Mohon tunggu...
Pius Rengka
Pius Rengka Mohon Tunggu... Pemulung Kata -

Artikel kebudayaan, politik, sosial, budaya, sastra dan olahraga. Facebook:piusrengka. Surel:piusrengka@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menerka Teka Teki Victor Laiskodat di Politik TTS

28 Januari 2019   22:37 Diperbarui: 31 Januari 2019   21:11 493
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memang, ada kesan, manusia NTT itu enggan keluar dari kemiskinannya. Buktinya? Rakyat NTT selalu memilih pemimpin orang  bodok sebagaimana ditudingkan Victor Lasikodat di TTS, hari Minggu pekan lalu. Tentu saja, Victor Laiskodat, sudah memulai melakukan gebrakan penting. Tinggal waktu selanjutnya mengatur langkah yang pas.

TTS juga dikenal kaya ternak. Tetapi ternak sapi kian menipis, bukan lantaran peternak malas atau ketiadaan padang penggembalaan, melainkan karena para pemain sapi memang sangat banyak.

Frans Leburaya pernah bermimpi agar NTT menjadi propinsi ternak. Gubernur NTT dua periode itu   bertekad mengirim daging olahan ke luar NTT.

"NTT harus punya pabrik olahan daging sapi, sehingga yang dieksport  adalah hasil olahan bukan sapi gelondongan," ujar Frans kala itu. Hingga ia meninggalakn kursi gubernur, mimpi itu tak pernah terwujud.  

Sekelumit Sejarah:

Dahulu kala, penjajah datang ke Timor untuk tujuan jelas. Mereka mencari lilin, madu dan cendana. TTS ditilik sebagai satu pusat kerajaan cendana, madu dan lilin. Belanda datang untuk dagang. Sebagaimana umumnya pedagang, mereka tidak hanya berusaha mengakumulasi modal usaha, juga belajar cara berkuasa supaya  usaha dagang tetap berjalan aman dan nyaman, lalu melakukan ekspansi.

Belanda pun mendatangkan ahli antropologi sosial untuk menelisik lebih dalam gerangan apa kiranya sosok antopologis sosial masyarakat Timor. Ditemukan, Pulau Timor tak hanya kaya kayu cendana, madu dan lilin, juga punya serat potensial hadirnya faksi-faksi sosial.

Singkat kisah, van Mook melihat, konteks kultural dan budaya manusia di sini gampang dirajam politik devide et impera (membagi atau dibagi-bagi lalu dikuasai). TTS pun terkena rembesan politik devide et impera ini.

Begitulah, hingga kini TTS terbelah. Sayangnya, para politisi di TTS merawat keterbelahan itu hingga kini. Politisi di sini pun sangat santun pada tamu dari macam-macam jenis seragam. Para tamu dihadiahi cendana, madu dan lain sebagaimana, termasuk sarung Timor nan indah itu. Pemusnahan cendana pun beriring dengan sejarah perebutan kuasa di tanah ini.

Sejak kolonialisasi Belanda masuk ke sana, mentalitas mayoritas politisi lokal berubah.  Mereka bersembah ke para pelancong, tetapi menindas ke kalangan sendiri.

Itulah sebabnya, politik devide et impera ala kolonial ditiru politisi TTS dengan sangat pas terutama untuk kalangan sendiri. Mereka menghormati para pelancong, tetapi menindas kaumnya sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun