Mohon tunggu...
Saepiudin Syarif
Saepiudin Syarif Mohon Tunggu... Freelancer - Writer

Menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Modal Pelawak Bukan Asal Lucu

4 Oktober 2021   09:00 Diperbarui: 4 Oktober 2021   15:55 928
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Benyamin Sueb adalah seniman serba bisa termasuk melawak. | Foto: tribunnews.com

Apa yang ada di benak Anda ketika berbicara tentang pelawak? 

Lucu. Tukang bikin ketawa. Aneh. Artis. Terkenal. 

Mungkin itu jawaban yang terlontar dari banyak orang. Padahal ada satu hal yang juga penting bahwa pelawak itu butuh kecerdasan tersendiri.

Iya, melawak adalah salah satu pekerjaan yang menggunakan kecerdasan. Bukan harus jago matematika atau fisika tentu saja. Hanya orang cerdas yang mampu menghasilkan lawakan yang lucu dari segala aspek hingga membuat orang lain tertawa.

Lucu yang bukan sembarang lucu. Lucu yang bukan hanya sekadar hiburan semata. Membuat orang tertawa saja itu baru modal dasar. Syarat yang lebih penting lagi menurut saya adalah konten alias isi dari lawakan. 

Lawakan "bully" model dorong-dorongan, main fisik, atau kekerasan lainnya jelas bukan termasuk lawakan cerdas versi saya. Berarti pelawak model begini juga bukan pelawak favorit saya.

Tentu susah-susah gampang karena bila melihat akarnya, lawak di tanah air tentu tidak lepas dari seni tradisi panggung di berbagai daerah. Sedangkan tradisi lawak panggung cukup akrab dengan lawak model "bully" begini. 

Di Betawi punya lenong yang isinya sandiwara panggung dengan diselingi lawakan-lawakan dari pemainnya. Begitu juga di daerah lain seperti panggung Srimulat di Jawa Tengah, Ludruk di Jawa Timur, Tarling di Cirebon, Sandiwara Sunda model Kabayan dan sebagainya.

Tapi zaman itu belum ada kesadaran bersama tentang tontonan atau hiburan yang mengandung "bully" selain disajikan terbatas di panggung-panggung saja. Selain batasan bully sendiri yang masih abu-abu alias tidak jelas.

Bila dilihat panggung sandiwara atau bagian lawakannya masih "mengandung" bully mungkin zaman itu masih diterima atau dianggap wajar toh cuma sebatas hiburan. 

Selain itu tentu ada seniman penyanyi, pemain film, pemain musik, atau non pemain seni tradisi dalam artian yang lebih populer di layar lebar dan TVRI sebagai satu-satunya televisi pada saat itu. Bing Slamet dan Benyamin Sueb, keduanya adalah seniman serba bisa termasuk melawak. 

Zaman TVRI masa itu Bing Slamet besar bersama Eddy Sud, Ateng, Ishak. Kemudian ada Jojon, Cahyono, dan lainnya sebagai pengisi acara hiburan di teve nasional milik pemerintah tersebut.

Mengingat saat itu adalah era orde baru di mana segala jenis kegiatan dalam "pengawasan" maka acara televisi termasuk lawak pun memilih yang lebih "aman".

Termasuk lawakan audio baik lewat radio ataupun kaset rekaman yang dijual bebas di pasaran. Ada lawak versi rekaman yang diambil dari sandiwara radio, ada juga yang siaran langsung layaknya penyiar.

Radio adalah sumber talent pelawak di Indonesia. Radio banyak memberikan ruang bagi para pelawak untuk melawak dengan cara menjadi penyiar. Radio adalah kawah candradimuka bagi pelawak dari generasi seperti Warkop DKI, Bagito, Sersan Prambors, Patrio, Komeng, Taufik Savalas, Ulfa Dwiyanti, dan lainnya.

Di era 1970-1980an sebuah radio hiburan anak muda yang tidak ada pelawak sebagai bagian dari penyiarnya dianggap radio tua. Persaingan pelawak di radio pun cukup ketat. Uniknya segmentasi radio membuat semua bisa berjalan beriringan.

