhirnya bisa mencapai pegawai staf menengah di masa pensiunnya.

Ia pernah merasakan berbagai jenis angkutan umum di Jakarta, kosnya di Pasar Minggu dekat dengan jalur rel kereta tujuan Bogor. Ia pernah merasakan kereta listrik di mana penumpangnya bergelantungan di bagian pintu yang tak ada pintunya, duduk di atap kereta, bahkan ia pernah melihat penumpang yang terjatuh dari kereta yang sedang berjalan.

Belum lagi kecelakaan di jalan raya akibat sopir angkutan yang ugal-ugalan dalam membawa penumpang. Demikian pula dengan angkutan kota, mikrolet, bajaj, bemo, kopaja, metromini, bus PPD dan Mayasari yang berjaya pada masanya. Kecelakaan lalu lintas sering terlihat di pinggir jalan dari angkutan umum yang tersebut di atas. 

Pakde Latief  juga pernah mengalami bus tingkat dan bus gandeng masih beroperasi di jalanan Jakarta. Tidak lupa ojek pangkalan yang perlu keahlian tersendiri untuk menawar jika ingin diantarkan ke suatu tempat.

Pakde Latief mengenang masa lalu sambil tersenyum, apalagi kemudian ia pun mencoba KRL alias commuter line yang bersih dan nyaman di banding zaman dulu. Terlebih saat mencoba MRT yang mengantarnya ke Gelora Bung Karno, salah satu tempat nongkrong zaman masih bujangan dulu selain di Monas saat hari libur. Nongkrong yang gratis sambil cuci mata karena nongkrong di mal tidak selalu bisa dilakukan mengingat uang yang pas-pasan dan tentu saja saat itu mal masih sangat terbatas di Jakarta. Paling sesekali ke Blok M atau Pasar Baru.

Jika dulu sopir bisa ribut dengan penumpang karena alasan kurang membayar ongkos atau sopir yang kerepotan jika tak ada uang kembalian, sekarang semua menggunakan uang digital di kartu atau ponselnya masing-masing.

Jika dulu sebagai penumpang sering diturunkan oleh sopir metromini dan kopaja di tengah jalan akibat mogok atau dioper ke metromini lain karena sopirnya malas narik atau mau putar balik sekarang sopir angkutan lebih profesional.

Jika dulu ada penumpang nakal yang tidak membayar ongkos yang memanfaatkan kondisi bus yang penuh sesak sehingga kondektur tidak menagih ongkos sekarang tidak lagi bisa karena sistem elektronik sudah menyaring penumpang di pintu masuk.

Termasuk ancaman copet yang sering beroperasi di dalam bus kota di Jakarta. Jika naik PPD atau Mayasari jurusan tertentu dari perempatan Cawang harus hati-hati karena komplotan copet akan mulai beraksi dengan menyamar sebagai penumpang dengan merangsek dan memepet korban dari berbagai arah. Sekarang relatif lebih aman, copet sudah sangat jarang berani beroperasi di angkutan umum seperti transjakarta atau commuter line.

Setelah reuni selesai di aula gedung kantor lamanya dan jalan-jalan dengan berbagai angkutan umum Jakarta, ia memutuskan pulang ke rumah anaknya di Bekasi. Jalan tol tampak bertingkat dengan di sisi kiri dan kanan ada jalur LRT dan kereta cepat. Pakde Latief merasa waktu begitu cepat berlalu.

Ia merasa angkutan umum di Jakarta (bodetabek) relatif membaik meskipun untuk Trans Jakarta sedikit kurang ramah untuk lansia dan kaum disabilitas karena tangga yang tinggi dan halte transit yang panjang. Yang harus menjadi perhatian pihak terkait selain tentunya perawatan dan perbaikan secara kontinyu baik sarana dan kualitas kerja dari petugasnya.

Secara langsung ataupun tidak langsung baiknya angkutan umum membawa pengaruh pada tingkat kemacetan dan polusi Jakarta. Pakde Latief pernah merasakan terjebak kemacetan yang luar biasa di jalan tol saat pulang kerja. Berjam-jam ia berada di dalam bus jemputan karena jalan tol banjir, macet, dan tidak bisa bergerak. Jarak Jakarta Pusat ke Bekasi bisa mencapai 5 jam saat itu.

Sekarang selain angkutan umum yang dijalankan pemerintah baik daerah, pusat, maupun BUMN, ada juga transportasi online dari perusahaan swasta yang cukup membantu masyarakat untuk beraktivitas. Semua seakan mulai sadar bahwa pelayanan kepada konsumen adalah sebuah keharusan. Kenyamanan dan keamanan penumpang adalah hal utama dalam menjalankan bisnis transportasi.

Semoga ke depannya transportasi umum di tanah air makin baik sehingga bisa menekan penggunaan kendaraan pribadi yang pada akhirnya bisa mengurangi pencemaran udara, penghematan konsumsi bahan bakar, dan subsidi pemerintah bisa dialihkan ke hal lain yang juga penting seperti pendidikan dan kesehatan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun