Mohon tunggu...
Saepiudin Syarif
Saepiudin Syarif Mohon Tunggu... Freelancer - Writer

Menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Squid Game Populer di Kalangan Bocil, Siapa yang Menjaga Anak-anak Kita?

28 Oktober 2021   11:07 Diperbarui: 29 Oktober 2021   09:30 1363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Squid Game juga populer di kalangan bocil. | sumber: KoreaHerald.com via kompas.com)

Saya sempat terkejut saat menuju masjid hendak Jumatan lalu dan di jalan bertemu segerombolan anak kecil, sekitar 6 orang, usia antara 7-10 tahun sedang bernyanyi, "Mugunghwa Kkoci pieot seumnida"

Iya, lagu itu terdapat di serial Netflix berjudul Squid Game produksi Korea Selatan. Dinyanyikan oleh sebuah boneka besar berwujud anak perempuan.

Lagu tersebut diartikan sebagai permainan "lampu merah lampu hijau". Saya tidak tahu bagaimana permainan aslinya tapi di serial tersebut digambarkan jika boneka itu bernyanyi maka para pemain boleh bergerak tapi saat nyanyian berhenti pemain tidak boleh ada yang bergerak.

Jika ada pemain yang bergerak saat nyanyian sudah berhenti maka dari mata boneka itu akan mengeluarkan senjata laser yang langsung menembak mati pemain tersebut. Sadis. 

Permainan anak tradisional Korea memang menjadi ide dasar dalam membuat serial ini. Tiap babak menggunakan permainan tradisional Korea yang berbeda, tentu ending permainannya adalah matinya peserta yang kalah. 

Serial ini sukses besar dan menjadi nomor satu di 90 negara saluran Netflix dan mencatat rekor baru sebagai serial Netflix paling banyak ditonton. 

Squid Game menjadi fenomena tersendiri saat seragam pemain semacam setelan olahragawan yang menggunakan 3 digit angka dijual di mana-mana. Selain itu permen dalgona, seragam petugas berwarna merah, dan tentu saja lagu "lampu merah lampu hijau" menjadi ikon  kepopuleran serial ini.

Sudah jelas serial ini berisi tidak hanya kekerasan tapi sudah menjurus sadis dan brutal. Netflix sudah membandrolnya dengan label 18+ dan tentu bukan untuk anak-anak. Kemudian timbul pertanyaan kenapa bisa populer di kalangan bocil alias anak-anak? 

Lalu apakah mereka menonton serialnya? Berapa jumlah pelanggan Netflix di Indonesia? Apakah batasan usia menonton tayangan dipatuhi oleh pelanggan di sini?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut tentu menggelitik tapi juga bukan perkara mudah bila ingin mengetahuinya secara akurat. Perlu ada penelitian ilmiah dengan sample data dan metode yang tidak murah.

Tapi secara kasar, gambaran pertama kita telusuri dari jumlah pelanggan Netflix di Indonesia. Data per Januari 2021 jumlah pelanggan Netflix di Indonesia 850.000, tidak sampai 0,5% dari jumlah pelanggan Netflix seluruh dunia yang mencapai 203 juta. 

Jika dibandingkan dengan layangan streaming on demand serupa Netflix masih berada di bawah dari jumlah pelanggan Disney+ hotstar sebesar 2,5 juta, Viu sebesar 1,5 juta, dan pemain lokal Vidio sebesar 1,1 juta pelanggan.

Selain itu ada juga saluran baru yang juga mulai gencar berebut pasar sini seperti WeTV, Klik Film, Iqiyi, Maxstream, dan lain sebagainya meski jumlah pelanggannya belum terekspos ke publik.

Kembali ke jumlah penonton Squid Game. Jika satu nama akun pelanggan bisa diakses oleh satu keluarga (empat orang) maka jumlah maksimal penonton Squid Game di Indonesia adalah 3,4 juta penonton.

Jumlah yang masih relatif kecil jika dibandingkan dengan penduduk Indonesia yang 270 juta. Jumlah itu pun akan mengecil jika persyaratan anak di bawah 18 tidak bisa menonton tayangan tersebut. 