Era televisi swasta mulai bermunculan pelawak baru skala nasional baik "limpahan" dari radio seperti Bagito yang sukses besar dengan Bagito Show-nya di RCTI. Lalu ada Patrio hingga generasi Cagur dan Sule yang memenangkan kompetisi lawak di TPI.

Belakangan saat lawakan model stand up komedi berjaya, komika banyak bermunculan di berbagai daerah dengan komunitas-komunitasnya. Raditya Dika bisa dibilang sebagai pelopor stand up komedi versi kekinian.

Walaupun sebelumnya ada Taufik Savalas, pelawak tunggal yang berdiri di depan stand mic sebagai ciri khasnya melawak di tengah pelawak tanah air yang kebanyakan adalah sebuah grup.

Pelawak yang asal lucu mungkin banyak. Pelawak yang konsisten lucu itu lebih sedikit. Pelawak yang konsisten lucu dengan konten cerdas dan bergizi lebih sedikit lagi. 

Ada beberapa pelawak cerdas dan lucu tapi kemudian terjebak dalam mesin industri yang mengharuskan tampil kejar tayang setiap hari bahkan di beberapa stasiun televisi. Alhasil banyak lawakan yang jadi basi. Konten hanya mengandalkan celetukan, interaksi, dan timpal-timpalan obrolan agar tampak lucu. Yang model begini hasilnya malah kadang lucu lebih sering tidak. 

Persona memang penting. Bahkan ada yang baru melihat orangnya saja penonton sudah tertawa. Apalagi ditunjang dengan penampilan karakternya yang khas dan kuat. Model rambut, baju, sepatu, tompel, aksesoris unik sering dijadikan penanda persona seorang pelawak. 

Pelawak yang cerdas akan terlihat dari: 

1. Karakternya
Pelawak yang sudah menemukan karakternya akan lebih menjiwai dan terlihat tulus dalam melawak. Ada rasa yang akan sampai ke penonton. Turunan dari karakter ini bisa dilihat konsep keseluruhan siapa dia. Mulai dari penampilan, gesture, cara berbicara, cara berjalan, dan lain-lain.

2. Bisa Menulis
Pelawak yang baik (cerdas) biasanya bisa menulis. Dia akan menulis dulu konsep lawakannya. Tidak harus menulis bagus layaknya penyair atau jurnalis tapi dia bisa menjelaskan konsepnya apa, poinnya apa, pengembangannya bagaimana. 

3. Materi yang membumi dan dekat dengan kehidupannya. Konten yang seperti ini akan relate-- terhubung dengan dirinya sendiri dan juga dengan penonton-- karena sama-sama merasa dekat dengan materi yang dibawakan. 

4. Penyampaian.
Latihan menjadi kunci penting dalam seni pertunjukan. Meskipun lawak identik dengan spontanitas tetapi tidak ada spontanitas yang berhasil tanpa dilatih. Salah satu yang dilakukan Komeng adalah latihan membuat joke dari satu kata setiap hari. 

Jadi jika ditanya siapa pelawak favorit saya? Sulit untuk menjawabnya.

Saya lebih memillih ke konten lawakannya dari pada siapa pelawaknya. Pelawaknya bisa siapa saja asal lucu, kontennya bergizi, dan semua ditampilkan sesuai konsepnya.

Akan tetapi saya punya apresiasi besar pada Bing Slamet, Benyamin Sueb, Warkop DKI, Bagito, sebagai insan-insan pelawak tanah air generasi awal yang saya kenal.

Dengan banyaknya sumber tontonan dan hiburan saat ini, tidak mudah untuk menonton semuanya. Kita harus memilah baik alasan keterbatasan waktu juga apa yang harus kita konsumsi.

Jadi sebenarnya menjadi pelawak saat ini lebih berat apalagi di zaman digital seperti sekarang, penonton bisa memilih apa yang ingin ditontonnya. Jika semenit dua menit tidak lucu apalagi basi yang tinggal skip, seterkenal apa pun pelawaknya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun