Mohon tunggu...
Pius Rengka
Pius Rengka Mohon Tunggu... Pemulung Kata -

Artikel kebudayaan, politik, sosial, budaya, sastra dan olahraga. Facebook:piusrengka. Surel:piusrengka@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Politik Celana Versi Vanessa

9 Januari 2019   07:22 Diperbarui: 10 Januari 2019   04:11 4684
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: mirror.co.uk/getty images

Celana itu penting. Tetapi juga genting. Penting, karena celana menutup bagian yang sangat ingin dilihat, tetapi patut ditutup. Celana juga genting, karena bagian yang ditutup celana itu selalu menjadi wilayah sengketa yang sanggup melahirkan aneka perkara.

Menanggalkan celana, memang, tak hanya berarti pemilik celana dapat pergi ke alam bebas memburu badai kehidupan, tetapi juga sanggup menjadi awal dari semua sengketa kehidupan. Meski demikian, kita pun maklum, tak semua celana yang ditanggal membawa cilaka setelahnya.

Pada zaman dahulu kala ada sebuah kisah. Kisah itu romantis, juga politis di dalam roman Wanita.

Paul I. Wellman, menulis apik kisah pelacur jalanan. Ia cantik jelita. Wajah jelita itu, bagai jendela undangan yang memanggil masuk setiap pria di Jalan Hawa.

Alhasil, pelacur itu mengubah arah angin sejarah hidupnya hingga kemudian dia sanggup meraih posisi politik Byzantium.

Theodora, tokoh utama di roman itu. Dia hidup dan dibesarkan dari tepi jalan, dan dia selalu di situ setiap malam. Dia, pelacur jalanan.

Nasib Theodora merangkak masuk hingga menembus tembok agung istana. Lalu dia mengatur kerajaan dari dalam ketika Pangeran Bizantyum, Yustinianus, rela membayarnya.

Satu-satunya modal awal Theodora adalah sesuatu, yang, di Indonesia disebut kemaluan. Theodora bangkit dari keaiban dunia mesum, meraih kemuliaan sebagai maharani dan memerintah seluruh dunia Romawi dari istana Konstantinopel yang mewah dan dekaden dalam abad keenam. Akankah kisah Theodora menginspirasi Vanessa? Entahlah.

Memang, perihal celana dalam Vanessa, dua pekan belakangan ini, tiba-tiba jadi lautan gosip di mana-mana. Gosip itu bergelombang ke tepian jauh hingga tiba ke pelataran gubuk buruk di kebun petani nun jauh di Timor, NTT.

Hal itu bermula, lantaran Vanessa Angel dikhabarkan mendagang sesuatu yang ditutup celana. Tak tanggung-tanggung, benda dagangan itu dipatok dengan banrol Rp 80 juta untuk sekali laga tanding.

Maka riuh perihal celana dalam, tak hanya ditafsir di dalam cermin moral individual Angel Vanessa, tetapi juga terbimbing masuk ke ruang diskursus yang lebih struktural nan serius.

Tatkala celana dalam bergantung di gerai tokoh supermal, benda itu tidak lebih dari sekadar secarik tenunan berbentuk. Tetapi celana dalam menemukan signifikansinya, ketika kain sepotong itu dipakai seorang jelita bintang sinetron.

Coba bayangkan, jika celana yang persis sama, dipakai seorang pembantu rumah tangga yang menjadi korban human trafficking. Akankah dia seheboh seperti sekarang ini?

Lalu, para ibu dan remaja, searching di medsos. Dahaga hasrat mereka dipacu dan dipicu oleh keinginan untuk mengetahui jelas siapakah gerangan Vanessa Angel, apa gerangan dia dalam pentas sosial politik dan bisnis di negeri nyiur melambai-lambai ini?

Petani miskin hanya peroleh berita sepotong. Vanessa Angel, ditangkap. Dia diamankan anggota Subdit V Siber Ditreskrimsus Polda Jatim, pada Sabtu (5/1/2019). Dikabarkan dia langganan seorang kaya di Surabaya, yang sanggup menggelontorkan dana Rp 80 juta hanya untuk mendapatkan kehangatan tubuh Vanessa. Kini celana dalam Vanessa jadi barang bukti.

Bagi petani miskin NTT, uang sejumlah itu teramat banyak untuk kenikmatan sesaat. Mereka tentu tak pernah tahu, barang mahal bukan ditentukan oleh jenis barangnya, tetapi ditentukan oleh pemiliknya. Tiba-tiba kisah tentang Vanessa agak sedikit sanggup menenggelamkan hoaks tujuh kontener kertas suara di Tanjung Priok.

Siapakah Vanessa Angel? Dia artis pemain sinetron. Tetapi, Vanessa Angel, pernah pada masa silam, mendatangi kantor Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) di Jalan Latuharhari 4B, Jakarta Pusat, Kamis (30/7/2015) untuk menawarkan diri menjadi duta perlindungan wanita.

Memandang aktivitas dan perjuangannya itu, Vanessa dikenal tak hanya sebagai bintang sinetron, tetapi juga aktivis antikekerasan terhadap perempuan. Kini, Vanessa meraup diskusi politik ketika tema berubah ke arah kapitalisasi benda.

Disebutkan, semua hal yang dikapitalisasi, akan menimbulkan diskursus politik. Misalkan, perihal lembaga-lembaga agama.

Pada masa silam, lembaga agama tidak lebih dari lembaga-lembaga suci tempat dari mana orang belajar menjadi sufi dan menuntun hidup menuju tempat nan suci. 

Tetapi, ketika lembaga-lembaga suci itu dikapitalisasi untuk kepentingan politik dan bisnis, maka nyaris hampir semua lembaga agama berubah fungsi menjadi lembaga politik. Bahkan arah politik ditentukan dari sana.

Begitupun ketika dulu manusia bebas memanfaatkan air sepuas-puasnya tanpa batas untuk kepentingan manusia.

Tetapi ketika kapital mulai masuk, maka air kian menjadi sumber terbatas dan dibatasi penggunaannya oleh pihak-pihak pemilik modal. Hal serupa juga terjadi dengan tubuh manusia.

Ketika dulu tubuh manusia sebagai representasi keagungan penciptaan yang menampakkan keindahan dan kekudusan pencipta (manusia itu citra Allah), tetapi bagian-bagian tubuh kemudian menjadi obyek kapital, lalu tubuh sebagai komoditi bagi pemilik tubuh.

Maka Vanessa Angel sesungguhnya kini mengalami ekses kapitalisasi tubuh. Tubuh Vanessa menjadi komoditi.

Kita memang tidak tahu persis, apakah kapitalisasi tubuh Vanessa atas dorongan pribadi atau karena dia menjadi objek gim para rente pedagang tubuh.

Jika Vanessa menjadi bagian dari gim para rente atas tubuh, maka tubuh Vanessa menjadi obyek politik kapitalisasi.

Oleh Pius Rengka

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun