Pada masa Pemerintahan Gus Dur, Wimar Witoelar terbilang orang lingkaran dalam yang berdiri satu front dengan pendirian Kiayi Agung yang sangat humanis itu. Bahkan dalam berbagai artikelnya, Wimar Witoelar selalu membela pentingnya perdamaian. Ia salah satu intelektual yang kritis dan terkemuka.
Wimar Witoelar berpendapat, sebaiknya rakyat memilih satu dari dua pasangan calon presiden dan wakil presiden yang tersedia, meski mungkin dua pasangan calon presiden ini dianggap  buruk. Menurut Witoelar, meski dua calon itu buruk, tetapi toh tentu masih ada di antaranya yang peringkat buruknya jauh lebih kurang dibanding yang lain. Maka pilihlah calon presiden yang tingkat keburukannya kurang itu.
Sikap memilih calon presiden dari dua calon yang tersedia merupakan kehendak sistem politik. Kita jalani dengan sikap yang biasa saja, kata Wimar sambil menambahkan, tetapi tidak boleh menghilangkan kesempatan untuk ikut mengendalikan negara dengan cara terlibat dalam pemilihan dari pilihan yang tersedia oleh sistem politik yang ada.
Karena itu, memilih satu di antaranya adalah keniscayaan politik. Memilih satu dari dua calon presiden adalah tanggung jawab politik rakyat karena rakyat selalu menyimpan seketul harapan agar setelah memilih ada sedikit perubahan berarti.
Mengapa Golput:
Tampaknya, dua argumen dari dua kubu berbeda sama kuat dan mendasar.  Tetapi pertanyaan yang menarik tentulah ini. Mengapa rakyat memilih si A misalnya, dan bukan  memilih si B, atau tidak memilih keduanya (A dan B)?
Tindakan memilih dalam politik, tentu saja terkait pula dengan motif tiap orang melakukan pemilihan. Karena motif itu menggerakkan sikap pribadi atau sikap politiknya.
Misalnya, Badu memilih si A dan bukan si B karena Badu mengidentifikasikan dirinya  dengan si A, sedangkan si B sangat jauh dari identifikasi diri Badu pribadi. Tetapi sangat besar kemungkinan Badu tidak memilih A atau B karena tak ada identifikasi dirinya dengan kedua calon tersebut.
Anthony Downs, misalnya, berpendapat sikap memilih ca;lon ditentukan oleh nilai yang diharapkan pemilih. Pemilih memilih orang atau partai politik karena disadarinya bahwa orang atau partai politik yang dipilihnya sanggup merepresentasikan kepentingan pemilih atau sanggup memecajkan masalah para pemilih.
Memilih untuk tidak memilih A atau B sebagaimana contoh si Badu di atas lalu dituding sebagai Golput. Seseorang memilih untuk tidak memilih (Golput) mengandung dua kemungkinan mendasar.
Pertama, opsi negatif, ketika seseorang  merasa tidak mempunyai alasan cukup untuk turut memilih (vide:  Ignas Kleden, Partai Politik dan Politik Partai dalam Pergulatan Partai Politik di Indonesia; 2004).