Tatkala celana dalam bergantung di gerai tokoh supermal, benda itu tidak lebih dari sekadar secarik tenunan berbentuk. Tetapi celana dalam menemukan signifikansinya, ketika kain sepotong itu dipakai seorang jelita bintang sinetron.
Coba bayangkan, jika celana yang persis sama, dipakai seorang pembantu rumah tangga yang menjadi korban human trafficking. Akankah dia seheboh seperti sekarang ini?
Lalu, para ibu dan remaja, searching di medsos. Dahaga hasrat mereka dipacu dan dipicu oleh keinginan untuk mengetahui jelas siapakah gerangan Vanessa Angel, apa gerangan dia dalam pentas sosial politik dan bisnis di negeri nyiur melambai-lambai ini?
Petani miskin hanya peroleh berita sepotong. Vanessa Angel, ditangkap. Dia diamankan anggota Subdit V Siber Ditreskrimsus Polda Jatim, pada Sabtu (5/1/2019). Dikabarkan dia langganan seorang kaya di Surabaya, yang sanggup menggelontorkan dana Rp 80 juta hanya untuk mendapatkan kehangatan tubuh Vanessa. Kini celana dalam Vanessa jadi barang bukti.
Bagi petani miskin NTT, uang sejumlah itu teramat banyak untuk kenikmatan sesaat. Mereka tentu tak pernah tahu, barang mahal bukan ditentukan oleh jenis barangnya, tetapi ditentukan oleh pemiliknya. Tiba-tiba kisah tentang Vanessa agak sedikit sanggup menenggelamkan hoaks tujuh kontener kertas suara di Tanjung Priok.
Siapakah Vanessa Angel? Dia artis pemain sinetron. Tetapi, Vanessa Angel, pernah pada masa silam, mendatangi kantor Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) di Jalan Latuharhari 4B, Jakarta Pusat, Kamis (30/7/2015) untuk menawarkan diri menjadi duta perlindungan wanita.
Memandang aktivitas dan perjuangannya itu, Vanessa dikenal tak hanya sebagai bintang sinetron, tetapi juga aktivis antikekerasan terhadap perempuan. Kini, Vanessa meraup diskusi politik ketika tema berubah ke arah kapitalisasi benda.
Disebutkan, semua hal yang dikapitalisasi, akan menimbulkan diskursus politik. Misalkan, perihal lembaga-lembaga agama.
Pada masa silam, lembaga agama tidak lebih dari lembaga-lembaga suci tempat dari mana orang belajar menjadi sufi dan menuntun hidup menuju tempat nan suci.Â
Tetapi, ketika lembaga-lembaga suci itu dikapitalisasi untuk kepentingan politik dan bisnis, maka nyaris hampir semua lembaga agama berubah fungsi menjadi lembaga politik. Bahkan arah politik ditentukan dari sana.
Begitupun ketika dulu manusia bebas memanfaatkan air sepuas-puasnya tanpa batas untuk kepentingan manusia.