Jadi jika pun ada kecolongan anak kecil menonton serial tersebut jumlahnya sepertinya pun akan sangat kecil. Akan tetapi sekecil apapun jumlahnya tentunya harus menjadi perhatian para orang tua.

Lalu dari mana para bocil itu terpapar kehebohan Squid Game?

Untuk memenuhi rasa penasaran, saya lalu menanyakan beberapa pertanyaan kepada mereka, yaitu:

1. Lagu apa yang mereka nyanyikan?
2. Tahu dari mana lagu tersebut?
3. Apakah menonton tayangan tersebut?
4. Apakah mereka nonton Netflix?
5. Apakah di rumah ada pengaturan apa yang harus ditonton?
6. Apakah pernah melanggar aturan tersebut?
7. Lebih suka nonton film atau main game?

Sekali lagi pertanyaan tersebut hanya kepada anak-anak yang saya temui di lingkungan dekat masjid saat hendak sholat Jumat lalu. 

Saya tidak mengenal mereka dan tanya jawab dilaksanakan dengan cepat dengan suasana non formal alias sok akrab aja. Sedangkan jawaban mereka sebagai berikut:

1. Lagu Squid Game
2. Dari TikTok
3. Tidak nonton seriesnya cuma nonton cuplikan di media sosial yaitu, TikTok dan YouTube. 

TikTok dan YouTube sebagai sumber penyebaran informasi di mana banyak kreatornya memanfaatkan Squid Games sebagai kontennya sehingga sebuah informasi makin tersebar berkat pengaruh dari kreator kontennya.

4. Satu menonton, sisanya tidak. Yang menonton Netflix hanya nonton kartun.
5. Iya, jika nonton di rumah (teve dan youtube)
6. Pernah.
7. Main game.

Dari jawaban tersebut saya mengambil kesimpulan:

1. Saya masih bisa bernapas lega saat mereka tidak menonton seriesnya yang memang bukan untuk anak kecil. Bayangkan jika anak-anak kita, di usia para bocil itu dengan mudahnya mengakses tontonan yang bukan untuk usianya?

2. Pengaruh media sosial sungguh luar biasa penetrasinya di kalangan anak-anak. Padahal ada batasan usia penggunaan media sosial. Hal ini menjadi pekerjaan rumah untuk para orang tua dalam pemberian izin penggunaan media sosial.

Efek media sosial membuat anak-anak -- orang dewasa juga sebenarnya-- sangat ingin terlihat update dengan sesuatu yang heboh, viral, dan populer. 

Apakah sindrom FoMO alias Fear of  Missing Out sudah mulai menjangkiti anak-anak kita?

Sindrom ketakutan akan ketinggalan mengetahui sesuatu yang sedang viral atau dalam bahasa anak sekarang kudet (kurang update). 

Apakah mereka melihat dan mencontoh kita para orang tua? Disebabkan media sosial sudah menjadi keseharian yang juga dilihat oleh anak-anak kita? Sebuah budaya membebek?

3. Orang tua di sini masih menerapkan aturan tayangan apa yang boleh dan tidak boleh dikonsumsi anak. Tapi pada pelaksanaannya kurang konsisten dalam pengawasan. 

4. Penggunaan gawai yang tak terkontrol menjadi salah satu pintu untuk mengakses tayangan yang tidak diperbolehkan oleh orang tuanya. 

6. Game lebih banyak dikonsumsi anak-anak. Ternyata "ancaman" lebih besar dari terpaparnya anak terhadap kekerasan lebih banyak dari game dibanding film. 

Tentu pengamatan ini masih prematur. Terlepas dari itu tugas kita para orang tua untuk selalu aware pada semua hal yang dapat memapar anak-anak kita. 

Kita ingin memberikan lingkungan yang sehat secara fisik dan mental pada anak-anak kita. Lagi-lagi kita akan dibenturkan pada alasan kemajuan zaman dan kemajuan teknologi yang tidak bisa dihindari.

Pada akhirnya semua dikembalikan ke aturan keluarga masing-masing. Mau dibawa kemana anak-anak kita nantinya. Mau dibawa kemana bangsa ini oleh mereka yang tentunya sedikit banyak mencontoh dari apa yang kita ajarkan sekarang. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun