Perihal Golput kembali jadi ramai dibahas tatkala usai tulisan Prof. Frans Magnis Suseno disiarkan  di harian Kompas pekan lalu.
Tulisan itu menjadi sangat heboh lantaran di itu tulisan Prof. Magnis menuding bahwa orang-orang yang memilih untuk tidak memilih (Golput) pada Pilpres kali ini (17 April 2019) tidak lain dari orang-orang  bodoh, sakit jiwa dan parasit. Tudingan itu, tentu saja, membangkitkan gelombang protes, terutama dari kalangan aktivis dan cendekiawan.
Protes mereka berdasar dan cukup mendasar. Menurut kaum protes ini, sikap memilih untuk tidak memilih, bukan karena mereka bodoh atau benalu atau sakit jiwa sebagaimana dituding Magnis, tetapi sikap memilih untuk tidak memilih itu justru dilakukan setelah dilakukan evaluasi sangat kritis atas realitas pasangan Capres yang tersedia oleh sistem politik Pilpres kali ini.
Sikap memilih untuk tidak memilih itu sebagai wujud dari protes politik mereka akan sistem politik Indonesia hari ini yang tidak memberi peluang sangat luas kepada  rakyat Indonesia untuk menimbang sejumlah alternatif pilihan.
Sistem politik Indonesia (terutama kasus Pilpres) seolah-olah memaksa rakyat untuk  hanya memilih satu dari dua pilihan. Padahal, jika sistem politik Indonesia memberi peluang bagi terbukanya calon lebih dari dua pasangan, maka rakyat akan leluasa menentukan aneka pertimbangan dan memperhitungkan persaingan demokratik yang lebih luas.
Sesungguhnya, sejak awal perihal syarat calon presiden disoalkan banyak kalangan di luar parlemen. Sedangkan di kalangan dalam parlemen sendiri, Partai Demokrat telah memotori dan mengakomodasi pikiran kalangan luar parlemen. Demokrat pun  telah meramalkan hal buruk  akan terjadi kemudian hari jika bersikukuh dengan syarat yang disetujui.
Partai Demokrat kala  itu berpendapat, tidak ada syarat lain dari pencalonan presiden kecuali setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon, baik calon presiden hasil kompromi gabungan partai politik maupun masing-masing partai mengajukan calonnya sendiri.Â
Partai Demokrat mendukung pikiran bahwa perihal calon presiden dan wakil presiden itu adalah salah satu fungsi  partai politik yang merepresentasi kepentingan obyektif politik rakyat.Â
Partai Demokrat berpikir, demokrasi di Indonesia dikerjakan dalam setting sosial politik yang multidimensional, fragmented. Â Atau sistem politik Indonesia patut memantulkan realitas kandungan sosialnya atau kandungan materialnya. Arend Lijphart (1977) menyebutnya sebagai democracy in plural societies.
Partai pendukung pikiran Partai Demokrat kala itu, kalah tarung dalam voting. Sayangnya pikiran mayoritas partai di parlemen malah dibenarkan Mahkamah Konstitusi, ketika MK menolak gugatan Partai Demokrat untuk membatalkan keputusan parlemen. Â
Akibatnya, jumlah calon presiden sangat terbatas karena dibatasi syarat yang disepakati mayoritas partai politik di parlemen. Seandainya  tuntutan Partai Demokrat dan para pendukungnya yang lain itu diterima, maka hari ini kemungkinan besar calon presiden dan wakil presiden tidak hanya ada dua pasangan calon, tetapi lebih.