Dari jawaban tersebut saya mengambil kesimpulan:
1. Saya masih bisa bernapas lega saat mereka tidak menonton seriesnya yang memang bukan untuk anak kecil. Bayangkan jika anak-anak kita, di usia para bocil itu dengan mudahnya mengakses tontonan yang bukan untuk usianya?
2. Pengaruh media sosial sungguh luar biasa penetrasinya di kalangan anak-anak. Padahal ada batasan usia penggunaan media sosial. Hal ini menjadi pekerjaan rumah untuk para orang tua dalam pemberian izin penggunaan media sosial.
Efek media sosial membuat anak-anak -- orang dewasa juga sebenarnya-- sangat ingin terlihat update dengan sesuatu yang heboh, viral, dan populer.Â
Apakah sindrom FoMO alias Fear of  Missing Out sudah mulai menjangkiti anak-anak kita?
Sindrom ketakutan akan ketinggalan mengetahui sesuatu yang sedang viral atau dalam bahasa anak sekarang kudet (kurang update).Â
Apakah mereka melihat dan mencontoh kita para orang tua? Disebabkan media sosial sudah menjadi keseharian yang juga dilihat oleh anak-anak kita? Sebuah budaya membebek?
3. Orang tua di sini masih menerapkan aturan tayangan apa yang boleh dan tidak boleh dikonsumsi anak. Tapi pada pelaksanaannya kurang konsisten dalam pengawasan.Â
4. Penggunaan gawai yang tak terkontrol menjadi salah satu pintu untuk mengakses tayangan yang tidak diperbolehkan oleh orang tuanya.Â
6. Game lebih banyak dikonsumsi anak-anak. Ternyata "ancaman" lebih besar dari terpaparnya anak terhadap kekerasan lebih banyak dari game dibanding film.Â
Tentu pengamatan ini masih prematur. Terlepas dari itu tugas kita para orang tua untuk selalu aware pada semua hal yang dapat memapar anak-anak kita.Â