Selain itu tentu ada seniman penyanyi, pemain film, pemain musik, atau non pemain seni tradisi dalam artian yang lebih populer di layar lebar dan TVRI sebagai satu-satunya televisi pada saat itu. Bing Slamet dan Benyamin Sueb, keduanya adalah seniman serba bisa termasuk melawak.Â
Zaman TVRI masa itu Bing Slamet besar bersama Eddy Sud, Ateng, Ishak. Kemudian ada Jojon, Cahyono, dan lainnya sebagai pengisi acara hiburan di teve nasional milik pemerintah tersebut.
Mengingat saat itu adalah era orde baru di mana segala jenis kegiatan dalam "pengawasan" maka acara televisi termasuk lawak pun memilih yang lebih "aman".
Termasuk lawakan audio baik lewat radio ataupun kaset rekaman yang dijual bebas di pasaran. Ada lawak versi rekaman yang diambil dari sandiwara radio, ada juga yang siaran langsung layaknya penyiar.
Radio adalah sumber talent pelawak di Indonesia. Radio banyak memberikan ruang bagi para pelawak untuk melawak dengan cara menjadi penyiar. Radio adalah kawah candradimuka bagi pelawak dari generasi seperti Warkop DKI, Bagito, Sersan Prambors, Patrio, Komeng, Taufik Savalas, Ulfa Dwiyanti, dan lainnya.
Di era 1970-1980an sebuah radio hiburan anak muda yang tidak ada pelawak sebagai bagian dari penyiarnya dianggap radio tua. Persaingan pelawak di radio pun cukup ketat. Uniknya segmentasi radio membuat semua bisa berjalan beriringan.
Era televisi swasta mulai bermunculan pelawak baru skala nasional baik "limpahan" dari radio seperti Bagito yang sukses besar dengan Bagito Show-nya di RCTI. Lalu ada Patrio hingga generasi Cagur dan Sule yang memenangkan kompetisi lawak di TPI.
Belakangan saat lawakan model stand up komedi berjaya, komika banyak bermunculan di berbagai daerah dengan komunitas-komunitasnya. Raditya Dika bisa dibilang sebagai pelopor stand up komedi versi kekinian.
Walaupun sebelumnya ada Taufik Savalas, pelawak tunggal yang berdiri di depan stand mic sebagai ciri khasnya melawak di tengah pelawak tanah air yang kebanyakan adalah sebuah grup.
Pelawak yang asal lucu mungkin banyak. Pelawak yang konsisten lucu itu lebih sedikit. Pelawak yang konsisten lucu dengan konten cerdas dan bergizi lebih sedikit lagi.Â
Ada beberapa pelawak cerdas dan lucu tapi kemudian terjebak dalam mesin industri yang mengharuskan tampil kejar tayang setiap hari bahkan di beberapa stasiun televisi. Alhasil banyak lawakan yang jadi basi. Konten hanya mengandalkan celetukan, interaksi, dan timpal-timpalan obrolan agar tampak lucu. Yang model begini hasilnya malah kadang lucu lebih sering tidak.Â